Jumat, 30 Mei 2008

KEKUASAAN ITU INDAH

KEKUASAAN ITU INDAH
(Nilai-nilai Politik dalam Episode Kisah Sulaiman as.)
Oleh: Dr. M. Sa’ad Ibrahim, M.A.
Bismillahir Rahmanir Rahim
A. Pendahuluan Al-Quran mendeskripsikan dalam 30 ayat secara berurutan mulai ayat 15 sampai dengan ayat 44 surat al-Naml salah satu episode kisah Nabi dan sekaligus raja Sulaiman. Sinopsis epsode tersebut sebagai berikut: Sulaiman adalah seorang raja yang diberi ilmu oleh Allah swt. yang oleh karena itu ia merasa diberi anugerah melebihi sebagian besar orang-orang beriman lainnya. Ia dapat memahami bahasa binatang, burung dan semut misalnya, dan ia merasa diberikan oleh Allah segala-galanya. Bala tentaranya tidak saja manusia tetapi juga jin dan bahkan burung-burung pun termasuk yang dapat ia kendalikan. Sekalipun demikian besar kekuasaannya, ia tetap memiliki kepedulian, bahkan terhadap nyawa semut sekali pun. Ia senantiasa mohon kepada Allah agar dijadikan sebagai hambaNya yang bersyukur dan shalih untuk mendapatkan keridhaanNya.Ketika mendapatkan khabar bahwa ada seorang ratu (Balqis) yang berkecukupan dan memiliki singgasana yang besar, yang menyembah matahari bersama kaumnya, Sulaiman mengirim surat kepadanya. Inti surat itu berbunyi: Bismillahir Rahmanir Rahim. Jangan melawan aku, dan datanglah kepadaku sebagai orang yang berserah diri!. Menyikapi surat tersebut, Ratu ini berpandangan bahwa sesungguhnya raja-raja itu punya kecenderungan untuk melakukan perusakan terhadap kawasan yang ditaklukkannya dan merendahkan penduduknya. Akhirnya Ia memilih respon, persuasif terhadap surat Sulaiman itu dengan mengutus pembawa hadiah untuk diberikan kepada Sulaiman, demi menguji kebenaran pandangan itu atau karena alasan lainnya. Sulaiman menolaknya, sambil menunjukkan ketidaksenangannya terhadap sikap bangga yang ditunjukkan oleh utusan itu. Sulaiman menggertak agar kembali, dan mengancam akan memobilisasi bala tentara yang tak dapat mereka lawan, dan mereka akan kalah. Ia hanya menggertak dan mengancam, tetapi tidak merealisasikan ancamannya itu, yang ia lakukan ialah mensiasati mereka dengan memboyong singgasana Ratu itu dari Yaman ke Palestina dalam tempo sekejap mata melalui keahlian seorang ilmuan, pembantunya. Akhirnya setelah mendapatkan informasi mengenai Sulaiman, Ratu tersebut datang dan terkecuh oleh lantai istana yang ia kira berair, sehingga ia singkap pakaian yang menutup betisnya. Ia datang berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah. Nilai-nilai politik yang dikandung dalam 30 ayat surat al-Naml di atas menjadi bahasan dalam orasi ilmiah ini yang tampaknya signifikan dengan situasi yang sedang terjadi sekarang, ketika bangsa Indonesia menghadapi pemilihan umum, untuk memilih partai, anggota legislatif, presiden dan wakil presiden.
B. Nilai-nilai Politik Islam Dalam tataran teologis, pada hakikatnya kekuasaan adalah milik otonom Allah, kemudian sebagian kecil kekuasaanNya diberikan kepada manusia. Dengan demikian manusia mendapatkan kekuasaan hanya dalam arti sebagai pemilik adhoc, bukan sebagai pemilik sebenarnya dan selamanya. Oleh karena kekuasaan itu merupakan pemberianNya, maka proses mendapatkan, mensikapi, dan menggunakan kekuasaan itu harus sejalan dengan nilai-nilai yang Allah ajarkan kepada manusia, melalui para rasulNya. Ajaran mengenai nilai-nilai politik itu antara lain terdapat dalam paparan Al-Quran tentang sebagian episode riwayat hidup Sulaiman di atas. Nilai-nilai itu ialah: 1. Kekuasaan itu indah, karena merupakan atribut Allah, Dzat yang tidak hanya sebagai al-Qadir, al-Jabbar dan al-Qahhar, tetapi juga sebagai al-Rahman, al-Rahim dan al-Latif, suatu keindahan yang tercipta dari sintesa dua kutub ekstemitas, tetapi kemudian lebih mengedepankan kutub kerahmanrahiman dan kelembutan dari pada kekerasan otoritatif. Cara yang ditempuh oleh Sulaiman menggambarkan dengan baik sebagai raja yang memadukan secara begitu sempurna dua kutub ekstremitas tersebut, kemudian mengedepankan kutub yang fignifikan bagi situasi yang happy ending, dalam arti Ratu Balqis tidak merasa kehilangan kebesarannya, karena ia berserah diri bukan kepada, tetapi bersama - ma’a - Sulaiman kepada Allah. Situasi demikian, juga tampak bahkan pada semut yang khawatir terinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya yang ia respon dengan kelembutan senyum tawanya, bukan dengan kekuatan pisiknya. 2. Dalam perspektif Islam, kekuasaan itu diproyeksikan untuk mendapatkan ridha Allah, dengan mengaktualisasikan semua potensi yang diberikan Allah sebagai esensi yang sebenarnya dari ajaran syukur, kemudian mengalokasikan bagi kemashlahatan bangsa sebagai wujud keshalihan hakiki pengemban kekuasaan. 3. Demi keindahan - dan bukankah politik adalah the art for getting power – Sulaiman menempuh cara yang tidak bertentangan dengan prinsip keindahan itu sendiri, yakni tidak menyerang dengan bala tentaranya yang sangat tangguh itu, pada hal, demikian itu dapat ia lakukan. Cara yang ia tempuh berturut-turut adalah sebagai berikut: mengirim surat ; menolak pemberian hadiah ; mengolok ; menggertak ; mensiasati dengan mengusung singgasana Ratu Balqis dalam tempo yang spektakuler cepat (rasanya belum ada yang dapat menandingi dengan teknologi super canggih pun, sampai dewasa ini, kecuali dalam bentuk maya melalui media internet); kemudian - mungkin sengaja mungkin tidak - menjatuhkan mental dengan kelicinan kaca lantai istana bak air mengalir yang membasahkan, sehingga Ratu itu mengangkat pakaian yang menutup kedua betisnya yang juga membasahkan libido seksual orang kebanyakan. 4. Al-Quran mengajarkan bahwa kekuasaan itu merupakan bagian dari cobaan untuk menguji manusia, apakah ia akan kufur - dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme negatif misalnya - atau syukur yakni mengaktualisasikan potensi alam, manusia dan lain-lainnya untuk diproyekasikan bagi penciptaan kesejahteraan bangsa, demi mencapai keridhaan Allah swt. 5. Kekuasaan dalam perspektif Islam itu diamanatkan kepada orang yang beriman dan berilmu, serta memiliki kekuatan mental dan pisik yang memadai sehingga mampu memobilisasi dukungan demi terwujudnya tujuan mulia baik profan yaitu kesejahteraan bangsa maupun transendental yakni ridha Allah swt. 6. Kekuasaan ditegakkan atas dukungan loyalitas rakyat demi tercapainya tujuan bersama yang dalam ayat di atas; ditunjukkan oleh burung hudhud, ifrit, dan ilmuan, dan seluruh bala tentara Sulaiman. 7. Kekuasaan harus kondusif bagi persaingan yang sehat antar komponen bangsa dalam rangka mewujudkan tujuan bersama, dan melakukan seleksi keunggulan secara obyektif. Hal ini ditunjukkan oleh terbukanya peluang untuk bersaing secara sehat antara ifrit dan ilmuan (alladzi ‘indah ‘ilm min al-kitab) dalam memperebutkan proyek pemboyongan singgasana Ratu Balqis, dan Sulaiman memilih ilmuan bukan ifrit, karena secara obyektif ia lebih unggul. 8. Kekuasaan tidak digunakan untuk memberikan legalitas segala tindakan destruktif dan memperburuk citra bangsa, sebagaimana pandangan awal Ratu Balqis, sebelum mendapatkan informasi tentang Sulaiman dengan kekuasaan yang dimilikinya. 9. Kekuasaan harus juga digunakan untuk membangun kedisiplinan dan kepatuhan bangsa terhadap hukum, sebagaimana ditunjukkan oleh sikap tegas Sulaiman akan menghukum Hudhud atas ketidakdisiplinan dan ketidakpatuhan menghadiri suatu briefing, sekalipun akhirnya karena ia memiliki alasan yang masuk akal, maka Sulaiman mengurungkan keputusannya. 10. Kekuasaan juga bukan diorientasikan untuk mendapatkan keuntungan finansial seperti ditunjukkan oleh penolakan Sulaiman terhadap pemberian hadiah Ratu Balqis, sebab pemberian Allah lebih baik dari semua itu, apalagi puncak pemberian itu adalah keridhaanNya. 11. Sekalipun terdapat tokoh-tokoh yang memiliki potensi yang sangat luarbiasa, tetapi mereka tidak tergoda untuk memecahbelah umat dengan memaksakan diri tampil membangun kekuasaan sendiri, baik yang paralel maupun berlawanan dengan kekuasaan Sulaiman, sebab bukan kekuasaan itu yang jadi prioritas tetapi misi kenabian yang diemban yaitu menegakkan Islam sehingga terwujud kedamaian universal itulah yang utama, sedang kekuasaan hanyalah media belaka. 12. Terhimpun dalam diri Sulaiman tiga hal penting, yaitu: kenabian; ilmu; dan kekuasaan, yang ketiganya menyatu bagaikan sebuah simphoni yang amat merdu, kombinasi melodi sakral langit dan irama profan bumi. Demikian seharusnya bangsa dan negara membangun diri, berusaha tetap berada di bawah otoritas asuhan kenabian, dinamika ilmu pengetahuan dan baru kemudian kekuasaan ditegakkan atas landasan keduanya. Dengan demikian kekuasaan tidak menjadi liar dan destruktif, tetapi indah dan menawan. 13. Kekuasaan tidak akan berkurang nilainya, bahkan akan mempunyai nilai plus, jika produk-produk yang dihasilkan diproses melalui musyawarah, sebagai teknik to create a sense of belonging and responsibility, and to make the all components as the subjects of activities together (menciptakan perasaan ikut memiliki dan bertanggung jawab, dan membuat semua komponen sebagai subyek aktifitas bersama).
C. Penutup Demikian, nilai-nilai politik yang dapat digali dari kisah kehidupan Nabi dan sekaligus Raja Sulaiman, yang tampaknya dengan baik disimpulkan oleh Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 1058) dengan pernyataannya bahwa kekuasaan adalah suatu jabatan untuk meneruskan misi kenabian dalam hal memelihara eksistensi agama dan mengatur kehidupan dunia .
Semoga ada manfaatnya. Wa Allah A’lam bi al-Shawab!
Malang, 27 Maret 2004

Tidak ada komentar: