Jumat, 30 Mei 2008

STATUS ANAK ZINA YANG LAHIR SETELAH IBUNYA DINIKAH PENGHAMILNYA: KAJIAN HUKUM POSITIF

STATUS ANAK ZINA YANG LAHIR SETELAH IBUNYA DINIKAH PENGHAMILNYA: KAJIAN HUKUM POSITIF
Oleh: Dr. M. Sa’ad Ih, M.A.
I
Hukum positif di Indonesia ialah hukum yang berlaku sekarang di Indonesia. Hukum disebut berlaku, jika telah diundangkan dan belum dicabut oleh negara. Dengan demikian hukum positif, merupakan hukum tertulis. Di samping itu ada pendapat yang menyatakan bahwa hukum disebut berlaku, jika hukum tersebut dipraktekkan secara nyata oleh masyarakat. Berdasar atas pendapat ini, maka hukum positif disamping tertulis, juga mencakup hukum tak tertulis. Dalam makalah ini, teori pertama yang dianut. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) adalah salah satu dari hukum positif. KHI melalui pasal 53 ayat 1 membolehkan wanita hamil dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya. Bunyi pasal dan ayat tersebut adalah sebagi berikut: Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Dalam hal ini timbul masalah bagaimana status anak yang dilahirkan wanita tersebut, apakah ia dinasabkan kepada laki-laki itu atau tidak. Jika dinasabkan berarti ia dengan laki-laki itu saling mewarisi, jika tidak, berarti juga tidak. Makalah ini akan membahas masalah terebut.
II
Melalui pasal 99, KHI menyatakan bahwa: Anak yang sah adalah: a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b. hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Berdasarkan pasal - 99 ayat a - ini, jelas bahwa anak zina yang lahir setelah ibunya dinikahi penghamilnya seperti diatur dalam pasal 53 ayat 1 KHI adalah anak sah. Sebabnya ialah anak tersebut dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Anak ini bukan anak yang lahir di luar perkawinan. Anak yang lahir di luar perkawinan - menurut pasal 186 KHI - hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Oleh karena anak ini dilahirkan dalam perkawinan yang sah, maka ia saling mewaris tidak saja dengan ibu dan keluarga dari pihak ibunya, tetapi juga saling mewaris dengan bapak dan keluarga dari pihak bapaknya. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan antara anak ini dan anak yang lahir akibat perkawinan yang sah.
III
Seperti diketahui bahwa KHI berasal dari upaya untuk menghasilkan hukum tertulis dengan merujuk pada berbagai kitab fiqh , serta pandangan para ulama Indonesia yang kemudian dalam loka karya alim ulama Indonesia yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5 Pebruari 1988 telah diterima. Selanjutnya melalui Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 diinstruksikan bahwa bagi Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dapat mempergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Pelaksanaan instruksi tersebut diatur melalui Keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 Tahun 1991. Dengan demikian tampak bahwa KHI bersifat legitimated, baik dari sudut pandang hukum Islam - karena merujuk pada kitab-kitab fiqh -, maupun dari segi sosial melalui penerimaan para ulama, dan akhirnya juga dari kacamata juridis formal, karena telah diundangkannya, sekalipun memang mestinya tidak mengikat betul. Tidak mengikat, karena KHI memang sebatas diperlukan, dan sebatas dapat dipergunakan, bukan harus digunakan. Sekalipun demikian, tampaknya dalam praktek di lapangan KHI menjadi harus dipergunakan dan mengikat. Sekalipun merujuk pada kitab-kitab fiqh, ternyata dalam hubungannya dengan status anak yang lahir dalam perkawinan, KHI tidak memberi batasan, sebagaimana fiqh. Seperti diketahui fiqh memberi tenggang waktu minimal 6 bulan antara kelahiran dan akad nikah menurut Abu Hanifah, atau antara kelahiran dan persetubuhan yang terjadi setelah akad nikah menurut Malik dan Syafi’i baru anak tersebut dapat dinasabkan kepada bapaknya. Jika kurang dari 6 bulan, tidak dapat dipertalikan nasab tersebut. Dengan demikian jika pasal 99 a KHI di atas diinterpretasikan dengan tolok ukur fiqh Malik dan al-Syafi’i, sekalipun anak tersebut lahir begitu akad nikah selesai, tetap tergolong anak sah sepanjang persetubuhannya terjadi minimal 6 bulan sebelum anak tersebut dilahirkan. Sedang jika tolok ukur fiqh Abi Hanifah yang digunakan, baru dipandang sah jika anak tersebut lahir minimal 6 bulan setelah terjadinya akad nikah. Oleh karena baik pasal 53 ayat 1 maupun pasal 99a KHI, bertujuan antara lain untuk melindungi anak dimaksud, maka tolok ukur fiqh Malik dan al-Syafi’i lebih sejalan dengan tujuan tersebut.
IV
Fiqh secara tegas menyatakan bahwa anak zina dapat saling mewarisi dengan ibu dan keluarga pihak ibu. Sedang dengan bapak dan keluarga pihak bapak tidak dapat saling mewarisi. Alasan yang dikemukakan fiqh, ialah adanya kejelasan hubungan nasab antara anak dengan ibunya melalui adanya indikasi bahwa ibu tersebutlah yang nyata-nyata mengandungnya. Oleh karena itu mereka saling mewarisi. Sedang antara anak dengan bapak, kejelasan hubungan nasab didasarkan atas adanya akad nikah dengan ibu anak tersebut, karena tidak ada indikasi selainnya yang dapat dijadikan pegangan. Demikianlah fiqh dahulu memberikan ketentuan. Bagaimana sekarang, ketika ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat? Dalam hal ini, muncul berbagai persoalan yang terkait dengan ketentuan fiqh di atas. Misalnya apakah hubungan nasab seorang anak dengan ibunya, ditentukan oleh adanya kenyataan bahwa wanita itulah yang mengandungnya, bagaimana jika janin tersebut berasal dari ovum wanita lain, sedang ia hanya sekedar mengandungnya saja, bukan sekaligus pemilik ovum tersebut? Bagaimana pula jika ilmu pengetahuan dan penggunaan teknologi kedokteran dapat menentukan secara pasti hubungan genetik (nasab) antara seorang anak dengan bapaknya melalui test deoxyribonucleic acid (DNA) ? Tampaknya dalam hal ini berlaku prinsip: Hukum berubah mengikuti perubahan zaman, tempat, dan keadaan (تغير الأحكام بتغير الأزمنة والأمكنة والأحوال ). Berdasarkan paradigma ini, maka hubungan nasab antara anak zina dan bapaknya dapat ditentukan secara pasti melalui test DNA. Ini membawa konsekuensi, keduanya saling mewarisi, termasuk juga dengan keluarga pihak bapaknya. Natijah hukum ini didasarkan atas kaidah di atas, dan alasan-alasan berikut: 1. Akurasi hasil test DNA sangat tinggi , sehingga lebih logis dijadikan dasar menentukan hubungan nasab, dibanding jika didasarkan atas adanya akad nikah antara bapak-ibu seorang anak, termasuk juga jika dibandingkan dengan penentuan hubungan nasab seorang anak dengan ibunya atas dasar bahwa ibunya itulah yang mengandung (padahal belum tentu anak yang dikandungnya itu berasal dari ovum ibunya sendiri). 2. Dengan diakuinya secara hukum hubungan nasab antara anak dengan bapak- nya - walaupun pada hakikatnya hasil perzinaannya - akan memberikan jaminan yang pasti bagi anak tersebut, baik berkaitan dengan kepastian nasabya, maupun dengan hak-haknya yang lain, serta akan memaksa bapak tersebut bertanggung jawab memikul konsekuensi logis dari perbuatannya sendiri. 3. Jika dengan prinsip al-walad li al-firasy , hukum Islam dapat memberikan kepastian hukum hubungan nasab antara seorang anak dan suami ibunya, maka seharusnya lebih dapat memberikan hal yang sama bagi seorang anak yang dengan pembuktian test DNA menunjukkan adanya hubungan genetika secara signifikan dengan seorang laki-laki (bapaknya). Pola istinbath ini dikenal dengan sebutan qiyas awlawiy atau mafhum muwafaqah.
V
Sekalipun KHI disusun dengan berpegang pada kitab-kitab fiqh, tetapi pasal 99a tentang pengertian anak sah justru mengandung pertentangan dengan kitab-kitab tersebut. Berdasarkan pasal tersebut, adalah termasuk anak sah, anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Tampaknya dalam hal ini dimaksudkan untuk memberikan legitimasi hukum bagi status hubungan nasab mereka, walaupun pada hakikatnya anak tersebut adalah anak zina. Antara pasal 99a KHI dan kitab-kitab fiqh itu bertentangan, karena adanya kenyataan bahwa kitab-kitab tersebut mengemukakan bahwa para ulama sepakat tentang tidak dinasabkannya anak zina kepada bapaknya. Sekalipun demikian, sebenarnya kitab-kitab fiqh juga mengemukakan adanya pendapat yang sebaliknya, walaupun disebut sebagai pendapat yang janggal (syadzdz), antara lain sebagaimana kutipan berikut: واتفق الجمهور على أن أولاد الزنا لايلحقون بأبا ئهم إلافى الجاهلية على ماروي عن عمربن الخطاب على اختلاف فى ذلك بين الصحابة , وشذ قوم فقالوا: يلتحق ولد الزنا فى الإســـلام , أعنى الذى كان عن زنا فى الإســــــلام. Berdasarkan kutipan ini, ternyata terdapat pendapat yang menyatakan bahwa anak yang lahir akibat perzinaan yang terjadi setelah datangnya Islam nasabnya dihubungkan dengan bapaknya. Pendapat ini bertentangan dengan jumhur yang menyatakan bahwa nasab anak zina tidak dipertalikan dengan bapaknya, kecuali pada masa jahiliyah. Sekalipun mempertalikan nasab anak zina kepada bapaknya merupakan pendapat yang janggal, tetapi dengan ditemukannya teknologi yang dapat dipergunakan untuk menentukan ada tidaknya hubungan genetik antara seseorang dengan yang lainnya, maka pendapat tersebut justru prospektif, termasuk juga jika dikaitkan dengan KHI. Bahkan hukum harus mengakui adanya hubungan nasab tersebut, sekalipun kedua orang tua itu akhirnya tidak melakukan pernikahan, jika test DNA membuktikan adanya pertalian genetik tersebut secara signifikan. Dengan cara demikian, tidak saja status hukum hubungan nasab antara anak zina dan bapaknya legitimated, tetapi juga sekaligus hak-hak anak tersebut menjadi terlindungi.
VI
Dari paparan di atas disimpulkan sebagai berikut. Menurut hukum positif di Indonesia status anak zina yang lahir setelah ibunya dinikah laki-laki penghamilnya adalah termasuk anak sah. Oleh karena itu antara anak tersebut dan bapaknya saling mewarisi. Sekalipun yang demikian ini bertentangan dengan jumhur ulama, akan tetapi terdapat pendapat yang sejalan dengan hukum positif tersebut, yang jika dilengkapi dengan test DNA justru lebih prospektif, baik bagi status hukum anak tersebut maupun bagi kepentingan perlindungan hak-haknya. Bahkan status dan perlindungan tersebut, juga berlaku bagi semua anak zina, sekalipun kedua orang tuanya akhirnya tidak melakukan pernikahan, jika test DNA membuktikan adanya hubungan genetik secara signifikan. واللــــــه أعلم بالصـــــواب
Gresik, 6 Nopember 1999

TAJDID PEMIKIRAN HUKUM ISLAM: PROYEKSI MUHAMMADIYAH MASA DEPAN

TAJDID PEMIKIRAN HUKUM ISLAM: PROYEKSI MUHAMMADIYAH MASA DEPAN
Oleh: Dr. M. Sa’ad Ibrahim, M.A.
Bismillahirrahmanirrahim.
A. Pendahuluan Sebagai sebuah institusi besar Islam, Muhammadiyah mengemban tugas menjadikan agama ini, - termasuk juga hukum-hukumnya - senantiasa eksis dalam berbagai perubahan kehidupan, apa pun bentuk perubahan itu. Untuk melaksanakan tugas tersebut, di samping upaya pemurnian, juga pembaharuan harus tetap menjadi agenda utama gerak organisasi ini. Dengan melakukan dua agenda ini, Muhammadiyah menjadikan Islam tidak kehilangan cetak birunya, sekaligus menghindarkannya teralienasi dari perubahan kehidupan yang terus menerus terjadi. Tentu saja dalam hal ini perlu adanya pemilahan secara cerdas terhadap wilayah mana yang harus dilakukan pemurnian, dan aspek mana yang mesti dilakukan pembaharuan. Terhadap hukum Islam bidang ibadah, pemurnian dilakukan dengan cara membersihkan dari berbagai rekayasa baru, sehingga menampakkan dirinya semirip mungkin dengan tuntunan yang dipraktekkan oleh Nabi saw. Dalam bidang ini; pembaharuan dilakukan dengan menggali hikmah-hikmahnya, melengkapi reason d’tre eksistensialnya melalui pemikiran filofofis dan ilmiah. Sedang untuk bidang di luar ibadah, merupakan wilayah yang amat luas untuk senantiasa diperbaharui sesuai dengan perubahan yang terjadi, yang tentu saja dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip utamanya. Bagaimana pembaharuan tersebut dilakukan, makalah ini berusaha mengupasnya. B. Hukum Islam dan Varian-variannya Hukum Islam ialah hukum yang berdasarkan al-Quran dan atau Hadits Nabi saw, baik langsung maupun tidak. Dikatakan langsung jika proses penggaliannya tidak memerlukan ijtihad, karena secara terang telah disebut dalam kedua nash tersebut. Disebut tidak langsung, jika istinbathnya memerlukan ijtihad. Hukum Islam meliputi: 1. Syari’ah 2. Fiqh (hukum praksis yang dinisbatkan pada syari’ah) 3. Fatwa (hukum yang disarankan untuk digunakan oleh pemohon fatwa) 4. Peraturan produk institusi Islam 5. Pranata hukum yang berlaku di masyarakat Islam. Aspek metodologis dari hukum Islam, berupa ushul fiqh dan qawaid fiqhiyyah, yang dalam perkembangannya berbagai teori yang dihasilkan ilmu-ilmu sosial juga dipergunakan. Sementara itu cakupan material hukum Islam meliputi: 1. al-Ibadah 2. al-Muamalah al-Madaniyah 3. al-Ahwal al-Syakhshiyyah (al-Munakahat dan al-Mawarits) 4. al-Jinayah 5. Ahkam al-Qadla` 6. al-Ahkam al-Maliyyah wa al-Iqtishadiyyah. 7. al-Ahkam al-Siyasiyyah 8. al-Ahkam al-Dawliyyah. C. Tajdid Pemikiran di Bidang Syari’ah Seperti telah dikemukakan di depan terhadap hukum Islam kategori syari’ah, pembaharuan terbatas pada upaya melengkapi reason d’tre eksistensialnya semata dengan cara menggali hikmah-hikmahnya dan memberikan landasan filosofis dan ilmiah. Dengan upaya demikian, keyakinan terhadap kebenarannya tidak semata-mata intuitif imani, tetapi juga filosofis ilmiah. Selain demikian, upaya mengundangkan syari’at, sebagai hukum positif di Indonesia, harus juga menjadi agenda pembaharuan ke depan yang mesti diusahakan oleh Muhammadiyah, karena dalam banyak hal pelaksanaan syari’at memerlukan kekuasaan negara, sekadar contoh, eksekusi hukuman qishash jelas-jelas harus dilakukan oleh negara. Sedang bidang syari’at yang tidak memberikan hukuman duniawi, seperti meninggalkan puasa ramadlan, jika kemaslahatan menuntut adanya sanksi demikian, maka negara dapat memberikan hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang dibuat dan ditentukan kadarnya oleh negara, di luar ketentuan nash sendiri. Beberapa bagian dari syari’at ini telah menjadi hukum positif di Indonesia yang kemudian dapat dijadikan preseden bagi bagian yang lainnya. Untik sekadar menyebut, undang-undang tentang zakat, waqaf, dan bahkan dalam bentuk kompilasi hukum Islam, telah menjadi hukum positif. Tentu saja untuk tidak menimbulkan kecemburuan di kalangan non muslim, perlu adanya ruang yang sama bagi hukum agama mereka menjadi hukum positif di Indonesia, yang tentu saja keberlakuaannya terbatas bagi mereka, sebagaimana keterbatasan keberlakuan syari’at Islam bagi kaum muslimin. D. Tajdid Pemikian di Bidang Fiqh Berbeda dengan syari’at, fiqh adalah pemikiran manusia di bidang hukum praksis dengan menisbatkan pada syari’at. Oleh karena itu kadang kala penisbatannya tepat, kadang kala tidak. Sekalipun demikian, karena upaya tersebut memerlukan pencurahan secara optimal segala kemampuan intelektual, maka apa pun hasilnya tetap dihargai oleh Islam. Tentu saja penghargaan itu tidak dimaksudkan untuk memberi legitimasi absolut terhadap produk-produk yang dihasilkannya; dalam arti mengakui keabsolutan kebenaran yang di kandung di dalamnya, baik – tentu saja - bagi penisbatan yang tidak tepat pada syari’at, maupun yang tepat. Untuk penisbatan yang tepat pada syari’at, tidak juga diberikan legalitas absolut, karena bagaimana pun pada produk tersebut masih menyisakan adanya relatifitas kebenaran di dalamnya. Hal ini disebabkan masih terbukanya ruang ketipikalan produk itu sendiri; sehingga tidak menghabiskan semua wilayah keberlakuannya. Dalam tataran metodologis hal tersebut dirumuskan melalui kaidah: taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal – perubahan hukum itu sejalan dengan perubahan kekinian, kedisinian, dan keadaan. Formulasi kaidah seperti ini, sekaligus memberikan legitimasi metodologis bagi upaya pembaharuan fiqh secara berkelanjutan, sesuai dengan keberlanjutan perubahan itu sendiri. Pembaharuan fiqh dilakukan dengan menilai secara kritis produk-produk masa lampaunya, ketika akan diaplikasikan dalam sebuah wilayah baru. Jika produk masa lampau ini masih tetap mendukung moral ideal sebuah tatanan hukum yang islami (adil dan mashlahah bagi kehidupan fenomenal sekarang ini dan transsendental nanti), maka sudah semestinya keberlakuannya tetap harus dipertahankan, sekaligus legal tipikalnya tidak perlu mengganggu psikhis dan wawasan intelektual penggunanya hanya karena sebagai produk klasik. Sebaliknya jika produk masa lampau itu tidak lagi mengabdi pada moral idealnya, maka pembaharuan terhadapnya merupakan sebuah keniscayaan. Pembaharuan terhadap pengkajian fiqh juga seharusnya menjadi agenda Muhammadiyah, sehingga produk yang dihasilkannya mencerminkan wajah intelektual filosofis, bahkan ilmiah, di samping tentu saja harus tetap berada dalam bingkai ketransendenan eksistensial nash. Pembaharuan juga harus diartikan sebagai penggarapan dan pengembangan terhadap pemecahan persoalan-persoalan kontemporer, terutama yang disebabkan oleh akselerasi sain dan teknologi, dengan memanfaatkan teori-teori ilmu pengetahuan sebagai penyempurna ushul fiqh dan qawaid fiqhiyyah. Penampaan fiqh sebagai pranata eksoterik Islam harus diperbaharui dengan meletakkan kembali pada bingkai esoterik transcendental teologis sufisnya. Dengan demikian fiqh tidak lagi dirasakan sebagai pranata yang kering lagi rigid, tetapi sekalipun masih tetap lugas sebagai watak dasar karakteristik kehukumannya, namun terasa sejuk dan memikat. Ini berarti bahwa dialog antara fiqh dan berbagai disiplin di luarnya, - khususnya yang merepresentasikan aspek esoteric transcendental – harus selalu dilakukan dalam upaya membangun fiqh integratif. Keanekaragaman tawaran fiqh juga harus tetap dipelihara dan terus dikembangkan, sebagai upaya antisipatif ketersediaan alternatif bagi pemecahan masalah secara kontekstual. Keragaman itu juga harus diperkaya dengan upaya menggarirahkan kembali kajian fiqh hipotetis (fiqh taqdiriy), yaitu fiqh yang membahas peristiwa-peristiwa imajinatif, yang seringkali di kemudian hari - terutama berkat akselerasi saint dan teknologi - akhirnya benar-benar terjadi. Pembaharuan juga harus ditujukan terhadap pola pandang pada fiqh, yang sering kali dinyatakan dalam nada minor sebagai fiqh sentris, padahal ia merupakan koleksi hukum syar’iy tentang semua tindak praksis mukallaf yang diistinbathkan dari dalil-dalilnya secara rinci. Lontaran bernada minor itu hampir dapat dipastikan keluar dari lisan mereka yang minus pemahaman terhadap kekayaan khazanah fiqh yang melebihi kekayaan bidang-bidang lain dalam ruang lingkup disiplin ilmu-ilmu keislaman. Kekayaan khazanah ini dibangun di atas landasan metodologis yang amat mapan, yang telah dikembangkan dan merupakan akumulasi upaya yang amat serius dari para ahli ushul dalam kurun waktu berabad-abad yang lampau. Ini sama sekali tidak disadari dan tidak dimengerti oleh mereka yang dengan sinis memandang fiqh dengan sebelah mata. E. Tajdid Pemikiran di Bidang Fatwa Berbeda dengan fiqh sebagai aktifitas yang kreatif, dinamis, faktual, dan imajinatif, fatwa memiliki tata kerja yang bersifat responsif, pasif, dan faktual semata. Dengan kata lain institusi fatwa bergerak jika ada permohonan, dan terbatas pada pemecahan masalah faktual, bukan imajinatif. Sekalipun demikian, lembaga ini mempunyai kelebihan di banding dengan fiqh, yaitu senantiasa dalam ranah dialogis dengan masyarakat, sebagai pihak yang memerlukan advis hukum yang tidak mengikat bagi mereka, sehingga jika akhirnya mereka menerimanya, maka semata-mata atas dasar kerelaan, bukan keterpaksaan seperti andaikata mereka menyelesaikan di pengadilan. Seperti diketahui bahwa Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, mempunyai fungsi antara lain sebagai institusi fatwa, yang masih jarang dimanfaatkan oleh masyarakat, termasuk juga oleh warga Muhammadiyah sendiri. Oleh karena itu tampaknya fungsi tersebut harus disosialisasikan dengan baik, di samping tentu saja majlis ini harus menata diri secara optimal sehingga memiliki kelayakan untuk memberikan fatwa hukum. Tentu saja fungsi tersebut dapat pula diperankan oleh institusi pendidikan hukum Islam, terutama pendidikan tingginya. Idealnya lagi jika fungsi tersebut juga diperankan oleh jajaran ta’mir masjid dan mushalla yang dikelola oleh Muhammadiyah, tetapi tentu saja harus disiapkan dengan sebaik-baiknya, sehingga fatwanya tidak sesat dan menyesatkan masyarakat yang memerlukannya. Ada baiknya juga dipikirkan untuk membuka layanan fatwa yang dapat diakses setiap saat dengan memanfaatkan teknologi informatika, sehingga jangkauannya tidak lagi lokal dan nasional bahkan global. Mengenai institusi fatwa ini, Muhammadiyah sebaiknya mendesak atau setidaknya menyarankan kepada pemerintah agar juga mengambil peran yang cukup, terutama melalui Departemen Agama, sebagai bagian layanan keagamaan kepada rakyat. F. Tajdid Pemikiran di Bidang Peraturan Produk Institusi Islam Logikanya segala peraturan yang dikeluarkan oleh institusi Islam tidak boleh berlawanan dengan Islam itu sendiri, termasuk peraturan hukum. Hal ini juga berlaku bagi Muhammadiyah sebagai salah satu institusi besar Islam di Indonesia. Oleh karena Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam salah satu fungsinya adalah memecahkan masalah-masalah hukum Islam, maka segala peraturan termasuk juga kebijakan yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah mestinya melalui mekanisme majlis ini. Ini semakin menjadi amat penting ketika organisasi ini, tidak lagi dipimpin oleh mereka yang memiliki pemahaman yang cukup terhadap hukum Islam. Dalam kaitan dengan ini, tampaknya kedudukan struktural majlis ini yang hanya sebagai pembantu pimpinan Muhammadiyah, jelas tidak memberi otoritas untuk mengontrol peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan. Bahkan keputusan majlis ini pun, pentanfidzannya merupakan otoritas pimpinan Muhammadiyah, bukan berada pada majlis ini sendiri. Ketimpangan seperti ini, harus menjadi perhatian serius, agar Muhammadiyah ke depan senantiasa berada dalam bingkai keislaman yang jelas. Bersamaan dengan upaya menempatkan dirinya dalam kejelasan bingkai keislaman, Muhammadiyah tampaknya perlu memperbaharui paradigma dalam memandang negara Republik Indonesia ini. Paradigma baru tersebut ialah bahwa sebagai sebuah institusi yang mayoritas penduduknya muslim, dan sampai sekarang pun selalu dipimpin oleh presiden yang muslim, maka secara esensial negeri ini adalah sepenuh-penuhnya institusi Islam. Atas dasar paradigma demikian, dan juga berlandaskan prinsip-prinsip demokrasi, selayaknya segala peraturan di negeri ini tidak boleh berlawanan dengan keyakinan dan hukum yang dimiliki oleh mereka yang mayoritas ini. Bahwa kemudian upaya ke arah itu ditempuh dengan cara yang bertahap, taktis dan cerdas, memang merupakan bagian dari siyasah kehukuman dalam Islam. Akan tetapi arah itu sendiri harus menjadi bagian integratif dari entitas keberagamaan kaum muslimin. Tentu saja dalam kaitan dengan ini, harus juga diberi ruang yang cukup bagi minoritas non muslim, dihargai dalam batas-batas kemanusiaan dan diberikan hak-hak mereka secara demokratis lagi berkeadilan, dan tidak boleh dizalimi sebagaimana dituntut oleh Islam itu sendiri., dan dalam waktu yang sama mereka juga mesti melakukan hal demikian terhadap umat Islam. Harus dikemukakan di sini, bahwa adanya preseden diundangkan sejumlah hukum Islam, seperti hukum perkawinan, peradilan, kewarisan, zakat, waqaf, termasuk juga kompilasi hukum Islam, bahkan perbankan syari’ah, jelas menjadi alasan yuridis untuk mengupayakan hal yang sama lebih optimal lagi. Dalam kaitan dengan hal ini, Muhammadiyah dituntut mengambil peran yang lebih aktif lagi dari pada sebelumnya. Dengan cara demikian, pada gilirannya nanti agama ini dapat benar-benar eksis sehingga terwujud BaldahThayyibah wa Rabb Ghafur. G. Tajdid Pemikiran di Bidang Pranata Hukum Masyarakat Islam Keberadaan masyarakat Islam di sebuah kawasan, harus juga berarti keberadaan pranata hukum Islam di dalamnya. Konsekuensi dari hal ini antara lain ialah perlunya pendidikan dan sosialisasi hukum Islam di masyarakat tersebut. Ini dimaksudkan agar menghasilkan masyarakat yang melek, sadar dan taat hukum. Dalam hal ini tampaknya perlu dikemukakan bahwa segala adat istiadat mereka juga merupakan bagian dari hukum Islam, melalui landasan metodologis bahwa al-‘adah muhakkamah – tradisi itu dipandang sebagai hukum. Tentu saja dalam hal ini diperlukan semacam islamisasi terhadap berbagai kultur tersebut. Untuk itu masyarakat Islam dituntut untuk dapat memilah-milah antara adat istiadat yang sesuai dan yang tidak dengan tuntunan agama mereka. Disamping itu, mereka dibebani untuk melakukan kreatifitas menciptakan tradisi-tradisi baru yang baik, dan menghindari penciptaan kebiasaan-kebiasaan baru yang buruk, sekaligus mengikis habis adat-istiadat yang tidak selaras dengan Islam. Penciptaan tradisi-tradisi baru ini, harus dilakukan dengan tetap menjaga batas-batas antara yang sunniy dan yang bid’iy, karena jika tidak, yang terjadi kemudian ialah hilangnya orisinalitas model peribadatan yang dicontohkan oleh Nabi saw. Pembaharuan dalam bidang ini juga ditujukan pada upaya mengubah pandangan masyarakat terhadap hukum negara, sebagai hukum yang mempunyai implikasi duniawi semata, sehingga ketaatan terhadapnya tidak lagi berdimensi teologis transendental. Sebagaimana dikemukakan di depan, oleh karena esensi negara ini merupakan institusi Islam, maka ketaatan terhadap hukum-hukumnya juga berdimensi keakhiratan, tidak duniawi semata. Tentu saja dalam hal ini ketaatan tidak boleh ditujukan terhadap produk-produk hukum negara yang jelas-jelas masih berlawanan dengan prinsip-prinsip Islam. Terhadap produk demikian, masyarakat Islam harus memberikan perhatian serius dengan memperjuangkan agar dilakukan pencabutan, baik melalui gerakan moral maupun politis. H. Penutup Masa depan Muhammadiyah akan ditentukan oleh masa lampau dan masa kininya. Jika dapat dibangun masa kininya dengan mengacu masa lampaunya yang kondusif bagi masa depan institusi Islam ini, maka masa depannya akan merupakan the Golden Age of Muhammadiyah History. Untuk itu upaya tajdid dalam segala bidang – termasuk juga di bidang pemikiran hukum Islam – harus menjadi agenda besar Muhammadiyah. Sekalipun demikian tajdid tidak semestinya kemudian menjadikan Muhammadiyah kehilangan identitas dirinya sebagai institusi yang mengidentifikasikan diri pada Nabi saw. Oleh karena itu disamping dilakukan upaya tajdid, juga pemurnian tetap harus dilakukan secara berkelanjutan. Semoga makalah ini memiliki manfaat, walaupun andaikata hanya sedikit. Wa Allah A’lam bi al-Shawab. Malang, 8 Oktober 2004.

MELAKSANAKAN EVALUASI PROSES PEMBELAJARAN*

MELAKSANAKAN EVALUASI PROSES PEMBELAJARAN*
Oleh. Dr. M. Sa’ad Ih, M.A. I PENDAHULUAN
Pembelajaran menyangkut hal-hal substantif sebagai berikut: 1. tujuan pembelajaran, 2. penentuan kreteria test, 3. strategi (metode, sistem dan teknik) pembelajaran, 4. materi pembelajaran, 5. rencana kegiatan pembelajaran, 6. sarana dan waktu pembelajaran, 7. evaluasi proses pembelajaran. Bagian pertama, yaitu tujuan pembelajaran merupakan pusat acuan - yang oleh karena itu menentukan - keenam bagian lainnya. Makalah ini, dibuat untuk kepentingan bagian yang ketujuh, yaitu evaluasi proses pembelajaran. Bagian ini akan dikaji untuk kepentingan teknis aplikatif bagi upaya pelatihan dosen-dosen muda (dalam arti kepangkatan), agar mereka dapat melakukan proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Oleh karena sifatnya teknis aplikatif, maka jelas makalah ini agak mengabaikan pendalaman teoritis. Dengan alasan seperti itu, makalah ini dibuat dengan menyadur dan mengadaptasi dari sumber yang sangat terbatas, yaitu dari karya tim Universitas Brawijaya: Pertanyaan dan Jawaban di Sekitar Peningkatan Rancangan Pengajaran, suatu karya yang berkaitan dengan proyek pembinaan kurikulum yang salah satu bagiannya tentang evaluasi.
II PENGERTIAN EVALUASI DAN FUNGSINYADimaksudkan dengan evaluasi ialah serangkaian upaya mengukur dan menilai suatu proses, sehingga diketahui tingkat tercapai tidaknya tujuan proses tersebut. Dalam makalah ini, proses dimaksud ialah proses pembelajaran mahasiswa. Evaluasi proses pembelajaran meliputi hal-hal berikut: menentukan obyek yang diukur, mengukur, mencapai hasil pengukuran, mentransformasikan ke dalam nilai, mengambil keputusan lulus dan tidaknya mahasiswa, efektif dan tidaknya dosen mengajar, baik buruknya interaksi antara dosen dan mahasiswa dalam proses belajar mengajar, efektif tidaknya sarana dan alokasi waktu dalam proses pembelajaran. Hasil evaluasi tersebut berfungsi sebagai umpan balik, bagi kepentingan penataan yang lebih baik suatu proses pembelajaran berikutnya, disamping tentu saja untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan proses pembelajaran itu sendiri.
III INSTRUMEN UJIAN DAN SYARAT-SYARATNYABerpijak dari paparan di atas, ujian seperti telah biasa dilakukan oleh dosen hanyalah salah satu bentuk evaluasi proses pembelajaran. Terutama dalam fungsinya sebagai umpan balik, selayaknya evaluasi proses pembelajaran tidak hanya dilakukan dengan mengambil bentuk ujian. Bentuk-bentuk lain dapat diambil, misalnya pengukuran terhadap kondusif tidaknya sarana yang digunakan bagi tercapainya tujuan pembelajaran, pengukuran tentang baik buruknya hubungan antara dosen dan mahasiswa, dan sebagainya. Hanya karena ujian merupakan bentuk evaluasi yang biasa dilakukan, maka terhadapnya makalah ini akan menitikberatkan kajiannya. Ujian sebagai salah satu bentuk evaluasi proses pembelajaran, akan menjadi baik jika antara lain instrumennya juga baik. Instrumen ujian - yang dalam hal ini adalah soal - akan menjadi baik jika: valid, relevan, spesifik, representatif, dan seimbang. Suatu soal disebut valid jika soal tersebut mengukur apa yang semestinya diukur dan yang sejalan dengan tujuan proses pembelajaran. Dikatakan relevan, jika soal tersebut mengukur sesuai dengan tingkat kemampuan yang ditentukan dalam tujuan proses pembelajaran. Jika tidak menimbulkan ambivalensi atau spekulasi, suatu soal disebut spesifik. Suatu soal dikatakan representatif jika semua pokok bahasan terwakili. Dikatakan seimbang, jika pokok bahasan terpenting ditanyakan paling banyak dibanding dengan pokok bahasan yang penting.
IV STRUKTUR SOAL DAN PENENTUAN BOBOTNYAUntuk menjaga agar terpenuhi semua syaratnya, yaitu: valid, relevan, spesifik, representatif, dan seimbang, soal harus diorganisasikan dalam suatu struktur. Untuk itu, sebelum soal dibuat perlu dibikin kisi-kisi spesifikasi soal dengan mengakses pada tingkat-tingkat kemampuan kognitif, dan pada ordinat pokok-pokok bahasan. Dengan demikian akan dapat diketahui berapa jumlah soal yang harus dibuat dalam satu pokok bahasan tertentu untuk satu tingkat kemampuan kognitif. Dalam membuat soal, perlu pula ditentukan bobot masing-masing item. Hal ini berkaitan dengan adanya tingkat kesukaran menjawab item-item soal tersebut. Adanya pembobotan soal akan memberikan peluang untuk menghargai mahasiswa lebih tinggi untuk setiap kemampuannya menyelesaikan soal yang derajat kesukarannya lebih tinggi pula, dan sebaliknya. Pedoman untuk menentukan bobot soal tersebut ialah: 1. bobot tinggi diberikan pada soal yang tingkat kemampuan yang dimintanya sama dengan tingkat kemampuan yang ditetapkan dalam tujuan pembelajaran, 2. bobot yang lebih tinggi diberikan dengan merujuk tingkat yang lebih tinggi di antara bobot tinggi tersebut, demikian pula sebaliknya. Setelah masing-masing item soal ditentukan bobotnya, barulah soal tersebut siap diujikan.
V MENGUKUR DAN MENILAI HASIL UJIANProses pengukuran sebenarnya sudah dimulai ketika bobot masing-masing item soal ditentukan. Jumlah bobot yang diperoleh mahasiswa dari suatu ujian adalah hasil pengukuran yang dinyatakan secara obyektif dan kuantitatif. Hasil pengukuran ini barulah merupakan angka yang diperoleh masing-masing mahasiswa. Angka tersebut harus diproses menjadi nilai, misalnya angka 60 sampai dengan 69 bernilai cukup. Dapat ditentukan bahwa nilai tersebut merupakan nilai terendah untuk kategori lulus. Ini artinya bisa saja suatu institusi pendidikan menentukan nilai terendah untuk kategori lulus, di atas atau dibawah nilai tersebut. Fungsi ujian adakalanya untuk mengukur efektifitas belajar mahasiswa agar dapat diketahui kemampuan umum mereka dalam kelas, adakalanya untuk mengukur kemampuan institusional mereka agar diketahui kemampuan individual masing-masing di antara mahasiswa lainnya dalam kelas. Fungsi pertama berkaitan dengan kepentingan mengetahui apakah tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sudah tepat, terlalu tinggi atau terlalu rendah bagi mahasiswa dalam kelompok kelas itu. Selanjutnya dapat dinilai apakah perlu dipisahkan antara kelompok mahasiswa “fast learners” dan mahasiswa “slow learners”. Sedang fungsi kedua berhubungan dengan kepentingan untuk menentukan apakah seorang mahasiswa patut diluluskan atau tidak. Dengan demikian terdapat dua obyek penilaian, yaitu: penilaian kemampuan umum, dan kemampuan individual mahasiswa. Untuk melakukan penilaian terhadap kemampuan individual mahasiswa, diperlukan dua persyaratan. Pertama, soal ujian harus spesifik, dalam arti tingkat kemampuan dalam setiap soal harus sesuai dengan tingkat kemampuan yang ditetapkan dalam tujuan pembelajaran. Kedua, penilaian dilakukan secara dikotomis, dalam arti bobot yang diberikan pada jawaban mahasiswa harus ekstrem mendekati atau ekstrem menjauhi bobot soal yang ditetapkan. Syarat yang kedua ini berkaitan dengan kepentingan penilaian secara tegas, sehingga jelas yang lulus dan yang tidak, serta terkurangi daerah ketidak pastian. Berbeda dengan kedua persyaratan di atas, untuk melakukan penilaian terhadap kemampuan umum mahasiswa dalam kelas justru diperlukan yang sebaliknya. Syarat yang sebaliknya itu ialah, soal tidak selalu harus spesifik, dan penilaian dikotomis dihindari untuk memperoleh tingkat kemampuan rata-rata mahasiswa dalam kelas.
VI KONSEP DASAR PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM EVALUASI Terdapat dua acuan penilaian dalam pengambilan keputusan: 1. Penilaian Acuan Patokan (Creterion Reference), 2. Penilaian Acuan Norma (Norm Reference). Penilaian Acuan Patokan (PAP) adalah penilaian yang didasarkan pada nilai baku yang telah ditentukan terlebih dahulu sebelum ujian dilaksanakan. Nilai baku ini merupakan kreteria kelulusan, dalam arti mereka yang dapat nilai baku ke atas, dinyatakan lulus. Nilai baku dapat berupa persyararatan capaian sejumlah nilai, misalnya 60 % ke atas, dapat pula berupa persyaratan capaian sejumlah tujuan pembelajaran, misalnya 3 dari 5 tujuan pembelajaran, artinya mereka yang dapat mencapai 3 dari 5 tujuan pembelajaran diputuskan lulus. Keuntungan PAP adalah mutu pendidikan dapat dipertahankan, dalam arti hanya mereka yang dapat menyamai atau melebihi nilai baku tersebut yang dapat lulus,tak ada spekulasi, tak ada katrol karena nilai baku telah ditetapkan. Kelemahan PAP muncul jika nilai baku itu terlalu tinggi, atau terlalu rendah. Untuk mengatasi kelemahan ini ujian serupa dengan soal serupa harus diselenggarakan beberapa kali sehingga terbukti memberikan keterandalan prosedur (reliability) yang tinggi. Selanjutnya soal tersebut dikumpulkan dalam bank soal untuk ujian-ujian di belakang hari. Dalam hal ini PAP dapat digunakan karena nilai baku yang ditetapkan telah teruji sebagai standar kelulusan yang pantas. Penilaian Acuan Norma (PAN) merupakan cara pengambilan keputusan dengan mengunakan norma nilai rata-rata kelas atau norma kelompok sebagai acuan. Norma demikian dijadikan standar kelulusan. Jelas dalam hal ini norma tersebut baru ditentukan setelah jawaban dikoreksi, dan diketahui nilai rata-rata kelas atau kelompok. Dengan menggunakan PAN jumlah kelulusan menjadi tinggi. Dalam hal ini standar mutu pendidikan akan terkorbankan ketika sebagian besar mahasiswa suatu kelas atau kelompok tergolong “slow learners”. Ini adalah kelemahan PAN. Kelemahan lain adalah PAN kurang dapat memotivasi mahasiswa untuk berpacu meraih prestasi tinggi. Bahkan mereka yang kurang pandai atau sedang-sedang saja yang biasanya jumlahnya besar dapat memaksa mereka yang pandai yang biasanya jumlahnya kecil untuk tidak mencoba meraih angka tinggi, sebab angka tinggi ini akan menaikkan nilai rata-rata kelas atau kelompok yang berarti mereka bisa tidak lulus. Sekalipun terdapat kelemahan-kelemahan seperti itu, PAN bukannya sama sekali tidak berguna sebagai acuan pengambilan keputusan. Penggunaan PAN lebih tepat sebagai alat diagnostik atau alat seleksi, misalnya seleksi ujian masuk suatu lembaga pendidikan.
VII PENUTUPOleh karena sifatnya yang teknis aplikatif, makalah ini tidak berpretensi memberikan pemahaman yang sempurna. Namun demikian, setidak-tidaknya diharapkan dapat muncul kesadaran bahwa proses pembelajaran itu termasuk juga evaluasi terhadapnya, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk dilakukan. Akan tetapi bukankah kita yakin-seyakin-yakinnya bahwa pekerjaan yang tidak mudah ini sangat mulia ?!! Insya Allah demikian !!! Gresik, 6 April 1999 Perluasan Bacaan Andi Ansharullah. 1993. Evaluasi Hasil Belajar Suplemen Materi Lokakarya dan Rekonstruksi Kuliah. Malang: Tim AA Universitas Brawijaya. Bloom, B.S. 1963. Taxsonomy of Educational Objectives, New York: McKay. Timotius Hartono, dkk. 1993. Pertanyaan dan jawaban di Sekitar Peningkatan Rancangan Pengajaran. Malang: Proyek Pembinaan Kurikulum Universitas Brawijaya

SUBSTANSI PEMBELAJARAN

SUBSTANSI PEMBELAJARAN
1. Tujuan Pembelajaran. 2. Penentuan Kreteria Test. 3. Strategi (Metode, Sistem dan Teknik) Pembelajaran. 4. Materi Pembelajaran. 5. Rencana Kegiatan Pembelajaran. 6. Sarana dan Waktu Pembelajaran. 7. Evaluasi Proses Pembelajaran.
PENGERTIAN EVALUASI
Evaluasi ialah serangkaian upaya mengukur dan menilai suatu proses, sehingga diketahui tingkat tercapai tidaknya tujuan proses tersebut.
FUNGSI EVALUASI
1. Untuk Mengetahui Berhasil Tidaknya Tujuan Proses Pembelajaran. 2. Umpan Balik bagi kepentingan penataan proses pembelajaran berikutnya yang lebih baik dari pada sebelumnya. LIPUTAN EVALUASI PROSES PEMBELAJARAN
1. menentukan obyek yang diukur, 2. mengukur, 3. mencapai hasil pengukuran, 4. mentransformasikan ke dalam nilai, 5. mengambil keputusan lulus dan tidaknya mahasiswa, 6. efektif dan tidaknya dosen mengajar, 7. baik buruknya interaksi antara dosen dan mahasiswa dalam proses belajar mengajar, 8. efektif tidaknya sarana dan alokasi waktu dalam proses pembelajaran.
SYARAT-SYARAT SOAL UJIAN
1. valid (mengukur apa yang semestinya diukur dan yang sejalan dengan tujuan proses pembelajaran). 2. relevan (sesuai dengan tingkat kemampuan yang ditentukan dalam tujuan proses pembelajaran). 3. spesifik (tidak menimbulkan ambivalensi atau spekulasi). 4. representatif (semua pokok bahasan terwakili). 5. seimbang (pokok bahasan terpenting ditanyakan paling banyak dibanding dengan pokok bahasan yang penting)
STRUKTUR SOAL
Fungsi strukturisasi soal: Untuk menjaga agar terpenuhi semua syaratnya, yaitu: valid, relevan, spesifik, representatif, dan seimbang. Langkah Strukturisasi Soal: 1. Buat kisi-kisi spesifikasi soal dengan mengakses pada tingkat-tingkat kemampuan kognitif, dan pada ordinat pokok-pokok bahasan. 2. Setelah diketahui berapa jumlah soal yang harus dibuat dalam satu pokok bahasan tertentu untuk satu tingkat kemampuan kognitif, buat soal secara terstruktur DASAR PEMIKIRAN PENENTUAN BOBOT SOAL
1. Adanya tingkat kesukaran menjawab item-item soal tersebut. 2. Adanya pembobotan soal akan memberikan peluang untuk menghargai mahasiswa lebih tinggi untuk setiap kemampuannya menyelesaikan soal yang derajat kesukarannya lebih tinggi pula, dan sebaliknya.
PEDOMAN PENENTUAN BOBOT SOAL
1. Bobot tinggi diberikan pada soal yang tingkat kemampuan yang dimintanya sama dengan tingkat kemampuan yang ditetapkan dalam tujuan pembelajaran, 2. bobot yang lebih tinggi diberikan dengan merujuk tingkat yang lebih tinggi di antara bobot tinggi tersebut, demikian pula sebaliknya. (Setelah masing-masing item soal ditentukan bobotnya, barulah soal tersebut siap diujikan).
MENGUKUR HASIL UJIAN
1. Menentukan bobot masing-masing item soal. 2. Mengoreksi jawaban soal ujian secara obyektif dan memberi angka kuantitatif.
MENILAI HASIL UJIAN
Jumlah bobot yang diperoleh mahasiswa dari suatu ujian adalah hasil pengukuran yang dinyatakan secara obyektif dan kuantitatif. Hasil pengukuran ini barulah merupakan angka yang diperoleh masing-masing mahasiswa. Angka tersebut harus diproses menjadi nilai, misalnya angka 60 sampai dengan 69 bernilai cukup. Dapat ditentukan bahwa nilai tersebut merupakan nilai terendah untuk kategori lulus. Ini artinya bisa saja suatu institusi pendidikan menentukan nilai terendah untuk kategori lulus, di atas atau dibawah nilai tersebut.
FUNGSI UJIAN
1. Mengukur efektifitas belajar mahasiswa agar dapat diketahui kemampuan umum mereka dalam kelas, agar diketahui apakah tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sudah tepat, terlalu tinggi atau terlalu rendah bagi mahasiswa dalam kelompok kelas itu. 2. Mengukur kemampuan institusional mereka agar diketahui kemampuan individual masing-masing di antara mahasiswa lainnya dalam kelas, agar diketahui apakah seorang mahasiswa patut diluluskan atau tidak. (Dengan demikian terdapat dua obyek penilaian, yaitu: penilaian kemampuan umum, dan kemampuan individual mahasiswa).
SYARAT PENILAIAN KEMAMPUAN INDIVIDUAL
1. Soal ujian harus spesifik, dalam arti tingkat kemampuan dalam setiap soal harus sesuai dengan tingkat kemampuan yang ditetapkan dalam tujuan pembelajaran. 2. Penilaian dilakukan secara dikotomis, dalam arti bobot yang diberikan pada jawaban mahasiswa harus ekstrem mendekati atau ekstrem menjauhi bobot soal yang ditetapkan. (Syarat yang kedua ini berkaitan dengan kepentingan penilaian secara tegas, sehingga jelas yang lulus dan yang tidak, serta terkurangi daerah ketidak pastian).
SYARAT PENILAIAN KEMAMPUAN UMUM
1. Soal tidak selalu harus spesifik, dan 2. Penilaian dikotomis dihindari untuk memperoleh tingkat kemampuan rata-rata maha-siswa dalam kelas.
KONSEP DASAR PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM EVALUASI
1. Penilaian Acuan Patokan (Creterion Reference), 2. Penilaian Acuan Norma (Norm Reference). P A P Penilaian Acuan Patokan (PAP) adalah penilaian yang didasarkan pada nilai baku yang telah ditentukan terlebih dahulu sebelum ujian dilaksanakan. Nilai baku ini merupakan kreteria kelulusan, dalam arti mereka yang dapat nilai baku ke atas, dinyatakan lulus. Nilai baku dapat berupa persyararatan capaian sejumlah nilai, misalnya 60 % ke atas, dapat pula berupa persyaratan capaian sejumlah tujuan pembelajaran, misalnya 3 dari 5 tujuan pembelajaran, artinya mereka yang dapat mencapai 3 dari 5 tujuan pembelajaran diputuskan lulus. KEUNTUNGAN DAN KELEMAHAN PAP
Mutu pendidikan dapat dipertahankan, dalam arti hanya mereka yang dapat menyamai atau melebihi nilai baku tersebut yang dapat lulus,tak ada spekulasi, tak ada katrol karena nilai baku telah ditetapkan. Kelemahan PAP muncul jika nilai baku itu terlalu tinggi, atau terlalu rendah. Untuk mengatasi kelemahan ini ujian serupa dengan soal serupa harus diselenggarakan beberapa kali sehingga terbukti memberikan keterandalan prosedur (reliability) yang tinggi. Selanjutnya soal tersebut dikumpulkan dalam bank soal untuk ujian-ujian di belakang hari. Dalam hal ini PAP dapat digunakan karena nilai baku yang ditetapkan telah teruji sebagai standar kelulusan yang pantas.
P A N
Penilaian Acuan Norma (PAN) merupakan cara pengambilan keputusan dengan mengunakan norma nilai rata-rata kelas atau norma kelompok sebagai acuan. Norma demikian dijadikan standar kelulusan. Jelas dalam hal ini norma tersebut baru ditentukan setelah jawaban dikoreksi, dan diketahui nilai rata-rata kelas atau kelompok.
KELEMAHAN DAN KEUNTUNGAN PAN
Kelemahan PAN: 1. Jumlah kelulusan menjadi tinggi. 2. standar mutu pendidikan akan terkorbankan ketika sebagian besar mahasiswa suatu kelas atau kelompok tergolong “slow learners”. 3. kurang dapat memotivasi mahasiswa untuk berpacu meraih prestasi tinggi. Bahkan mereka yang kurang pandai atau sedang-sedang saja yang biasanya jumlahnya besar dapat memaksa mereka yang pandai yang biasanya jumlahnya kecil untuk tidak mencoba meraih angka tinggi, sebab angka tinggi ini akan menaikkan nilai rata-rata kelas atau kelompok yang berarti mereka bisa tidak lulus. Kegunaan PAN: Penggunaan PAN lebih tepat sebagai alat diagnostik atau alat seleksi, misalnya seleksi ujian masuk suatu lembaga pendidikan.

ANALISIS MATERI DAN PEMBELAJARAN FIQH, AL-QUR`AN DAN AL-HADITS DI MADRASAH ALIYAH*

ANALISIS MATERI DAN PEMBELAJARAN FIQH, AL-QUR`AN DAN AL-HADITS DI MADRASAH ALIYAH*
Oleh Dr. M. Sa’ad Ibrahim, M.A.**
Bismillahir Rahmanir Rahim
A. Pendahuluan Dalam upaya memenuhi permintaan untuk menjadi salah satu nara sumber kegiatan Orientasi Pengembangan Kurikulum 2004 (KBK) Bagi Pengawas PAI SMA/K dan MA, diperoleh rujukan yang menyebutkan bahwa telah ditemukan berbagai persoalan dalam implementasi Kurikulum Pendidikan Agama Tahun 1994, yang antara lain: 1. Sarat dengan materi, sehingga menjadi beban bagi siswa maupun guru, dan tidak efektif; 2. Duplikasi materi antara satu unsure mata pelajaran dengan lainnya, dan dalam satu unsure mata pelajaran pada jenjang yang berbeda; 3. Materi yang substansi dan penting justru ada yang hilang; 4. Urutan mata pelajaran yang tumpang tindih baik antar jenjang kelas maupun antar jenjang pendidikan; 5. Tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dn teknologi, perkembangan masyarakat dan isu-isu kontemporer. Berdasarkan hal di atas, dipandang sudah waktunya untuk melakukan perubahan terhadap kurikulum tersebut demi pengembangan yang lebih baik Sebagian dari kurikulum tersebut adalah mengenai mata pelajaran fiqh, al-Qur`an dan al-Hadits, yang tentu saja tidak juga terlepas dari persoalan di atas. Dalam rangka upaya perubahan tersebut diperlukan kajian yang komprehensif, dengan harapan akan menghasilkan kurikulum yang lebih baik dari pada yang sudah ada sekarang ini. Makalah ini dimaksudkan untuk memberikan analisis bagi perubahan ke arah yang lebih baik tersebut, dengan harapan ada manfaatnya, walaupun andaikata sedikt. B. Deskripsi Singkat Fiqh Hukum Islam adalah hukum yang berdasarkan Quran dan atau Sunnah-Hadits Nabi saw. baik secara langsung maupun tidak. Secara langsung, jika hukum tadi dikemukakan dengan jelas oleh sumber tersebut, sehingga tidak memerlukan penggunakan manhaj al-istinbath seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Secara tidak lansung, jika hukum tersebut tidak disebut atau disebut dengan tidak jelas, sehingga memerlukan pemakaian manhaj tersebut yang dalam hal ini memerlukan pengerahan potensi intelektual secara optimal. Hukum Islam dapat ditemukan dalam kitab-kitab fiqh, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan institusi-institusi Islam, dan dalam pranata-pranata sosial masyarakat Islam. Fiqh merupakan salah satu khazanah intelektual Islam yang diperkirakan paling banyak mempengaruhi pola pikir dan prilaku masyarakat Islam. Substansi pengetahuan ini dibangun di atas landasan metodologis Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah dan di bawah pengaruh sosiokultural fuqaha yang bersangkutan. Penguasan terhadap pengetahuan fiqh ditujukan pada: Pertama, aspek the state of the art dari disiplin tersebut, yakni penguasaan pengetahuan tentang pembentukan dan keseluruhan perkembangan fiqh sampai sekarang. Kedua, analisis filosofisnya yang ditekankan pada cara berpikir keilmuan yang mendasari pengetahuan tersebut dengan pembahasan secara eksplisit mengenai postulat, asumsi dan prinsip yang mendasari fiqh. Ketiga, penguasaan mengidentifikasi masalah-masalah yang timbul di sekitar disiplin keilmuan fiqh tersebut. Bagian pertama meliputi legal exposition, dan legal history dari fiqh. Eksposisi hukum fiqh terdiri: al-ibadah, al-ahwal al-syakhshiyyah, al-mu’amalah al-madaniyyah, al-ahkam al-maliyyah wa al-iqtishadiyyah, al-’uqubah, al-murafa’ah, al-ahkam al-dusturiyyah, al-ahkam al-dawliyyah. Sejarah hukum fiqh atau -tepatnya- sejarah sosial hukum Islam tidak saja memaparkan secara kronologis mulai terbentuknya dan perkembangannya sampai sekarang, tetapi juga menganalisis pengaruh sosiokultural terhadap fiqh. Dalam kaitannya dengan ini, yang terpenting adalah refleksi kesejarah-sosialannya bagi pengembangan fiqh dewasa ini dan di masa depan. Bagian kedua mencakup kajian falsafahnya yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi fiqh. Bagian ketiga, menyangkut kemampuan menemukan dan mengidentifikasikan masalah-masalah fiqh, baik berkaitan dengan masa lampau, sekarang, dan yang akan datang. Dari segi metode yang dipakai, kajian fiqh mengenal tiga tipe. Pertama, dirasah al-fiqh ‘ala al-madzhab aw al-madzahib. Kedua, dirasah al-fiqh al-muqaran. Ketiga, dirasah al-masail al-fiqhiyyah al-haditsah. Tipe pertama, memaparkan dalil, istidlal, dan natijah hukum dari suatu madzhab atau madzhab-madzhab. Tipe kedua, memaparkan dalil, istidlal, dan natijah hukum dari madzhab-madzhab, dilanjutkan dengan paparan tentang persamaan, perbedaan, kekuatan dan kelemahan dalil dan istidlal masing-masing. Model ketiga, menentukan hukum kejadian baru masa kini terutama yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan pemakaian teknologi, dengan cara menggunakan manhaj al-istinbath. Ilmu fiqh biasanya didefinisikan sebagai pengetahuan tentang hukum-hukum syar’iy praksis yang didapat dari dalil-dalilnya secara rinci atau koleksi hukum-hukum syara’iy praksis yang diperoleh dari dalil-dalilnya secara rinci. Dalam aspek aliran, fiqh mengenal dua madzhab besar yaitu Syi’iy dan Sunniy. Syi’iy terbagi menjadi Zaidiy, Ja’fariy, Isma’iliy. Sedang Sunniy meliputi Malikiy, Hanafiy, Syafi’iy, Hanbaliy, dan lain-lainnya. Fiqh sebagai bagian dari hukum Islam, dibangun di atas asas-asas sebagai berikut: ‘nafy al-haraj, taqlil al-takalif, al-tadarruj, ri’ayah mashalih al-nas jami’an, iqamah-al-’adalah. Oleh karena fiqh itu dibangun -antara lain - di atas prinsip mashlahah, maka timbul pertanyaan, apakah mashlahah itu tetap, tidak pernah berubah. Jawabannya adalah jelas bahwa mashlahah itu bisa berubah-ubah karena perubahan sosial. Jawaban demikian adalah sangat sederhana, namun konsekwensinya terhadap teori mashlahah sangat besar. Misalnya, apakah nash-nash Quran atau Sunnah itu harus diaplikasikan seperti aplikasi pada masa Nabi saw. yang jelas-jelas pada waktu itu menimbulkan kemashlahatan bagi tegaknya tujuan-tujuan umum syara' yang disebut al-maqashid al-khamsah, yaitu terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, serta harta benda? Jika jawabannya adalah ya, berarti terdapat pengabaian terhadap prinsip bahwa kemashlahatan itu dapat berubah karena perubahan sosial. Sebaliknya jika jawabannya tidak, maka pada gilirannya agama akan kehilangan eksistensinya. Oleh karena itu perlu adanya pemilah-milahan, antara nash-nash yang harus diaplikasikan sebagaimana diaplikasikan pada masa Nabi saw. dan nash-nash yang aplikasinya memerlukan modifikasi baru sesuai dengan tuntutan perubahan sosial. Tentu saja hasil modifikasi tersebut harus tetap efektif dapat memelihara al-maqashid al-khamsah di atas. Dari apa yang telah dilakukan para ahli ushul ketika mereka mengkaji mashlahah tampak adanya kehati-hatian yang luar biasa untuk tidak jatuh pada sikap pengabaian terhadap syara'. Bahkan demikian ini juga tampak pada sikap Thufi yang memegangi metode takhshish dan bayan, tidak ta'thil dan iftiat ketika mendahulukan mashlahah daripada nash. Demikian pula kehati-hatian tersebut juga tampak, ketika ia membatasi aplikasi teori mashlahah hanya pada bidang mu'amalah dan adat saja, tidak pada bidang ibadah. Bahkan telaah yang dilakukan Hassan Hamid sampai pada kesimpulan bahwa nash yang diakui adanya kemungkinan berlawanan dengan mashlahah - yang kemudian diutamakan mashlahah daripada nash - tersebut adalah nash yang dhanniy. Adapun nash yang dari segala aspeknya adalah qath'iy, Thufi menolak terjadinya pertentangan dengan mashlahah, lebih-lebih lagi untuk mendahulukan mashlahah atas nash tersebut. Tentu saja kehati-hatian tersebut tampak lebih nyata lagi pada ahli-ahli ushul yang lain yang tidak seekstrem Thufi. Berkenaan dengan modifikasi aplikasi nash untuk mewujudkan kemashlahatan sesuai dengan tuntutan pemeliharaan al-maqashid al-khamsah dalam konteks kemoderenan dewasa ini, apa yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman patut memperoleh perhatian. Metode penafsiran Quran yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman dipergunakan berikut ini untuk mempersiapkan modifikasi di atas dengan beberapa penyesuaian. Pertama: Diperlukan pemahaman yang komprehensif historis terhadap nash-nash yang aplikasinya akan dimodifikasi untuk dapat melahirkan kemashlahatan dalam kontek kemoderenan. Kedua: Diperlukan upaya memilah-milah antara moral ideal nash dan legal spesifiknya. Ketiga: Memahami perubahan-perubahan sosial serta berbagai tuntutannya dalam kaitannya dengan kemoderenan. Keempat: Memegangi moral ideal nash tersebut, kemudian merumuskan legal spesifik baru dalam upaya melakukan modifikasi aplikasi nash untuk mewujudkan kemashlahatan sesuai dengan tuntutan pemeliharaan al-maqashid al-khamsah dalam kontek kemoderenan dewasa ini. Jika dibangun di atas prinsip seperti ini, fiqh akan mampu menghadirkan paradigma yang akomodatif terhadap perubahan-perubahan, dengan kata lain akan terwujud fiqh transformatif. Ini tidak berarti bahwa fiqh harus selalu transformatif, ada pula fiqh formatif, yaitu fiqh yang tidak akomodatif terhadap perubahan-perubahan. Fiqh jenis ini berkaitan dengan bidang ibadat pada umumnya. Fiqh formatif diperlukan untuk tetap terpeliharanya kemurnian hukum Islam, sedang fiqh transformatif diperlukan agar hukum tersebut tetap dapat eksis kapan dan di mana saja yakni tetap shalih li kull zaman wa makan. Ketika fiqh yang semestinya formatif dipandang transformatif, yang terjadi kemudian ialah masuknya ajaran-ajaran imitasi ke dalam Islam, atau tereduksinya ajaran-ajaran tersebut, sehingga lenyap kemurniannya. Sedang jika fiqh yang seharusnya transformatif diperlakukan sebagai fiqh formatif, terjadilah fosilisasi dan oleh karena itu fiqh menjadi stagnan. Fiqh haruslah tetap dikembangkan, baik yang transformatif maupun yang formatif. Kegagalan mengembangkan fiqh transformatif pada gilirannya akan menyebabkan fiqh tidak dapat eksis memberikan pedoman yang berguna bagi realitas kehidupan masyarakat, yang oleh karena itu akan out of date. Pengembangan fiqh formatif juga diperlukan. Akan tetapi hal itu bukan dimaksudkan untuk mengakomodasi perubahan-perubahan yang berakibat berubahnya hukum, namun untuk memberikan legitimasi, baik filosofis maupun ilmiah sehingga hukum tersebut bertambah kokoh teryakini secara imani dan intelektual. Sekalipun terhadap kedua-duanya harus dilakukan kajian pengembangan, namun jika diletakkan pada skala prioritas, tampaknya fiqh transformatif menduduki prioritas utama. Demikian ini dikarenakan fiqh transformatif menyangkut bagian terbesar dari aktifitas manusia. Lebih-lebih jika diperhatikan kajian di luar disiplin keislaman, telah melahirkan berbagai pengetahuan yang semakin terspesialisasi, sementara fiqh masih menempatkan kajian pilitik, ekonomi misalnya menjadi bagiannya, sedang kedua pengetahuan tersebut dewasa ini merupakan kajian yang berdiri sendiri tidak tergabung dalam disiplin hukum. Inilah salah satu kendala yang menyebabkan fiqh kurang dapat menjelaskan realitas kehidupan manusia dengan baik. Sementara itu, terdapat sebab-sebab lain mengapa fiqh kurang dapat menjelaskan hal tersebut, serta kurang dapat menampilkan wajah agama yang akomodatif terhadap perubahan. Sebab-sebab ini antara lain terletak pada aspek manusianya. Dalam hal ini, fanatisme madzhab merupakan sebab yang menjadikan fiqh tidak akomodatif terhadap perubahan. Terutama jika suatu madzhab sudah tidak relevan lagi bagi upaya-upaya mewujudkan dan menampilkan asas kemashlahatan dan keadilan yang merupakan elan vital hukum Islam. Tampaknya sering dilupakan, bahwa hasil-hasil ijtihad masa lampau itu pada umumnya terkait dengan kondisi dan situasi setempat, sehingga oleh karena itu bersifat ad hoc. Memang pada tempat dan waktu itu hasil ijtihad tersebut dapat mendukung tercapainya tujuan-tujuan umum syari’at. Akan tetapi karena sifatnya yang ad hoc maka dengan berubahnya tempat dan masa berubah pula tingkat dukungan itu, bahkan bisa menjadi nihil, bahkan lagi menjadi minus yang berarti justru melahirkan kemudlaratan-kemudlaratan yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip kemashlahatan dan keadilan. Masih berkaitan dengan sebab-sebab di atas, pendekatan tekstual secara membabi buta terhadap nash juga dapat menyebabkan kegagalan fiqh mengakomodasi adanya perubahan. Oleh karena itu kajian ushul fiqh mengenai al-qawa’id al-ushuliyyah al-lughawiyyah dibarengi dengan al-qawa’id al-ushuliyyah al-tasyri’iyyah. Berdasarkan kaidah, memang makna lafdhiy itulah yang diutamakan, sepanjang tidak ada indikator yang memalingkannya. Akan tetapi harus diingat bahwa indikator itu juga termasuk ketika natijah hukum yang diambil itu bertentangan dengan asas dasar hukum Islam, misalnya kemashlahatan umum dan keadilan. Dalam kondisi demikian kaidah kebahasaan harus ditinggalkan, dan mesti beralih kepenggunaan kaidah tasyri’iyah. C. Muatan Mata Pelajaran Fiqh di Kelas I, II, dan III Madrasah Aliyah Mata pelajaran fiqh diberikan dari kelas I sampai dengan kelas III, dengan alokasi waktu persemester 34 jam, kecuali semester terakhir yang hanya 30 jam. Dengan demikian untuk enam smester dari kelas I sampai dengan kelas III adalah 5 X 34 jam sama dengan 170 jam, ditambah lagi 30 jam, sehinga jumlah keseluruhannya ialah 200 jam. Dari segi materi, untuk semester I kelas I meliputi bidang-bidang: thaharah, shalat, puasa, zakat, haji dan ‘umrah, qurban dan ‘aqiqah, janazah. Untuk semester II kelas I, materinya adalah fiqh mu’amalah. Sedang untuk semester I kelas II, materinya meliputi bidang-bidang: jinayah, dan munakahah. Pada semester II kelas II, diberikan materi fiqh mawarits. Di kelas III semester I diberikan fiqh siyasiy, ahkam al-qadla`, dan ushul fiqh dengan materi sumber hukum Islam yang meliputi al-Qur`an, al-Sunnah, dan Ra`yu, hukum Islam, dan ijtihad. Di semester II kelas III diberikan materi permasalahan dalam pengembangan hukum Islam yang meliputi: ijma’, qiyas, dan fatwa, ittiba’, taqlid, tarjih, dan talfiq. Materi lainnya ialah dasar-dasar fiqh Islam, yang meliputi istihsan, istishhab, mashlahah mursalah, urf, syar’u man qablana, sadd al-dzari’ah, madzhab shahabiy, dan dalalah al-iqtiran. Materi berikutnya ialah kaidah-kaidah fiqh yang meliputi kaidah amar dan nahi, ‘amm dan khashsh, muthlaq dan muqayyad, manthuq dan mafhum, mujmal dan mubayyan, muradif dan musytarak, dhahir dan ta`wil, serta nasikh dan mansukh. D. Catatan Terhadap Muatan Materi dan Pembelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah Terhadap muatan materi fiqh di atas, berikut ini beberapa catatan diberikan: 1. Tidak selayaknya materi fiqh juga meliputi materi ushulnya, kecuali jika sebutannya adalah fiqh dan ushulnya. 2. Pembelajarannya ditujukan pada penguasaan fiqh sebagai produk, bukan sebagai sebuah proses, sehingga hanya kan menghasilkan kompilasi hafalan, bukan pemahaman terhadap proses istinbath yang menghasilkan produk yang berupa furu’, tanpa adanya pemahaman terhadap hubungan antara furu’ dan ushulnya. 3. Jika memang dimaksudkan untuk memberikan keseluruhan materi fiqh, maka masih tersisa bagian yang belum diajarkan yaitu fiqh dawliy, yaitu fiqh yang membicarakan tentang perikatan-perikatan hukum antara satu negara dan negara yang lain, yang dewasa ini dikenal dengan sebutan hukum internasional. 4. Selayaknya materi fiqh didahului dengan materi ushul fiqh, dan pengantar fiqh, yang dengan demikian akan kondusif bagi pembelajaran fiqh dengan tekanan pada proses, dari pada produk istinbathnya. 5. Muatan fiqh yang justru berupa ushul fiqh di kelas III, terdapat beberapa kekeliruan, misalnya kaidah amar dan nahi, adalah bukan merupakan kaidah fiqh, tapi kaidah ushul; sumber-sumber hukum Islam disebutkan ialah al-Qur`an, al-Sunnah, dan al-Ra`yu, sementara dasar-dasar fiqh meliputi istihsan, istishhab, mashlahah mursalah, urf, syar’u man qablana, sadd al-dzari’ah, madzhab shahabiy, dan dalalah al-iqtiran. Sementara itu ijma’, qiyas, fatwa, ittiba’, taqlid, tarjih, dan talfiq dianggap sebagai permasalahan pengembangan hukum Islam. Jelas demikian ini, merupakan kerancuan yang tidak boleh terjadi. Seperti diketahui bahwa dalam ushul fiqh itu dibicarakan al-adillah al-syar’iyyah, yang meliputi al-Qur`an, al-Sunnah, al-ijma’, al, qiyas, al-istihsan, al, mashlahah al-mursalah, sadd al-dzari’ah, syar’u man qablana, urf, dan seterusnya. Juga dibicarakan al-ahkam al-syar’iyyah, al-qawaid al-lughawiyyah al-ushuliyyah, al-qawaid al-tasyri’iyyah al-ushuliyyah, kemudian ijtihad, ittiba’, dan taqlid, disamping tentu saja dalam muqaddimahnya dibicarakan misalnya pengertian ushul fiqh, obyek, tujuan, dan sebagainya. 6. Pembelajaran fiqh selayaknya dengan menjelaskan aspek dalil yang dipergunakan, proses istinbath, kemudian natijah hukumnya, yang oleh karena itu keseluruhan silabinya harus didisain menjadi tiga komponen tersebut. Dengan cara demikian akan kondusif bagi lahirnya pemahaman terhadap fiqh dengan tekanan pada proses istinbath, sehingga siswa mampu menilai validitas produk yang berupa natijah hukum itu sesuai dengan ketepatan penentuan dalil dan penggunaan kaidah-kaidah istinbathnya. 7. Mengacu pada point-point di atas, maka tidak diperlukan pemberian hampir keseluruhan muatan fiqh seperti itu, tetapi cukup memberikan beberapa contoh secara prosedural istinbathiy aspek-aspek tertentu dari bidang-bidang kajian fiqh. 8. Tampaknya perlu didesain pembelajaran fiqh antara di tingkat tsanawiyah dan aliyah sebagai suatu kesatuan yang berkelanjutan. Untuk itu di tingkat tsanawiyah, pembelajaran fiqh terutama ditekankan sebagai tuntunan beribadah, oleh karena itu materi pembelajarannya adalah thaharah, shalat, dan puasa, dengan alasan bahwa ketiga aspek inilah yang terutama bisa dilaksanakan oleh siswa setingkat tsanawiyah. Sedang kelanjutannya diberikan di tingkat aliyah, dengan tekanan pada aspek prosedur istinbathnya. E. Diskripsi Studi al-Qur’an dan al-Hadits Studi al-Quran secara komprehensif bertujuan untuk memiliki pemahaman terhadap the state of the art dari disiplin tersebut, analisis filosofis, menemukan dan mengidentifikasikan masalah-masalah yang timbul pada masa lampau, sekarang, dan akan datang serta menemukan alternatif-alternatif pemecahannya. The state of the art disiplin al-Quran, meliputi keseluruhan eksposisi studi al-Quran sejak masa formatifnya sampai dengan perkembangannya dewasa ini, serta sejarah sosialnya yang tidak saja berupa paparan kronologisnya, tetapi juga deskripsi tentang pengaruh sosiokultural terhadap studi al-Quran ini. Eksposisi studi al-Quran meliputi disiplin-disiplin: ‘ilm asbab al-nuzul, ‘ilm tawarikh al-nuzul, ‘ilm aqsam al-Quran, ilm al-makkiy wa al-madaniy, ilm al-nasikh wa al-mansukh, ilm al-qiraat, ilm rasm al-Quran, ilm al-muhkam wa al-mutasyabih, ilm i’jaz al-Quran, ilm amtsal al-Quran, ilm qashash al-Quran, ilm jadal al-Quran, ilm munasabat al-Quran, ilm tafsir al-Quran. Mengenai sejarah sosialnya, meliputi tarikh al-quran, dan tarikh ulum al-Quran. Analisis filosofis memaparkan kajian falsafah ontologi, epistemologi, dan aksiologi terhadap disiplin studi al-Quran. Sedangkan aspek penemuan dan pengidentifikasian masalah-masalah serta alternatif-alternatif pemecahannya merupakan bagian dinamika keilmuannya, agar tidak terjadi fosilisasi pada ilmu-ilmu al-Quran itu sendiri, sekaligus merupakan upaya aktualisasi nilai-nilai petunjuknya dalam konteks kedisinian dan kekinian. Di kalangan kaum muslimin, al-Quran yang secara harfiyah berarti bacaan diyakini sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. secara berangsur-angsur dengan perantaraan malaikat Jibril, berbahasa Arab, ditransmisikan terus menerus secara tawatur, memiliki daya i’jaz, dan membacanya dinilai ibadah. Selain mu’jizat, al-Quran diyakini juga berfungsi sebagai petunjuk abadi dan universal bagi umat manusia. Sekalipun al-Quran diyakini diturunkan sebagai petunjuk yang bersifat abadi lagi universal, namun tidak terhindarkan adanya keterikatan dengan masyarakat Makkah dan Madinah serta sekitarnya sebagai penerima awal kitab suci itu. Akibatnya ialah tampak adanya sifat tipikal yang memberi corak pada berbagai kandungan al-Quran. Upaya untuk mendapatkan petunjuk al-Quran dalam bentuk nilai-nilai yang abadi dan universal hanya akan berhasil jika perhatian juga ditujukan kepada masyarakat penerima pertama kitab suci tersebut yang merupakan faktor utama adanya sifat tipikal itu. Untuk memahami petunjuk al-Quran, diperlukan adanya penafsiran yang dapat menjelaskan kedalaman, keluasan, dan dinamika internal nash-nashnya. Untuk itu para ulama telah berupaya memaparkan berbagai metode dan corak penafsiran yang dipergunakan di kalangan mufassirûn. Terdapat corak fiqhiy, ‘ilmiy, falsafiy, shûfiy, suatu corak yang didasarkan atas spesialisasi bidang. Di samping itu juga terdapat jenis tafsir bi al-ma`tsûr berdampingan dengan tafsir bi al-ra`y dua jenis tafsir yang dibedakan oleh sumber penafsirannya yaitu atsar atau akal. Selain itu juga terdapat tafsir tajzî`iy yang berhadap-hadapan dengan tafsir maudlû’iy. Jenis tafsir yang lain lagi adalah tafsir muqaran dan tafsir adabiy wa ijtimaiy. Dalam perkembangannya dewasa ini studi al-Quran juga diperkaya oleh pendekatan kontekstual terutama oleh Fazlur Rahman, semantik oleh Toshihiko Izutshu, dan digairahkan kembali tafsir ‘ilmiy oleh Muhammad Arkoun. Kajian al-Quran juga diperkaya oleh partisipasi dunia Barat, khususnya Barat moderen. Karya-karya mereka menurut Fazlur Rahman terbagi menjadi tiga kategori: 1. karya-karya yang berusaha mencari adanya pengaruh Yahudi-Kristen di dalam al-Quran; 2. tulisan-tulisan yang mencoba membuat rangkaian kronologis dari ayat-ayat al-Quran; 3. karya-karya yang bermaksud menjelaskan keseluruhan atau bagian-bagian tertentu saja tentang ajaran al-Quran. Karya kategori pertama dibuat misalnya oleh Abraham Geiger, Hartwig Hirschfeld, Richard Bell, dan John Wansbrough. Karya kategori kedua terlihat misalnya pada tulisan Nöldeke - Schwally, R. Blachere, Rudi Paret, A Jeffery, John Burton. Karya kategori ketiga ditunjukkan antara lain oleh Ignaz Goldziher, H. Grimme, Kenneth Cragg, Thomas O’Soughnessy, S.H. al-Shamma. Juga termasuk kelompok ketiga ini adalah penulis Jepang Toshihiko Izutsu. Karya kategori pertama sampai pada tesis - diajukan misalnya oleh John Wansbrough - bahwa al-Quran adalah kitab yang bercorak keyahudian (Yahudi-Kristen), merupakan perpaduan dari berbagai tradisi, dan oleh karena itu al-Quran adalah sebuah ciptaan post profetik. Tesis karya kategori kedua ialah bahwa ayat-ayat Quran dapat disusun secara kronologis. Dalam hal ini Bell telah melakukannya, walaupun menurut Paret yang juga didukung oleh Fazlur Rahman bahwa hal tersebut adalah mustahil. Masih dalam kategori kedua, John Burton sampai pada tesis bahwa keseluruhan al-Quran telah diedit, dicek, dan disebarluaskan oleh Muhammad sendiri. Tulisan-tulisan kategori ketiga telah sampai pada tesis yang bermacam-macam. Karya demikian hanya memaparkan aspek-aspek tertentu saja di dalam al-Quran, tanpa adanya pengetahuan mengenai al-Quran itu sendiri, yang oleh karena itu menurut Fazlur Rahman tidak ada satu karyapun yang bersumber dari al-Quran itu sendiri. Studi hadits telah menghasilkan dua perangkat kajian, yaitu studi riwayat dan dirayat. Kedua bagian kajian hadits ini telah memperkaya khazanah intelektual muslim yang tidak tertandingi oleh komunitas-komunitas agama lain, bahkan kelebihannya melampau disiplin ilmu sejarah. Kajian hadits dalam aspek metodologis memuat kajian tentang sejarah penulisan hadits, qawaid al-tahdits, jarh wa ta’dil, kritik sanan dan matan, takhrij al-hadits, dan istilah-istilah baku kehaditsan. Bahkan jga memuat kajian tentang pandangan orientalis erhadap hadits. Tentu saja juga kajian ini telah menghasilkan tidak saja berbagai kumpulan hadits, tetapi juga berbagai kitab syarh al-hadits. F. Muatan Pelajaran al-Qur`an dan al-Hadits di Kelas I, II, dan III Mata pelajaran al-Qur`an dan al-Hadits diberikan dari kelas I sampai dengan kelas III dengan alokasi waktu seperti pada mata pelajaran fiqh. Materi al-Qur`an dan al-Hadits terbagi menjadi dua, yaitu: `ulumul Qur`an dan ‘ulumul Hadits di satu pihak dan sejumlah ayat dan hadits di pihak lain. Ulumul Qur`an dan ulumul Hadits meliputi: 1. Pengertian al-Qur`an dan Wahyu; 2. Al-Qur`an sebagai mu’jizat; 3. kedudukan, fungsi, dan tujuan al-Qur`an; 4. Cara-cara wahyu diturunkan; 5. Hikmah al-Qur`an diturunkan secara berangsur-angsur; 6. Tema pokok al-Qur`an; 7. Cara mencari surat dan ayat al-Qur`an; 8. Pengertian Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar; 9. Kedudukan dan fungsi Hadits; 10. Macam-macam Sunnah; 11. Unsur-unsur Hadits; 12. Pengenalan beberapa kitab kumpulan Hadits (Bulughul Maram, Subulus Salam, Shahihul Bukhari, dan Shahih Muslim); Sementara itu, untuk materi lainnya berupa sejumlah ayat dan hadits tentang: 1. Kemurnian dan kesempurnaan al-Qur`an; 2. Al-Qur`an dan al-Hadits sebagai sumber nilai dan pemikiran tentang kebesaran dan kekuasaan Allah; 3. Al-Qur`an sebagai sumber nilai dan dasar kewajiban beribadah kepada Allah; 4. Nikmat Allah dan mensyukurinya berdasarkan ayat al-Qur`an dan Hadits; 5. Ajaran al-Qur`an tentang pemanfaatan potensi alam; 6. Ajaran al-Qur`an dan al-Hadits tentang pola hidup sederhana dan pengamalannya; 7. Pokok-pokok kebajikan; 8. Prinsip-prinsip amr ma’ruf nahy munkar; 9. Hukum dan metode da’wah; 10. Tanggung jawab manusia; 11. Kewajiban berlaku adil dan jujur; 12. Larangan berbuat khianat; 13. Pergaulan sesama manusia, dan tidak berlebih-lebihan; 14. Makanan yang baik dan halal; 15. Pembangunan pribadi dan masyarakat; 16. Ilmu pengetahuan. G. Catatan Terhadap Muatan Materi dan Pembelajaran al-Qur`an dan al-Hadits di Madrasah Aliyah Terhadap muatan materi al-Qur`an dan al-Hadits di atas, berikut ini beberapa catatan diberikan: 1. Tampak adanya kesebandingan pada muatan mata pelajaran di atas antara aspek metodologis dan materialnya, jika pembelajaran al-Qur`an dan al-Hadits ini penekanannya pada proses pemahamannya, maka sudah waktunya dipikirkan untuk memberikan muatan metodologis lebih banyak dari pada muatan materialnya; 2. Untuk muatan metodologisnya perlu ditambahkan sejarah pemeliharaan al-Qur`an, asbab al-nuzul, makkiy madaniy, nasikh mansukh, qawa’id al-tafsir, manhaj al-tafsir, aliran-aliran tafsir, kitab-kitab tafsir, asbab al-wurud, qawaid al-tahdits, jarh dan ta’dil, dan komputasi baik hadits maupun al-Qur`an. 3. Untuk muatan kitab-kitab hadits, sebaiknya diperkenalkan al-kutub al-tis’ah, dan bukan seperti yang tercantum di atas, sebab, subulus salam, misalnya adalah bukan kitab hadits tapi kitab syarh al-hadits. 4. Perlu juga muatan tentang cara mencari hadits. 5. Dalam pembelajarannya, perlu menghubungkan antara muatan metodologis dan muatan materialnya yang berupa penafsiran dan pensyarahan, sebagai dua komponen yang berupa prosedur dan hasil. 6. Tidak perlu ada materi pembedaan antara sunnah qauliyah, fi’liyah, dan taqririyah, sebab tidak begitu memiliki kebermaknaan dalam pemahaman hadits. I. Penutup Upaya penyempurnaan kurikulum dan silabi secara berkelanjutan adalah tuntutan keniscayaan dari suatu proses pendidikan yang memproyeksikan diri untuk mampu menghadapi berbagai tantangan masa depan. Sekalipun demikian, dalam banyak hal terwujudnya kemampuan tersebut akan lebih ditentukan oleh potensi pengelolanya - khususnya para pendidiknya itu sendiri - dari pada seperangkat kurikulum dan silabi. Di atas semuanya itu, tingkat spirit keagamaan dalam arti kualitas ruh pengabdian kepada Allah akan menjadi penentu baik-buruknya capaian di atas. Semoga upaya penyempurnaan ini mendapat ridlaNya. Malang, 22 Juni 2005 Bahan Bacaan ‘Abd al-Hayy al-Farmawi. 1977. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu’iy. Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah. ‘Abd al-Rahman bin Nashir al-Sa’di. 1980. al-Qawa’id al-Hisan li Tafsir al-Qur`an. Riyadl: al-Ma’araif. Azami, M. Mustafa al-. 1985. On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprodence. Suadi Arabia: King Saud University. Coulson, Noel J. . 1964. A History of Islamic Law. Edinburgh: The University Press. Coulson, Noel J. 1969. Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence. Chicago and London: The University of Chicago Press. Fazlur Rahman. 1980. Major Themes of the Qur`an. Chicago: Bibliotheca Islamica. Fazlur Rahman. 1986. “Interpreting the Qur`an” dalam Inquiry, Mei 1986. Hassan, Husain Hamid. 1971. Nadhariyyah al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamiy. Bairut: Dar al-Nahdlah al-'Arabiyyah. Howard M. Federspiel. 1994. Popular Indonesian Literature of the Qur`an. Cornell: Cornell Modern Indonesia Project. Ihsan Ilahi Dhahir. 1983. al-Syi’ah wa al-Quran. Pakistan: Idarah Tarjuman al-Sunnah. Jalal a-Din al-Suyuthi. 1935. al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran. Beirut: Dar al-Fikr. John Wansbrough. 1977. Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Inter-pretation. Oxford: the University Press. John Burton. 1981. The Collection of the Quran. Cambridge: the University Press. Khalaf, ‘Abd al-Wahhab. 1972. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Jakarta: al-Majlis al-A’la al-Indonesiy li al-Da’wah al-Islamiyyah. Khathib, Ajjaj al, 1989. Ushul al-Hadits, Ulumuh wa Mushthalahuh, Beirut: Dar al-Fikr. Khathib, Hasan Ahmad. Tanpa Tahun. al-Fiqh al-Muqaran. Bairut: Muassasah al-Risalah. Lapidus, Ira M. 1989. A History of Islamic Societies. Cambridge: University Press. Montgomery Watt. 1967. Bell’s Introduction to the Quran. Edinburgh: the University Press. Muhammad Husain al-Dzahabiy, 1986. al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadits. Kaero: Dar al-Taufiq. Muhammad Husain al-Dzahabiy. 1976. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Juz I dan II Beirut:Dar al-Fikr. Muhammad ‘Abd al-’Adhim al-Zarqani. Tanpa Tahun. Manahil al-’Irfan fi ‘Ulum al-Quran. Beirut: Dar al-Fikr. Muhammad ‘Ali al-Shabuni. 1985. al-Tibyan fi ‘Ulum al-Quran. Beirut: ‘Alam al-Kutub. Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki al-Husni. 1983. Zubdah al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran. Saudi: Dar al-Syuruq. Muhammad Naqir al-Shadr. 1981. al-Madrasah al-Quraniyyah: al-Tafsir al-Maudlu’iy wa al-Tafsir al-Tajzi’iy. Beirut: Dar al-Ta’aruf. Muhammad Salim Mahisan 1402 H. Tarikh al-Quran al-Karim. Saudi Arabia: Rabithah al-’Alam al-Islamiy. Mushthafa Muslim. 1989. Mabahits fi al-Tafsir al-Maudlu’iy. Damaskus: Dar al-Qalam. Muslehuddin, Mohammad. 1980. Philosophy of Islamic Law and The Orientalists (A Comparative Study of Islamic Legal System). Lahore: Islamic Publications Ltd. Muslehuddin, Mohammad. 1982. Islamic Jurisprodence and The Rule of Necessity and Need. New Delhi: Kitab Bhavan. Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition. Chicago and London:The University of Chicago Press. Richard C. Martin (Ed.). 1985. Approaches to Islam in Religious Studies. Arizona: the University of Arizona Press/Tucson (See articles: 2, 8-12). Sabiq, Sayyid. 1968. Fiqh al-Sunnah.. Kuwait: Dar al-Bayan. Schacht, Joseph. 1971. An Introduction to Islamic Law. Oxford: The Clarendon Press Shiddieqy, Hasbi ash. 1974. Pengantar Ilmu Fiqih. Jakarta: Bulan Bintang. Shubhi Shalih. 1989. Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits. Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin. Shubhi Shalih. 1988. Mabahits fi ‘Ulum al-Quran. Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin. Syalabi, Muhammad Mushthafa. 1981. Ta' lil al-Ahkam. Bairut: Dar al-Nahdlah al-'Arabiyyah. Toshihiko Izutsu. 1966. Ethico Religious Concept in the Quran. Montreal: McGill University Press. Yamani, Ahmad Zaki. 1970. al-Syariah al-Khalidah wa Musykilah al-'Ashr. Saudi: al-Dar al-Sa'udiyyah li al-Nasyr wa al-Tauzi'. Zahir bin ‘Awwadl al- Alma’i. 1404 H. Dirasat fi al-Tafsir al-Maudlu’iy. Riyadl: Tanpa Penerbit. Zahrah, Muhammad Abu. Tanpa Tahun. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah. Beirut: Dar al-Fikri al-’Arabiy. Zuhaili, Wahbah. 1990. al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr.

STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN NILAI DALAM KURIKULUM 2004

STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN NILAI DALAM KURIKULUM 2004
(Telaah Dengan Pendekatan Islam)
Oleh: DR. M. Sa’ad Ibrahim, M.A.
Bismillahir Rahmanir Rahim
A. Pendahuluan Keprihatinan dunia pendidikan terhadap masa depan kehidupan umat manusia hampir menyeluruh ditunjukkan oleh institusi mulia ini. Hal ini terutama terkait dengan proses penanaman kesadaran pentingnya memelihara dan menjadikan nilai sebagai motor penggerak semua aktifitas dalam dunia pendidikan itu sendiri. Memang hampir dapat dipastikan bahwa semua tindakan sadar manusia selalu berbasis pada nilai yang dianutnya, tetapi mengingat nilai itu sendiri memiliki tidak hanya varian-varian, tapi juga tingkatan-tingkatan, maka dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi tingkatan nilai yang menjadi tolok ukur dan penggerak suatu tindakan sadar, maka semakin tinggi makna tindakan itu. Demikian pula sebaliknya. Dalam kehidupan yang mengglobal sekarang ini, terjadi arus besar dominasi nilai rendah terhadap nilai tinggi yang menimpa hampir seluruh dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali terhadap dunia pendidikan. Nilai-nilai yang profan mengalahkan nilai-nilai yang sakral, sebagai konsekuensi logis terjadinya sekularisasi besar-besaran termasuk terhadap dunia pendidikan itu sendiri. Bahkan sekularisasi itu juga tampak pada usulan UNESCO tentang empat pilar pendidikan di abad ke-21, yaitu: learning to know; learning to do; learning to be; and learning to live together. Upaya desekularisasi terhadap empat pilar pendidikan ini harus dilakukan dengan memberikan penegasan dan menjadikan sebagai pilar utama yaitu learning to be menjadi - antara lain, terutama - learning to be good God servant. Upaya demikian sekaligus berarti penyelarasan antara pilar-pilar tersebut dengan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (2004), yaitu: 1. Keimanan, Nilai dan Budi Pekerti Luhur; 2. Keseimbangan Etika, Logika, Estetika, dan Kinetika; 3. Penguatan Integrasi Nasional; 4. Kesamaan Memperoleh Kesempatan; 5. Abad Pengetahuan dan Teknologi Informasi; 6. Pengembangan Keterampilan Hidup; 7. Belajar Sepanjang Hayat; 8. Berpusat pada Anak dengan Penilaian yang Berkelanjutan dan Komprehensif; 9. Pendekatan Menyeluruh dan Kemitraan. Tanpa upaya desekularisasi terhadap pilar-pilar pendidikan yang diajukan UNESCO tersebut, prinsip keimanan tidak memiliki area dalam dunia pendidikan. Padahal arah utama keimanan tersebut adalah menjadikan manusia sebagai hamba baik Allah yang berimplikasi baik pula bagi lingkungan hidupnya secara menyeluruh. Persoalannya kemudian ialah bagaimana menemukan strategi pembelajaran yang berbasis pendidikan nilai seperti dituntut kurikulum berbasis kompetensi di atas, sehingga kondusif bagi masa depan umat manusia, terutama dalam kaitannya dengan dunia pendidikan. Persoalan inilah yang dikaji dalam makalah ini. B. Paradigma Teologis Hak-hak Anak Didik Paradigma tauhid yang merupakan esensi Islam, dirumuskan dalam kalimat La ilaha illallah. Paradigma ini mengandung konsekuensi vertikal dan horisontal. Konsekuensi pertama, berupa tuntutan agar jangan sekali-kali manusia menjadikan selain Allah sebagai Tuhan, termasuk manusia sendiri satu sama lain. Konsekuensi kedua, berupa kemerdekaan, kesetaraan, keadilan, dan kesaudaraan antar sesama. Ini berarti tidak boleh ada toleransi sama sekali terhadap tindakan-tindakan destruktif dan eksploitatif terhadap sesama, satu sama lain. Jika terjadi demikian, berarti tidak ada lagi kemerdekaan, kesetaraan dan kesaudaraan. Tindakan-tindakan demikian akan terhindarkan jika kewajiban dilaksanakan dengan baik dan hak sesama dihormati secara proporsional. Salah satu dari pemilik hak ini adalah anak didik. Pengabaian terhadap hak-hak anak didik, dalam arti tidak dilaksanakan kewajiban pendidik kepada anak didik, mengandung makna pensubordinasian yang selalu berarti memberikan keabsahan terhadap segala bentuk tindakan destruktif dan eksploitataif tersebut, yang jelas-jelas bertentangan dengan paradigma tauhid. Pengabaian tersebut, disamping karena kurang dipahaminya konsekuensi horisontal paradigma tauhid, juga tampaknya karena tuntutan penghormatan kepada pendidik yang diajarkan Islam kurang dapat diletakkan secara proporsional. Seringkali pendidik memahami secara ekstrem tuntutan penghormatan anak didik kepada mereka, yang berakibat pengabaian kewajiban itu sendiri, sehingga hak-hak anak didik kurang mendapat perhatian. Dalam surat al-Ikhlash , proklamasi paradigma tauhid, ditindaklanjuti dengan pernyataan bahwa Allah adalah al-Shamad, yakni Dzat yang kepadaNyalah seluruh hidup makhluk disandarkan. Terkandung makna di dalamnya, bahwa yang harus dituju dalam keseluruhan tindakan manusia adalah Allah. Demikian pula ketika pendidik melakukan kewajiban kependidikannya harus disandarkan kepada Allah, bukan misalnya digantungkan pada balasan yang akan diterima kelak dari anak didik mereka. Allah memerintahkan berbuat baik apa saja, bukan karena siapa-siapa, tetapi karena Allah telah berbuat baik kepada manusia. Dengan demikian, penyandaran diri kepada Allah semata merupakan bagian integral paradigma tauhid itu sendiri. C. Nilai-nilai Potensial Manusia dalam Kaitannya dengan Pendidikan Islam memandang manusia dengan pandangan optimistis, dalam arti bahwa karena manusia memiliki fithrah - esensi dasar - baik, maka manusia dipandang dapat mengatasi berbagai kecenderungan negatif dalam menempuh hidup fenomenalnya di dunia ini. Fithrah adalah sketsa Allah (Shibghah Allah) yang disaputkan kedalam bentangan kanvas rohani manusia sebelum hidup fenomenal mereka, yang berupa ikatan primordial kepada Allah sebagai Rabb manusia . Dengan sketsa ini manusia memiliki kecenderungan asasi pada nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan, sebagai implikasi akidah tauhid mereka yang ditanamkan pada masa transendental itu.. Akan tetapi bersamaan dengan itu pula bentangan kanvas rohani manusia juga mewarisi sketsa orang tua mereka secara psikhis genetik. Sketsa psikhis genetik ini, baik buruknya tergantung pada totalitas kebaikburukan orang tua mereka. Jika totalitas psikhis orang tua mereka baik, maka baik pula warisan psikhis genetik yang diturunkan kepada anak mereka, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi, baik sketsa Allah, maupun sketsa orang tua dalam diri anak masih bersifat potensial, maka keputusan aktualisasinya sepenuhnya berada pada wilayah free will anak itu sendiri. Hanya saja jika sketsa orang tua berupa kejahatan, maka anak tersebut akan rentan sekali terhadap pengaruh jahat lingkungannya. Akan tetapi ini tidak berarti, anak tersebut mesti tidak dapat mengatasi pengaruh lingkungan mereka, karena pada diri mereka masih tetap ada potensi sketsa Allah. Sebaliknya jika sketsa yang diwariskan orang tua mereka adalah baik, maka mudah sekali mereka menerima stimulan-stimulan kebaikan yang diberikan oleh lingkungan hidup mereka, karena pada diri mereka terdapat dua sketsa yang sama-sama baiknya, yaitu sketsa Allah dan sketsa orang tua mereka. Tentang pengaruh kekuatan sketsa orang tua, terdapat perbedaan antara bapak dan ibu. Pengaruh kekuatan sketsa ibu kepada anak lebih kuat dari pada bapak. Ingkarnya putra Nabi Nuh kepada Allah , adalah contoh tentang ini. Pengaruh sketsa psikis genetik yang baik sebagai seorang Nabi - a.s.- kepada putranya kalah dominan dibanding pengaruh kekufuran ibu. Berbeda dengan pewarisan genetika psikis, pada pewarisan genetika pisik, bapak lebih kuat dari pada ibu, misalnya penentu jenis kelamin anak justru terletak pada sperma bapak, bukan pada ovum ibu. Mengenai pengaruh kebaikan dan keburukan, juga terdapat perbedaan. Bapak lebih mudah mengajak anak pada keburukan, daripada mengajak pada kebaikan. Sedang ibu lebih mudah mengajak anak pada kebaikan, daripada mengajak pada keburukan. Inilah yang tersirat dalam hadits Nabi saw. : sorga itu terletak pada telapak kaki ibu. Kebalikannya adalah neraka itu terletak di telapak kaki bapak. D. Strategi Pembelajaran Berbasis Pendidikan Nilai Seperti telah dikemukakan bahwa tindakan-tindakan sadar manusia selalu dilatarbelakangi oleh adanya nilai-nilai yang dianutnya, tidak terkecuali tindakan anak didik. Tentu saja merupakan keinginan bersama para pendidik, agar nilai-nilai yang melatarbelakngi tindakan anak didik adalah nilai-nilai yang sesuai dengan tuntutan keimanan, disamping sesuai dengan kemulian harkat dan martabat manusia itu sendiri, baik sebagai individu, masyarakat, bahkan selaku sebuah bangsa. Oleh karena itu menjadi amat penting untuk menentukan strategi pembelajaran yang berbasis pada pendidikan nilai. Dalam kaitan dengan ini, pada prinsipnya seorang pendidik tidak dapat memberikan apa yang tidak dimiliki olehnya. Untuk itu, tentu saja pemihakan terhadap nilai-nilai luhur harus terlebih dahulu dilakukan oleh pendidik itu sendiri. Dalam perspektif Islam, besar dosa seseorang yang menyuruh suatu tindakan kebaikan, sementara ia mengabaikan untuk melaksanakan kebaikan itu sendiri. Dengan kata lain keteladanan menjadi amat dominan sebagai salah satu strategi dasar bagi proses pembelajaran. Bahkan kejernihan kepribadian pendidik juga amat mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran itu sendiri. Ibarat kaca yang bersih, cahaya yang dipancarkan padanya dapat menembus dan mengenai obyek di belakangnya. Demikian juga mestinya seorang pendidik, harus memiliki kejernihan hati dan pikiran, jika ia ingin proses pembelajaran yang dilakukan dapat berhasil secara optimal. Disamping itu, orientasi kependidikan yang dimiliki oleh seorang pendidik harus tertuju sebagai upaya melaksanakan tugas kekhalifahannya di bumi ini, sebagai suatu tugas mulia dari Allah swt, demi merealisasikan atribut teologis kemahatahuanNya dalam batas kapasitas manusiawi. Dengan demikian, proses pembelajaran akan memiliki dimensi teologis yang sakral. Dengan kata lain, penting untuk disadari bahwa pendidik adalah bagian dari qalam (pena) Tuhan, yang dengannya Ia mengajar manusia. Merujuk pada perlakuan Nabi Ibrahim terhadap Ismail ketika hendak melaksanakan perintah Allah berupa cobaan agar menyembelihnya, ia meminta pandangan sang anak, pada hal ketika itu Ismail masih kecil yang belum layak dimintai pandangan, maka dalam proses pembelajaranpun, anak didik harus ditempatkan sebagai subyek, bukan obyek, seperti sikap yang ditunjukkan oleh Ibrahim tersebut. Dengan demikian, proses pengenalan nilai-nilai transendental, harus berujung pada pilihan bebas yang dibangun atas dasar kesadaran anak didik sendiri. Pendidik hanya bertugas mengenalkan, menfasilitasi, dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pilihan dan pemihakan anak didik pada nilai-nilai transendental tersebut. Sekalipun demikian, upaya ini bukalah segala-galanya, karena anak didik bukanlah sebuah entitas kosong sebagimana diintrodusir oleh John Lock dengan tabularasanya. Pada diri anak didik telah berbaur sketsa kebaikan tranendental Ilahi dan sketsa kebaikburukan orangtuanya. Komposisi kedua sketsa ini juga memiliki pengaruh terhadap kondusifitas arah pilihan dan pemihakan tersebut. Tidak juga dapat dikesampingkan, pentingnya peran masyarakat dengan berbagai pranata sosialnya untuk senantiasa memelihara lingkungan yang kondusif bagi ketahanan nilai-nilai transendental dalam pergumulannya dengan nila-nilai profan yang melanda hampir segala sudut kehidupan yang mengglobal sekarang ini. Peran penting juga semestinya diambil oleh pemerintah, terutama melakukan filter terhadap nilai-nilai provan yang menampakkan diri dalam berbagai budaya rendah yang menurunkan martabat manusia, baik lokal maupun global yang melanda bangsa ini. Pihak legislatif tidak kalah pentingnya, untuk memiliki inisiatif menciptakan berbagai pranata hukum yang bertujuan menutup rapat-rapat segala celah yang dapat mengakses pada nilai-nilai rendah. Untuk lembaga yudikatif juga mestinya menjatuhkan hukuman yang memiliki dampak preventif optimal terhadap berbagai tindak kejahatan yang senantiasa dilatarbelakangi oleh motif-motif rendahan yang berlawanan dengan nilai luhur hidup bermasyarakat dan berbangsa secara terhormat. Jika semua pihak mengambil peran secara proaktif dan kreatif dalam upaya memenangkan nilai-nilai transendental dalam pergumulannya dengan nilai-nilai yang profan, maka agaknya mudah bagi para pendidik untuk melakukan proses pembelajaran yang berbasis pendidikan nilai ini, dalam rangka menyiapkan masa depan bangsa yang lebih prospektif. Demikian pula sebaliknya. E. Penutup Dari paparan di atas, disimpulkan sebagai berikut. Bahwa strategi pembelajaran berbasis pendidikan nilai harus mengacu pada paham tauhid yang memiliki implikasi baik vertikal maupun horisontal. Implikasi vertikal berupa sikap tegas menujukan segala bentuk peribadatan semata kepada Allah. Sedang implikasi horisontal berupa pandangan bahwa tidak dibenarkannya segala tindakan eksploitatif terhadap sesama, termasuk terhadap anak didik. Untuk itu dalam rangka mewujudkan strategi tersebut, disamping diperlukan membangun keteladanan, memelihara kejernihan hati dan pikiran, juga perlu adanya kesadaran bahwa banyak faktor yang turut memainkan peran terhadap keberhasilan atau kegagalan proses pembelajaran yang berbasis pendidikan nilai ini. Pendidik itu sendiri, orangtua anak didik, masyarakat, pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus secara bersama-sama melakukan upaya proaktif dan kreatif terhadap proses pembelajaran berbasis pendidikan nilai ini, terhadap upaya memenangkan nilai-nilai luhur transendental dalam pergumulan dengan nilai-nilai rendah yang profan. Keberhasilan upaya ini akan mengantarkan anak didik pada khususnya dan bangsa ini pada umumnya untuk menggapai masa depan yang prospektif. Demikian pula sebaliknya. Akhirnya, semoga makalah ini memberikan manfaat, walaupun andaikata sedikit terhadap upaya membangun dunia pendidikan dengan memberikan basis nilai transendental dalam hubungannya dengan seluruh proses pembelajaran anak didik. Malang, 1 Mei 2005.

PETA KECENDERUNGAN KAJIAN ISLAM DI PROGRAM PASCASARJANA UIIS MALANG

PETA KECENDERUNGAN KAJIAN ISLAM DI PROGRAM PASCASARJANA UIIS MALANG
1. Pendahuluan Pembidangan ilmu agama Islam telah dilakukan oleh Departemen Agama pada tahun 1982 menjadi delapan, yaitu: 1. Quran dan Hadits; 2. Pemikiran dalam Islam; 3. Fiqh (Hukum Islam) dan Pranata Sosial; 4. Sejarah dan Peradaban Islam; 5. Bahasa (Arab); 6. al-Tarbiyah al-Islamiyah (Pendidikan Islam); 7. Da’wah Islamiyah; dan 8. Perkembangan Pemikiran Moderen di Dunia Islam. Pembidangan seperti ini, pada prinsipnya tetap mewarnai kajian Islam di Indonesia, termasuk juga di program pascasarjana institusi pendidikan Islam, seperti IAIN, UIN, UIIS. Gencarnya upaya islamisasi ilmu pengetahuan, dan munculnya kritik tajam terhadap positivisme, serta maraknya pemetaan terhadap relasi antara sains dan agama, menghendaki peninjauan kembali aspek ontologi, epistemologi, dan axiologi ilmu, yang memiliki implikasi terhadap keseluruhan institusi pendidikan Islam dalam mengelola pendidikannya, sehingga secara substansial berbeda dengan institusi pendidikan sekuler. Hal demikian juga menghendaki perlunya penataan kembali terhadap orentasi program pasca sarjana institusi pendidikan Islam. Dalam hal ini tampaknya pembidangan ilmu agama Islam di atas perlu ditinjau kembali. Upaya untuk melakukan tinjauaan kembali tersebut, tampaknya perlu di awali dengan kajian filosofi ilmu pengetahuan, dari segi hakikat, cara mendapatkan, dan kegunaannya. Wahyu, akal, pengalaman, dan intuisi, harus merupakan satu kesatuan yang integratif struktural. Upaya ke arah itu, dapat dilakukan dengan terlebih dahulu melihat secara obyektif peta kecenderungan kajian Islam di program pascasarjana IAIN, UIN, dan UIIS. 2. Program Pascasarjana UIIS Program Pascasarjana UIIS memiliki dua konsentrasi, yaitu: Manajemen Pendidikan Islam dan Pembelajaran Bahasa Arab. Kurikulum PPs UIIS memiliki muatan terdiri dari empat unsur terpadu, yaitu: a. Unsur yang membangun kemampuan dasar keilmuan Islam yang tercermin dalam rumpun Mata Kuliah Dasar (MDK) b. Unsur yang berfungsi untuk membangun kemampuan metodologi dan ketajaman analis terhadap peroblematika keislaman yang tercermin dalam Mata Kuliah Alat Analis (MKA) c. Unsur yang berfungsi untuk mengembangkan sepesialisasi keilmuan Islam, yang tercermin dalam rumpum Mata Kuliah Keahlian (MKK) d. Unsur yang berfungsi untuk memperkaya, melengkapi, memperlancar, dan memantapkan potensi professional yang tercermin dalam rumpun Mata Kuliah Pendukung (MKP) Stuktur kurikulum untuk konsentrasi Program Studi Manajemen Pendidikan Islam dan Pembelajaran Bahasa Arab dirancang dengan beban Satuan Kredit Semester (SKS) minimal sebanyak 42 SKS. Setiap rumpun mata kuliah beserta beban satuan kredit semaster dirinci sebagai berikut: a. Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam - Mata Kuliah Dasar: Studi Al-Qur’an; Studi Hadits; Peradaban Islam; Pemikiran Pendidikan Islam. - Mata Kuliah Alat Analisis: Filsafat Ilmu; Pendekatan Pengkajian Islam; Metodologi Penelitian Pendidikan. - Mata Kuliah Spesialisasi Keilmuan: Manajemen Pendidikan Islam; Teori dan Model Kepemimpinan Pendidikan Islam; Manejeman SDM dalam Pendidikan Islam; Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan Islam; Manajemen Humas dalam Pendidikan Islam; Analisis Kebijakan & Problematika Pendidikan Islam; Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam; Perencanaan Pendidikan Islam; Sosiologi Pendidikan Islam. - Mata Kuliah Pendukung: Bahasa Arab; Bahasa Inggris; Seminar Proposal Tesis. - Karya Ilmiah: Tesis. b. Konsentrasi Pembelajaran Bahasa Arab - Mata Kuliah Dasar: Al-Diraasaat al-Qur’aaniyah; Diraasaat al-Hadiits; Al-Hadlaarah al-Arabiyah al-Islaamiyah. - Mata Kuliah Alat Analisis: Falsafah al-Uluum; Manaahij al-Bahts al-Lughawy; Manaahij al-Diraasaat al-Islaamiyah. - Mata Kuliah Spesialisasi Keilmuan: Al-Lisaniyaat al-Hadiitsah wa Tathbiiqaatuha fii Ta’liimi al-Lughah al-Arabiyah; Al-Diraasah al-Taqaabuliyah wa Tahliil al-Akhthaa; Ilmu al-Dalaalah wa al-Ma’aajim; Ilmu al-Lughah al-Ijtimaa’iy wa al-Nafsy; Idaaratu Baraamiji Ta’liimi al-Lughah al-Arabiyah; Al-Tarjamah wa Ta’liimuha; Binaa’ Manaahij al-Lughah al-Arabiyah; Tashmiim al-Mawaad al-Diraasiyah; Manaahij wa Thuruq Ta’liim al-Lughah al-Arabiyah; Wasaail Ta’liim al-Lughah al-Arabiyah wa Mukhtabaru al-Lughah; Al-Taqwiim al-Tarbawy wa al-Ikhtibaaraatu al-Lughawiyah. - Mata Kuliah Pendukung: Al-Lughah al-Injliziyah; Al-Diraasaat al-Mutaqqaddimah fii al-Lughah al-Arabiyah; Seminar Proposal Tesis. - Karya Ilmiah: Tesis. Sedang tesis yang ditulis oleh mahasiswa PPs UIIS adalah sebagai berikut: a. Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam - Pengelolaan Pengajaran Jurusan Sastra Arab Fakultas Sastra UM - Pola Kepemimpinan Kyai dalam Pengelolaan Pondok Pesantren Mahasiswa - Manajemen Sumber Dana Lembaga Pendidikan Islam (Studi kasus SLTPI Druju) - Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan (Studi kasus SMK Wali Songo 2 Gempol Kab. Pasuruan) - Internalisasi Nilai-Nilai Agama dalam Pelaksanaan Manajemen Pendidikan (Studi kasus pada MAN 3 Malang) - Manajemen Konflik dalam Pendidikan (Studi kasus Tanggapan Bawahan Terhadap Perilaku Kepemimpinan Kepala Madrasah di MAN 3 Malang) - Aktualisasi Program Rintisan Pendidikan Kecakapan Hidup Melalui Pendekatan Pendidikan Berbasis Luas - Kepemimpinan Wanita di Pondok Pesantren (Studi kasus di Pondok Pesantren Syaikh Zainuddin NW Anjani Lowok Timur NTB) - Kepemimpinan Kepala Sekolah Sebagai Aktor Perubahan (Studi kasus di MAN 3 Malang) - Kepemimpinan Kyai dalam Mengembangkan Pendidikan (Studi kasus di Pesantren Hidayatullah Batu Malang) - Pembaruan manajemen Pondok Pesantren (Studi kasus di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur) - Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal Madrasah Aliyah (Studi kasus di Madrasah Aliyah al-Fatah Badas) - Strategi Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan (Studi kasus di Pesantren Darut Tauhid Malang) - Pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Islam Umum (Studi kasus di Universitas Negri Surabaya) - Manajemen Pengembangan Perguruan Islam (Kasus STAIN Malang) - Pembinaan Profesional Guru Pada Lembaga Pendidikan Islam (Studi kasus SD Al-Hikmah Surabaya) - Problematika Pengembangan Madrasah (Kasus di Madrasah Tsanawiyah Sabilal Muhtadin Balikpapan) - Manajemen Sumber Dana Pesantren (Studi kasus Pondok Pesantren M.Arsyad al Banjari) - Hubungan Masyarakat di Lembaga Pendidikan Islam (Studi tentang Strategi Lembaga Pendidikan Islam dalam Pengembangan Kehumasan di SMU Salahuddin Malang) - Madrasah dalam Perspektif Masyarakat Menengah Atas (Studi Tentang Parental Choice of Education di MIN Malang I) - Dinamika Pesantren Hidayatullah (Kasus Perubahan Manajemen Dari Lembaga Pendidikan Menjadi Organisasi Masyarakat) - Implikasi Pengelolahan Personalia Terhadap Prestasi Akademik Siswa di Lembaga Pendidikan Pesantren (Studi kasus SLTP-SMU Ar-Rahmah Pesantren Hidayatullah Malang) - Pengelolaan Pendidikan Pesantren Mahasiswa (Studi kasus Pesantren Mahasiswa al-Hikam Malang) - Penggunaan Kekuasaan dan Pengaruhnya dalam mewujudkan Prestasi Perguruan Tinggi Islam (kasus STAIN Malang) - Manajemen Pendidikan Pesantren dalam Upaya Mempersiapkan Santri Menjadi Muballigh - Pengembangan Motivasi Kerja: Studi tentang Pengaruh Perilaku Pemimpin dan Atrus Komunikasi terhadap Tingkat Motivasi Kerja Tenaga Administrasi Undar Jombang. - Internalisasi Budaya Organisasi dalam Inovasi Pendidikan Tinggi Islam (Kasus STAIN Malang) - Kinerja Pengawas Sekolah Mata Pelajaran PAI pada SLTP/SMU/SMK Kota Malang. - Pengaruh Motivasi Kerja Terhadap Tingkat Efektivitas Kerja Dosen STAIN Malang. - Perilaku Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Inovasi Lembaga Pendidikan Madrasah (Studi Kepemimpinan Drs. H. Abdul Djalil, M.Ag). - Kepemimpinan Kepala Madrasah dalam Pelaksanaan inovasi Pendidikan (Studi Kasus Madrasah Ibtidaiyah Jendral Sudirman) - Manajemen Pengembangan Kualitas Dosen (Studi Kasus STAIN Malang) - Peran In Service Training dalam Meningkatkan Kualitas Guru (Studi Manajemen pendidikan di MAN Malang) - Problematika Pengelolaan Madrasah (Studi Kasus di MI al-Ma’arif Kedungsari Tanggulangin Sidoarjo) - Kepemimpinan Kepala Madrasah dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru (Studi Kasus MAN I Malang) - Pola Pengembangan Kemampuan Profesional Tenaga Kependidikan di MTsN Malang I - Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal SLTP: Studi Kasus SLTP al-Kamal Kunir Wonodadi Blitar - Manajemen Jaminan Mutu Akademik pada Madrasah Aliyah Keagamaan (Studi Kasus MAKN Jember 1999-2003) - Kompetensi Profesional Guru Sekolah Dasar Islam (Studi Kasus SD Muhammadiyah I Samarinda0 - Strategi Pengembangan Mutu Sumber Daya Guru di Lembaga pendidikan Islam (studi kasus MIN Malang I) - Pembaharuan Pondok Pesantren (Studi kasus Kepemimpinan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri) b. Konsentrasi Pembelajaran Bahasa Arab - Fa’aaliyyatu Istikhdaami al-Wasaail at- Ta’limiyyah Fi Ta’ liimi al- Lughoti al- Arabiyyati Bil Madrasati al-Aaliyyati al –Hukuumiyyati an-Namuudajiyyati Palangkaraya. - Musykilaatu Tathbiiqi Nadhoriyyati al- Wihdati Fi Ta’liimi al-Lughoti al- Arabiyyati Bil- Madrasati al-Aaliyyati al-Islamiyyati al-Hukuumiyyati Bi Ende Nusa Tenggara asy –Syarkiyyah - Pembelajaran Ketrampilan Membaca di MAN Model Pekanbaru - Tathbiiqu Thoriiqati Jig Sau Wat’ Ta’aawuniyyati Fi Ta’liimi al- Qirooati al-Arabiyyati (Diraasatun Tajribiyyatun Bi al-Madrasati al- Aaliyah al- Hukumiyyati Tasbasung) - Peranan Kompetensi Guru Bahasa Arab dalam Upaya Peningkatan Kemampuan Bicara Siswi MAK Malang - Musykilaatu Ta’liimi Mahaarati al- Kalaami Bi al- Lughoti al- Arabiyyati Fi al-Madrasati ats- Tsaanawiyyati al- Islaamiyyati al- Hukuumiyyati Pasuruan - Iktisaabu al –Anaashiri ash- Shorfiyyati Wa an- Nahwiyyati Fi Duruusi al-Muhaadasati Min Thullaabi al-Madrasati ats-Tsaanawiyyati Bi Daari al- Lughoti Wa ad- Da’wahti Raasyi Pasuruan (Diraasatun Washfiatun Wa Tahqiiqiyyatun Wa Tahliiliyatun) - Ta’liimu al Mufradaat Fi al- Madrasati ats-Tsaanawiyyati al- Hukuumiyyti al- Uula Serang Banten - Tadriisu Kitaabi Syarhi al- Juruumiyyati Fi al-Madrasati Miftaahi al- Uluum al- Ibtidaaiyyati Bi- al- Ma’hadi as- Salafi Sidogiri Pasuruan - Tadriisu al- Kitaabati Fi al- Madrasati ast- Tsaanawiyyati al- Uula Mataram - Tadriisu at- Ta’bir Fi Ma’had ad- Diroosati al-Qur’aani Singosari Malang - Al- Istiraatijiyyaatu Ta’liimi al- Lughoti al- Arabiyyati Fi al- Madrasati ats- Tsaanawiyyati al- Hukuumiyyati Samarinda Kalimantan asy- Syarkiyyati - Tahliilu Bunuudi al- Ikhtibaari an- Nihaai Sanah 2002-2003 Li Maadati al- Lughoti al-Arabiyyati Bi al- Madrasati ast- Tsaanawiyyati Jombang - Tathbiiqu ath- Thoriiqoti al- Mubaasyirati Li Ta’liimi al- Lughoti al- Arabiyyati (Studi Kasus di PKPBA UIIS Malang) - Tanfiidu Tadriisi al-Lughoti al-Arabiyyati Fi al- Ma’hadi al- Amin al- Islaami Perinduan Sumenep Madura - At Ta’biru al –Muwajjahu Fi al-Kitaab al- Madrasi Li al- Lughoti al-Arabiyyati Bi al- Madaarisi ats- Tsaanawiyyati al- Islaamiyyati Lil Fashli al- Awwali Lil Lajnah at-Ta’lifi an- Najaahi - Al- Ithlaa’ Alaa As’ilati al- Ikhtibaari an-Nihaa’i Fi Maadati al-Lughoti al- Arabiyyati Bi al-Madrasati ats –Tsaanawiyyati al- Islaamiyyati al- Hukuumiyyati al- Uula Bandar Lampung 2001-2002 - Thoriiqotu Tadriisi Mahaaroti al-Kalaami Fi al-Madrasati al- Aaliyati al- Hukumiyyati ast- Tsaniyyati Situbondo - Al –Awaamilu al- Asaasiyyatu Li fasyli Ta’liimi Mahaarati al-Kalaam Fi al- lughoti al Arabiyyati Bi al- Madrasati ats Tsaanawiyyati al- Islaamiyyati al- Hukuumiyyati al -Uula Pontianak - Qodratu Thullaabi al- Madrasati ats- Tsanawiyyati ad- Diiniyyati at- Taabiati Lil Madrasati ats-Tsaanawiyyati al- Islaamiyyati al- Hukuumiyyati ats –Tsaanawiyyati Palembang Alla Ta’biiri asy- Syafaw - Tahliilu al-Akhtoo’Fi Isti’maali at-Tarkiib al- Wasyfiy Fi al-Lughoti al-Arabiyyati (Diraasatun Fi al-Insyak Li Tholabati ash-Shoffi ats- Tsaalitsati Bi al-Madrasati ats-Tsaanawiyyati al-Islaamiyyati al- Hukuumiyyati an- Namudzajiyyati Makasar) - Tadriisu at- Tarjamah Fi al- Kutuubiyyah as- Salafiyyah Bi Ma’hadi an-Nuur ats- Tsaalis Bululawang - Kafaaatu Thullaabi al- Madrasati al- Aaliyati al- Hukuumiyyati ats-Tsalitsati Bi Malang Fi Qiraa’ati Kutubi al- Lughoti al- Arabiyyati Sanah 2002-2003 - Tahliilu al- Ikhtibaar Fi al- Imtihaani an- Nihaaiy Lil- Lughoti Al –Arabiyyati Bi al- Madrasati ats- Tsaanawiyyati al- Islaamiyyati al- Hukuumiyyati Amrabihan Sanah 2002-2003 - Tathwiiru al-Wasaaili al-Bashoriyyati Fi Ta’liimi al- Lughoti al-Arabiyyati Bi- Madrasati ats-Tsaanawiyyati Al- Hukuumiyayti al-Uula Malang - Musykilaatu Ta’liimi al- Qawaaidi an –Nahwiyyati Fi Madrasati ats-Tsaanawiyyati al-Islaamiyyati al- Hukuumiyyati ats- Tsaanawiyyati – Medan - Fa’aaliyyatu Istikhdaami Ma’mali al- Lughoti Fi Tadriisi al- Lughoti al- Arabiyyati Bi al-Madrasati al- Aaliyyati Hukuumiyyati ats-Tsaalitsati Malang - Kafaa,atu ath- Thullaabi Fi Istikhdaami Ahrufi al-Athofi Bi al –Madrasati ats- Tsaanawiyyati al- Hukuumiyyati Jambi - Ta’liimu al-Lughoti al –Arabiyyati Fi al- Madrasati al-Islaamiyyati al- Hukuumiyyati Pematang Siantar - Istikhdaamu ath-Thoriiqoti al-Mubaashiroti Fi Tadriisi al- Lughoti al-Arabiyyati Fi al- Madrasati ats-Tsaanawiyyati ad-Diiniyyati al- Hukuumiyyati - Tathwiiru Saithoroti al- Mufradaati al-Arabiyyati An-Thoriiqoti Manhaji as-Siyaaqi al-Lughowi Fi al- Madrasati ats-Tsaanawiyyati al-Islamiyyati al-Hukumiyyati Ponorogo Jawa asy-Syarkiyyah - Tadriisu al- Luhgoti al- Arabiyyati Lil- Barnaamiji al- Khoosi Fi al- Jaami’ati al- Islaamiyyati al- Hukuumiyyati Mataram - Ta’liimu Fahmi al- Maqruu,i MP. Bi Istiraatijiyyati Nasyaathi al- Qiraa’ati Wa at-Tafkiiri al- Muwajjahi (Bahsun Amaliyyun Fi Talaamiidi al- Fashli al- Khoomis Bi al- Madrasati al- Ibtidaaiyyati “ Nurul Islam” Lumajang ) - An- Namuudaju at- Tajdidiyyu Li Nidoomi Ta’liimi al- Lughoti al- Arabiyyati Li Ghoiri Naatiqi Biha (Khibratul ma’hadi al-Islaamiyyi “Yaafi” Bangil Pasuruan - Tathbiiqu Nadhoriyyati al-Wihdati Fi Ta’liimi al-Lughoti al- Arabiyyati (Diroosatun Haaliyyatun Fi al-Madrasati ats-Tsaanawiyyati al-Islamiyyati al-Hukumiyyati Malang) - Tathbiiqu at- Ta’allumi at-Ta’aawuni Li Tasywiiqi ath- Thullaabi Fi Ta’allumi al- Lughoti al- Arabiyyati (Al-Madrasatu al- Aaliyyatu al- Hukumiyyatu ats- Tsaalitsatu Malang Namudzajiiyyan - Fa’aaliyyatu Thoriiqoti al-Mashi Wa at-Tafkiiri Wa al- Fahmi Wa al-Idhhaari Wa al- Muraaja’ati Wa Thoriiqoti at-Taqlidiyyati Fi Raf’i Mustawaa Kafaa’ati at- Thullaabi Alaa Mafhuumi Nashshin Arabiyyin ( Diraasatun Tajriibiyyatun Alla Tullaabi al –Madrasati ad-Diiniyyati al- Hukuumiyyati Malang) - Al- Bii’ah al- Arabiyyatu Fi al-Ma’had al- Ashri Gontor Lil Banat Sambirejo- Mantingan Ngawi - Al-Alaaqotu Baina Kimmiyyati al-Mawaad ad-Diroosiyyati Fi Ilmi al- Lughoh Wa Najaahi Ta’liimi al- lughoh al-Arabiyyati - Tathbiiqu al-Madkholi al- Ittishooliy Fi Ta’liimi Qirooati al- Lughoti al- Arabiyyati Fi al- Madrasati al-Aaliyyati al- Khooshoti (ad-Diniyyati) at- Taabiati Lil- Madrasati al-Aaliyyati al-Hukumiyyati ats-Tsaalitsati Malang - Al- Kafaa’atu al-Lughowiyyatu Wa at-Ta’liimiiyyatu Li Mudarrisi al- Lughoti al- arabiyyati Fi al- Baraamiji al- Mukatstsafi Li Ta’liimi al-Lughoti al-Arabiyyati Bi al Jaami’ati al- Islaamiyyati al- Indonesiati as-Sudaniyyati Malang - Binaau Manhaj Diraasi Li Mahaaroti Al-Kitaabah Al-Mabnaa Alaa Al-Asaas Al-Kifaa’ah Fi Qismi Al- Lughoh Al-Arabiyyah Bi- Al-Jaami’ah Al-Indonesiah As- Sudaniyah Bi Malang - Pemikiran Basori Alwi dalam Pembelajaran Bahasa Arab - Tadriis Tilawah Al-Qur’an Wa Al-Kalam Fii Ma’had Ad-Dirasaat Al-Qur’aniyah - Ta’liimu Al-Lughoh Al-Arobiyyah Fii Barnaamiji At- Tajhis (Diraasah Qodhiyah Fii Ma’hadi Al-Falaah Al- Islaamii Lil Banaat Banjar Baru Kalimantan Al- Janubiyah) - Ta’tsiir istikhdaami al wasaa-il (al lu’bah al lughawiyah) ‘ala at tahsiil al diroosii li attalaamidz fi tadriisi al lughah al arabiyyah bi al madrasah ibtidaiyyah al islaamiyyah al hukuumiyyah “ula” bi Malang - Ta’lim al Lughah al Arabiyah Bimadkholi al Ittshalii (Diraasati wa shofiyyati fi Ma’had Daaruttauhiid Malang) - Tathbiiq baina al-Madkhal al-Ittishaly wa al-Madkhal al-Taqliidy fi al-Madrasah al-Aliyah al-Da’wah al-Islamiyyah lil Banaat bi Ma’had al-Salafy Nurul Hakim Kediri Lombok al-Gharbiyyah. - Tahliil Mustawaa Layaqah al-Niha’iy fi al-Lughah al-Arabiyyah bi al-Madrasah al-Tsanawiyah al-Hukumiyah Selong - “Ta’lim al-Lughah al-Arabiyyah bi Kuliyyah al-Dirasaat al-Islamiyyah li al-Jami’ah al-Muhammadiyah Malang” - Inhiyaaz al-Tasaawiy baina al-Dzukuur wa al-Inaats fi Tadriis al-Lughah al-Arabiyyah - Ta’tsiir Isti’maal Usluub Muhammad Ali al-Khuuli wa Usluub H.D. Hidayat wa Akhariin ‘alaa al-Tahshil al-Dirasiy li Khirriji al-Ma’had wa Khirriji Ghairi al-Ma’had fi Ta’allum al-Qira’ah (Bahtsun Tajribiy) - Tanmiyah al-Kitaab al-Ta’liimiy fi Maadati al-Qawa’id al-Nahwiyyah li al-Jaami’ah al-Islaamiyyah al-Induuniisiyyah al-Suudaaniyyah Malang - ‘Uyub Ittijaah al-Tarjamah al-Taqlidy - Thuruqu Tadriis al-Lughah al-Arabiyyah bi al-Madrasah al-Ibtida’iyyah al-Hukumiyyah Malang al-Uulaa - Al-Ikhtibaaraat fi al-Lughah al-Arabiyyah li Ghairi al-Arab Mustawaa Layaqatihaa li Ma’rifati Qudrati al-Thaalib fi al-Lughah al-Arabiyyah bi Ma’had Umar ibn al-Khaththaab Surabaya - Tadriis Mahaarah al-Kalaam: Bahtsu Taqwiimiy ‘an Thariiqah al-Tadriis wa Takwiin al-Bii’ah al-Arabiyyah fi Ma’had Rasyiidiyyah Khalid ibn Amuntai Kalimantan al-Junuubiyyah - Kafaa’ah al-Thullaab al-Musytarikiin fi al-Barnaamij al-Khaash li Ta’liim al-Lughah al-Arabiyyah fi al-Ta’biir al-Kitaabiy bi al-Jaami’ah al-Islamiyyah al-Hukuumiyyah Malang - “Maharat al Kalam wa Thuruq Tadrisiha fi al Madrasat al Tsanawiyat Al Islamiyat Al Mu’min” Ngruki – Grogol – Cemani – Sukoharjo – Jawa Tengah. - “At-Tathbiq li Tadrisi Maharah al-Qira’ah fi al-Madrasah al-Tsanawiyyah al-Hukumiyyah al-Tsaniyyah bi Banjarmasin”. - “Kafa’ah Thullab al-Madrasah al-Tsanawiyyah al-‘Ula bi Bojonegoro fi Kitabah al-Jumlah Hasba ‘Anashiriha al-Tarkibiyyah”. - “Al Ithla’ ‘Ala Mawad al Hiwar Fi al Kitab al Madrasy Li al Madaris al Tsanawiyyah al Islamiyyah al Ladzi al Lafahu HD. Hidayat Wa Ash Habuhu ‘Ala al Manahij al Ta’limiyyah Lil Lughah al Arabiyyah ‘Am 1994 M”. - “Maharah al-Kalam wa Thariqatu Tadrisiha fi al-Madrasah al-Tsanawiyyah al-Islamiyyah al-Hukumiyyah fi Sidoarjo Jawa al-Syarqiyyah”. - “Ta’lim Tarkiib al-Jumlah al-Lughah al-Arabiyyah fi al-Madrasah al-Aliyah al-Hukumiyyah al-Tsalitsah Yogyakarta - “al-Dhoma’ir wa Musykilatu Tadrisiha fi al-Madrasah al-Tsanawiyyah al-Islamiyyah al-Hukumiyyah al-‘Ula Bandung”. - Musykilah Ta’lim al-Lughah al-Arabiyyah fi al-Madrasah al-Tsanawiyyah al-Islamiyyah al-Hukumiyyah Purbalingga Jawa al-Wustha”. - “Fa’aliyah al-Madkhal al-Ittishali fi Ta’lim al-Ta’biir al-Tahriri li al-Thullab al-Shaffi al-Awwal min al-Madrasah al-Tsanawiyyah al-Hukumiyyah I Jember” - “Tadris Al Kitabat Fi Al Madrasat Al ‘Aliyat Al Islamiyyat Al Hukumiyyat Praya Lombok Al Wustha” - “Pengajaran Qiraah di Madrasah Aliyah Negeri Rengel Tuban” - Ta’lim Kitab Alfiyah Ibnu Malik Ala Al Dlau Al Nadhariyyat Al Ta’limiyyah” (Dirasah Al Halah Bi Ma’had Bustan Al Ulum Tasikmalaya Jawa Al Gharbiyyah. - “Muyulu Thullabi Al Madrasah Al Tsanawiyati Al Islamiyyati Al Hukumiyyati Ila Dirasati Al Lughowiyyati Fi Madinati Syirbon” - Taqwim al Kitab al Madrasiy li ta’lim al Lughah al ‘Arabiyyah Fi al Madrosah al Tsanawiyyah al Islamiyyah Hasba al Manhaj al Ta’limiy Li Sanati 1994 M”. - “Tadris Huruf al Jar Fi al Madaris al Tsanawiyah al Islamiyah” ( Dirasah Tauziniyyah Fi al Manahij al Ta’limiy-yah al Arabiyah Li Sanah 1994 M ) - “Tathbiqu Thariqah al Ta’allum al Mu’tamadah ‘ala Fa’aaliyati al Tullab (CBSA)” (Dirasah Halah Fi al Madrasati al ’Aliyati al Tsalistah Malang). - “Istii’abu At Thalabah Ala Fahmi al Nushuushul Arabiyah” 3. Kecenderungan Kajian Islam PPs UIIS Dari uraian di atas dapat dilihat kecenderungan kajian Islam di PPs UIIS Malang sebagai berikut: a. Untuk masa-masa ke depan, sebagai universitas Islam, PPs akan membuka program studi sesuai cakupan keuniversitasannya dengan menerapkan prinsip filosofi sains yang tidak saja bersifat profan tetapi juga transcendental, dengan menjadikan wahyu, akal, pengalaman, dan intuisi menjadi paradigma yang integratif struktural. b. Untuk sekarang ini PPs UIIS berorentasi pada kajian al-Tarbiyah al-Islamiyah dengan spesifikasi konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam dan konsentrasi Pembelajaran Bahasa Arab, sebagaimana tampak dari kurikulum masing-masing konsentrasi. c. Melihat tesis-tesis yang ditulis mahasiswa konsentrasi manajemen pendidikan Islam, dapat dipetakan kecenderungan kajian mereka sebagai berikut: i. manajemen institusi Islam, khususnya lembaga pendidikannya. ii. manejemen Islami institusi, khususnya lembaga pendidikannya. iii. Kependidikan lembaga-lembaga Islam iv. Kependidikan Islami lembaga-lembaga Islam. d. Melihat tesis-tesis yang ditulis mahasiswa konsentrasi Pembelajaran Bahasa Arab, dapat dipetakan kecenderungan kajian mereka sebagai berikut: i. pembelajaran bahasa Arab di lembaga-lembaga pendidikan Islam. ii. pemikiran tokoh tentang pembelajaran bahasa Arab. 4. Penutup Demikian, diskripsi singkat tentang kecenderungan kajian Islam di PPs UIIS Malang. Semoga ada manfaatnya. Malang, 9 Desember 2003 Pascasarjana UIIS Malang.