Jumat, 30 Mei 2008

DINAMIKA BUDAYA DAN KEHIDUPAN BERAGAMA DI JAWA TIMUR

DINAMIKA BUDAYA DAN KEHIDUPAN BERAGAMA DI JAWA TIMUR
Oleh: Dr. M. Sa’ad Ibrahim, M.A.
••Bismillahir Rahmanir Rahim
A. Pendahuluan Budaya sebagai bentuk kreatifitas eksistensial manusia senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan manusia dalam menghadapi berbagai tuntutan kehidupan. Berbagai faktor turut serta mempengaruhi kreatifitas eksistensial tersebut, seperti agama, lingkungan, pendidikan, dan lain sebagainya. Bahkan pergumulan antar budaya juga mempengaruhi satu sama lain. Pergumulan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika budaya itu sendiri. Jawa Timur sebagai sebuah kawasan yang terbuka tentu tidak dapat lepas dari pergumulan ini, termasuk bergumul dengan budaya luar yang membanjiri hampir di seluruh kawasan ini. Tentu saja budaya itu sendiri sarat dengan muatan nilai-nilai, dari nilai pragmatis sampai nilai idealis, dari nilai-nilai profan sampai nilai-nilai sakral, dari nilai-nilai lokal sampai nilai-nilai global. Agama sebagai suatu institusi transendental disamping memuat ajaran prilaku, juga menawarkan nilai-nilai. Begitu suatu agama dipeluk, maka orang terikat oleh ajaran prilaku, dan nilai-nilai tersebut, setidak-tidaknya secara teoritis idealistis. Keterikatan seorang pada agamanya, melampaui keterikatan pada insitusi-institusi lainnya, jika ia sepenuhnya memahami dan percaya pada kebenaran agama yang ia peluk itu. Pemeluk agama di mana pun berada, selalu akan berhadapan dengan berbagai budaya yang di dalamnya sarat dengan nilai. Dengan kata lain pemeluk agama selalu mengahadapi dan terlibat di dalam pergumulan nilai-nilai, antara nilai sakral dan nilai profan. Memang tidak selalu harus dilihat sebagai dua hal yang dikotomis hitam putih. Hal ini disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa agama, memiliki kreteria dalam upayanya mengakomodasi berbagai budaya. Dengan kata lain agama dapat menyerap berbagai budaya, setelah melalui proses filterisasi, dan kemudian menjadi bagian dari sejarah agama itu sendiri. Dalam hal terjadinya pergumulan yang tak pernah berhenti tersebut, perlu adanya upaya-upaya kondusif baik dilakukan oleh masyarakat sendiri, maupun oleh pihak pemerintah agar tidak terseret pada budaya-budaya yang sarat dengan nilai-nilai rendah, seperti nilai hidonistik, materialistik, individualistik, pragmatis dan lain-lainnya. Upaya-upaya tersebut berupa penguatan keberagamaan masyarakat melalui pendidikan pemahaman dan pendidikan prilaku keberagamaan, regulasi dengan tujuan mengeliminir masuknya berbagai budaya yang bertentangan dengan agama, dan penguatan kontrol oleh masyarakat terhadap dinamika budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, dan lain sebagainya. Untuk kepentingan seperti inilah – antara lain - kajian dalam bentuk video conference ini dilakukan. B. Dinamika Budaya Agaknya sulit dibantah terjadinya dinamika budaya yang begitu cepat, termasuk yang terjadi di Jawa Timur ini. Akan tetapi tampaknya dinamika tersebut hampir dapat disepakati sedang dan akan terus berlangsung, bukan ke arah yang positif bagi perkembangan bangsa ini secara keseluruhan, dan masyarakat Jawa Timur secara khusus. Dinamika budaya demikian, dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan: politik, sosial, ekonomi, informasi, pendidikan, dan seterusnya. Dalam dunia politik terjadi dinamika budaya dalam bentuk semakin menguatnya primordialisme partai, yang dapat mengalahkan kepentingan bangsa secara keseluruhan. Dalam bidang sosial, ditengarai semakin kuat dan meratanya prilaku individualistik yang justru menjadi motor dinamika budaya itu sendiri. Budaya demontrasi yang banyak bermunculan, tampak tidak lepas dari kepentingan-kepentingan individualistik Dalam aspek ekonomi, kecendrungan kapitalistik masih tetap mendominasi. Dalam dunia informasi, dijejali dengan budaya-budaya yang jelas-jelas banyak tidak selaras dengan jiwa bangsa ini. Sementara orang menengarai dalam dunia pendidikan, terjadi dinamika budaya dalam bentuk komersialisasi, dan pendangkalan nilai-nilai luhur. Sekalipun demikian, juga tampak arah positif dinamika budaya juga terjadi. Upaya-upaya untuk membangun budaya yang tetap berpegang pada kebijakan lokal (local wisdom) juga tampak, walaupun dalam banyak hal kalah dengan derasnya interfensi budaya budaya asing yang tidak selalu sejalan dengan arah positif dinamika budaya yang diharapkan. C. Kehidupan Keagamaan Kehidupan keagamaan adalah segala aktifitas manusia dalam rangka meyakini, mempelajari, menghayati, dan melaksanakan ajaran-ajarannya, termasuk juga penerapan nilai-nilainya, dalam semua bidang kehidupan. Dalam hal ini agama diyakini sebagai pembawa kebenaran absolut, kemudian bersentuhan dengan relatifitas manusia itu sendiri sebagai subyek yang mengimplementasikannya dalam kehidupan. Oleh karena itu wujud riil kehidupan keagamaan, dipengaruhi oleh faktor-faktor luar, disamping faktor agama itu sendiri. Faktor-faktor luar meliputi, lingkungan pemeluk agama itu berada, dalam konteks geografis, sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan lain-lain. Pengamatan terhadap kehidupan keagamaan tertuju pada aktifitas pemeluknya dalam rumah-rumah ibadah, institusi berlabel agama (pendidikan, kesehatan, perbankan, dan lain-lain), organisasi keagamaan, dan sebagainya. Dalam dunia pendidikan tampak adanya kecenderungan untuk mengintegrasikan antara ilmu dan agama, bahkan hal ini juga terjadi di institusi pendidikan yang tidak berlabel agama, sekedar menyebut, Univrsitas Airlangga telah membuka konsentrasi ilmu ekonomi Islam untuk program doktor. Hubungan antar umat beragama tampak semakin berjalan kearah yang kondusif, dengan ditandai semakin berkurangnya konflik-konflik antar agama. Demikian juga hubungan internal pemeluk agama, juga semakin kondusif. Diharapkan ke depan hubungan yang baik tersebut dapat terus ditingkatkan, sehingga energi tidak terbuang sia-sia. Sekalipun demikian ditengarai masih terdapat benih-benih konflik baik antar maupun intra pemeluk agama itu sendiri. Dalam hal ini diperlukan upaya-upaya serius untuk mengeliminir bahkan menghilangkan kemungkinan bersemainya benih-benih konflik tersebut, dengan cara antara lain dialog untuk saling memahami ajaran dan posisi masing-masing dengan baik. Kajian-kajian agama, juga tampak tersebar dibanyak bagian kawasan Jawa Timur ini. Bahkan juga terdapat stasiun televisi yang hampir tiap malam mengisi acara dengan siraman rohani. Disamping itu juga terdapat kajian-kajian Ahad pagi, yang tersebar hampir di seluruh kawasan ini. Tentu saja kehidupan keagamaan formal baik ibadah maupun kebaktian juga berjalan dengan baik. Menjamurnya pondok pesantren dan semacamnya merupakan bagian kehidupan keagamaan yang memiliki peran besar dalam rangka membangun wawasan dan rohani kawasan Jawa Timur. D. Hubungan antara Dinamika Budaya dan Kehidupan Keagamaan Tampaknya terdapat hubungan timbal balik antara dinamika budaya dan kehidupan keagamaan. Dinamika budaya bisa dipengaruhi oleh kehidupan keagamaan dan bisa juga sebaliknya. Hubungan tersebut juga bisa dalam arti saling memperkuat, tapi juga bisa saling memperlemah. Saling memperkuat jika kedua entitas tersebut memiliki arah yang sama. Dalam hal ini jika dinamika budaya sejalan dengan nilai-nilai agama, maka hubungan tersebut bercorak saling memperkuat. Sebaliknya jika tidak sejalan, maka yang muncul ialah posisi saling memperlemah. Mengingat idealisasi bangsa ini adalah bangsa yang menjunjung nilai-nilai agama, maka harus ada upaya menjadikan nilai-nilai agama itu menjadi ukuran mutlak dinamika budaya. Dengan demikian harus ada upaya-upaya untuk mengarahkan dinamika budaya ini ke arah yang sejalan dengan nilai-nilai agama itu sendiri. Upaya-upaya itu dalam bentuk regulasi, sosialisasi, dan pendidikan nilai-nilai yang berbasis pada nilai-nilai agama. Tentu saja semua itu dimaksudkan sebagai upaya seoptimal mungkin untuk menutup dinamika budaya ke arah yang bertentangan dengan idealisasi di atas. Kegagalan mengarahkan dinamika budaya sejalan dengan nlai-nilai agama jelas akan menjadikan bangsa ini menjadi sekuler, yang pada gilirannya agama kehilangan otoritasnya. Jika agama sudah kehilangan otoritasnya, maka pada gilirannya dasar negara ini juga runtuh, akan runtuh sebagai negara dan bangsa yang berketuhanan yang Maha Esa. E. Penutup Sekalipun tiga empat tahun yang lampau Nur Cholish Madjid menyatakan bahwa bangsa ini secara spiritual sudah hancur, dan Syafi”i Ma’arif mengemukakan bahwa bangsa ini sudah hampir sempurna berada pada jurang kehancuran, semoga pernyataan itu bukan suatu kenyataan. Tentu saja harapan ini, harus disertai upaya membangun jiwa bangsa ini dengan nilai-nilai agama, termasuk juga mengarahkan dinamika budayanya sejalan dengan nilai-nlai tersebut. Semoga Allah menolong dan memberkahi upaya-upaya ini. Malang, 19 Pebruari 2007. .

Tidak ada komentar: