Jumat, 30 Mei 2008

PERAN ULAMA DALAM MENGGERAKKAN PEREKONOMIAN

PERAN ULAMA DALAM MENGGERAKKAN PEREKONOMIAN
Oleh: Dr. M. Sa’ad Ibrahim, M.A.
**Berdasarkan surat Fathir ayat 27, 28, 29 disimpulkan bahwa ulama ialah mereka yang memiliki perhatian serius terhadap fenomena alam dan fenomena sosial, dapat menjelaskan, dan mampu memahami hal-hal tersebut sebagai ciptaan dan ayat-ayatNya yang mencerminkan kemahasempurnaanNya, sekaligus juga memahami kitabNya, serta konsisten beribadah dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Hanya mereka inilah yang dipandang oleh Allah sebagai hamba yang sebenar-benarnya takut kepadaNya. Tidak seperti dalam agama-agama lain, sekalipun demikian tinggi kedudukan mereka, mereka sama sekali tidak diberikan oleh Islam otoritas keagamaan. Salah satu fenomena sosial yang menjadi perhatian mereka adalah kehidupan ekonomi umat. Dalam kaitan dengan ini mereka telah meletakkan berbagai para- digma yang digali dari sunnah-sunnah dan kitab suciNya, serta berbagai korpus yang ditinggalkan oleh Nabi saw. Produk para ulama yang paling signifikan dengan persoalan ekonomi adalah fiqh yang membicarakan tentang pranata yang mengatur hubungan-hubungan kehartaan antar anggota masyarakat (al-ahkam al-madaniyyah), serta antar berbagai institusi, termasuk juga institusi negara (al-ahkam al-iqtishadiyyah wa al-maliyyah). Fiqh inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya ilmu ekonomi Islam dewasa ini. Prinsip-prinsip umum yang diletakkan oleh para ulama dalam bidang ekonomi ialah: 1. Pemilik hakiki harta benda adalah Allah semata. 2. Manusia memiliki harta dalam arti sebagai kepemilikan pinjaman belaka (al-milkiyyah al-musytaqqah). 3. Sebagai konsekuensi logis paradigma tauhid, manusia dituntut berlaku adil, dan menjadikan orang lain sebagai sesama saudara dalam semua hal, termasuk juga dalam bidang ekonomi. 4. Untuk memecahkan persoalan-persoalan hidupnya, termasuk juga ekonomi, manusia tidak boleh hanya mengandalkan akal dan pengalaman empiris belaka, tetapi harus juga bahkan terutama berpegang pada intuisi dan agama. 5. Tujuan seluruh aktifitas ekonomi, bukan sekedar untuk kepentingan material progress bagi kesejahteraan internal duniawi, tetapi juga bahkan lebih penting lagi untuk kesejahteraan hidup eksternal ukhrawi dalam keridlaanNya. 6. Oleh karena manusia itu bukan makhluk sosial atau makhluk individual semata, tetapi perpaduan yang harmonis antara keduanya yang secara esensial berada dalam relasi Allah, maka sistem ekonomi harus didasarkan atas paradigma ini. 7. Semua aktifitas ekonomi harus bersih dari segala yang diharamkan oleh Islam. 8. Manusia diperintahkan untuk bekerja seoptimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonominya. 9. Nilai manusia tidak diletakkan pada ukuran terakumulasi atau tidaknya harta kekayaan, tetapi diletakkan pada ada tidaknya upaya unutk memenuhi kebutuhan ekonomi, cara mendapatkan, pandangannya terhadap, serta cara pembelanjaan hartanya, jika semuanya ini baik, baiklah manusia, jika tidak, sebaliknya.
IIDengan prinsip-prinsip di atas para ulama menggerakkan perekonomian umat. Bahkan tidak jarang mereka sendiri juga terjun secara langsung, sebagai pelaku-pelaku aktifitas ekonomi yang handal, yang tentu saja tanpa mengabaikan prinsip-prinsip di atas. Sebagai ilustrasi tentang ini berikut disampaikan pengalaman sosok seorang ulama klasik dalam menggeluti dunia perdagangan, yaitu Abu Hanifah (80-150 H.). Tidak jarang ia menutup tokonya ketika sedang banyak orang akan membeli barang dagangannya pada waktu yang juga masih belum siang. Berkali-kali ia ditanya, mengapa itu ia lakukan, tetapi ia tidak mau menjawabnya. Suatu ketika ia jengkel ditanya dengan pertanyaan yang sama secara berulang-ulang. Akhirnya ia menjawab, bahwa ia sengaja menutup tokonya, agar orang-orang tersebut mau beralih ke toko sebelahnya yang selalu sepi pembeli padahal barang dagangannya sama dengan yamg ia jual. Itu semua dilakukan atas dasar kedalaman spiritual keagamaan dan intuisinya, walaupun dari sisi akalnya ia dapat memahami mengapa para pembeli tertarik pada dagangannya, padahal sama saja dengan dagangan tetangga toko di sebelahnya. Ia melayani pembeli dengan sebaik-baiknya, sedang tetangganya tampaknya kurang memperhatikan aspek ini. Disamping para ulama meletakkan paradigma di atas, mereka juga menyadari tuntutan Allah agar mereka menafakahkan sebagian rizki yang diberikan olehNya. Rizki dalam konteks ini tidak hanya menyangkut harta kekayaan tetapi juga meliputi anugerah-anugerahNya yang lain seperti anugerah ilmu. Demikianlah mereka tidak mengenal kejenuhan dalam mengembangkan dan menyebarkan anugerah-anugerah tersebut, termasuk juga anugerah ilmu. Para ulama dalam menggerakkan perekonomian, tidak membabi buta. Sebab mereka memahami tidak semua aktifitas ekonomi selalu sejalan dengan tuntunan Allah. Dari konteks inilah orang harus dapat memahami bahwa para ulama sangat hati-hati dalam menggali berbagai hukum yang menyangkut aktifitas ekonomi ini, sehingga sering dipandang sebagai penghambat laju perekonomian. Kasus tentang hukum bunga bank misalnya, sebagian mereka mengharamkan, sebagian memandang syubhat, dan sebagian membolehkan. Untuk yang mengharamkan atau menganggap syubhat, tidak jarang dipandang sebagai penghambat perkembangan ekonomi moderen. Dewasa ini peran mereka dalam menggerakkan ekonomi, banyak ditemukan dalam organisasi-organisasi sosial keagamaan. Di persyerikatan Muhammadiyah misalnya, melalui berbagai program ekonominya telah banyak dibuka toko-toko swalayan yang diberi nama Markaz, dan telah diterbitkan semacam ATM sekaligus Kartu Tanda Anggota Muhammadiyah bagi anggotanya, atau Kartu Tabungan Muslim bagi yang bukan, yang keduanya disingkat Katam, hasil kerja sama dengan BNI. Demikian pula di beberapa tempat telah dibuka sejumlah perbankan berdasar-kan prinsip-prinsip syari’ah. Tentu saja hasil dari semua ini tidak dapat segera disaksikan dalam tempo yang singkat, masih memerlukan waktu. Sementara itu dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan bidang-bidang lainnya di persyerikatan Muhammadiyah sekalipun bukan dimaksudkan untuk pengembangan ekonomi, tetapi secara tidak langsung semua itu juga tidak dapat lepas dari aspek ekonomi. Keberadaan pondok pesantren secara langsung atau tidak juga turut menggerakkan ekonomi, khususnya terhadap berbagai usaha ekonomi baik di dalam maupun di sekitarnya. Dalam kaitannya dengan ini orang tidak dapat mengabaikan peran ulama yang di Indonesia telah berhasil meletakkan sendi-sendi kepesantrenan, yang selalu menekakankan kemandirian hidup para santrinya. Dengan prinsip kemandirian ini, jika mereka tamat belajar dari pesantren, mereka telah terbekali dengan etos kewirausahaan dan tidak jarang mereka ini kemudian menjadi pengusaha-pengusaha yang sakses tanpa harus terjerumus ke dalam wilayah-wilayah usaha yang di larang oleh Islam. Munculnya disiplin ekonomi Islam, di berbagai perguruan tinggi, termasuk di banyak institusi pendidikan tinggi yang tidak menggunakan nama dengan simbol Islam, juga tidak lepas dari peran para ulama. Kajian tersebut tidak hanya pada tingkat strata satu, tapi juga di pascasarjana. Karya tulis di bidang ekonomi Islam ini sekarang berkembang sangat pesat. Ini tentu saja salah satu bentuk peran para ulama dalam mengembangkan kajian ekonomi Islam tersebut. Di bidang perundang-undangan, sekarang ini sedang diupayakan untuk mengatur bank syariah yang dalam hal ini para ulama juga turut memberikan pemikirannya yang didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi Islam seperti dijelaskan di atas.
IIIDari uraian di atas, disimpulkan bahwa para ulama mempunyai peran yang signifikan terhadap berbagai upaya menggerakkan aktifitas perekonomian berdasarkan prinsip-prinsip yang digariskan oleh Islam. Peran tersebut dilakukan dalam berbagai segi: 1. meletakkan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam; 2. mengapli-kasikannya dalam kehidupan secara nyata baik secara personal maupun dalam bentuk organisasi keagamaan; 3. melakukan kajian yang kemudian menghasilkan disiplin ilmu ekonomi Islam; 4. melibatkan diri secara aktif terhadap upaya pemerintah mengatur perekonomian bangsa. Wa Allah A’lam bi al-Shawab. Malang, 14 September 2002.

Tidak ada komentar: