Jumat, 30 Mei 2008

KEADILAN SOSIAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM

KEADILAN SOSIAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh. Dr. M. Sa’ad Ih, M.A.
I. Pendahuluan Dalam suatu diskusi panel dengan tema Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial yang diadakan dalam rangkaian acara Konggres II Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIS) pada tanggal 14 - 20 Nopember 1977 di Menado, Selo Sumardjan memberikan pengantarnya dengan menyatakan: Pengertian “Keadilan Sosial” ... ialah sesuatu keadaan di dalam masyarakat yang dibenarkan oleh masyarakat yang bersangkutan. Atau yang sesuai dengan sistem nilai-nilai sosial dalam masyarakat tersebut. Karena yang kita bicarakan masyarakat Indonesia, maka “keadaan” yang dimaksud ialah keadaan yang dibenarkan oleh masyarakat Indonesia, atau yang dianggap sesuai dengan sistem nilai-nilai sosial dalam masyarakat kita. Dan sistem nilai-nilai sosial itu bisa berbeda-beda menurut waktu dan arah perkembangan masyarakat kita. Pada waktu masyarakat kita masih menganut sistem sosial yang bersifat feodal, misalnya, bisa kejadian bahwa keadilan sosial pada waktu itu dianggap sebagai suatu konsep di mana the best thing of life itu adalah buat raja dan keluarganya. Adapun sisanya, itulah yang buat orang-orang bukan raja dan bukan keluarga raja. Begitulah sistem sosial dan nilai-nilai yang berlaku pada waktu itu. Dengan demikian konsep keadilan sosial juga menjadi berbeda dengan sekarang. Mungkin, andaikata kita menjadi negara dan bangsa komunis, misalnya, maka sistem nilai dan konsep keadilan sosial kita juga berbeda. Sebab dalam sistem itu, apa yang diputuskan oleh pimpinan partai, itulah yang mutlak baik untuk masyarakat dan itulah yang menjadi dasar buat keadilan sosial (Hadad - Ed. 1981, 95-6). Istilah keadilan sosial dikenal secara luas oleh bangsa Indonesia, karena istilah ini tercantum dalam sila kelima Pancasila, Dasar Negara Republik Indonesia. Sila tersebut secara lengkap berbunyi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan sosial dalam sila tersebut - sejalan dengan kutipan ekstensif di atas - berarti keadaan yang dibenarkan atau sesuai dengan sistem nilai-nilai sosial masyarakat Indonesia. Dalam hal ini karena masyarakat Indonesia mayoritas adalah muslim, maka ukuran keadilan itu logikanya adalah terutama sistem nilai-nilai sosial masyarakat Islam. Dalam kaitannya dengan hal ini, sistem nilai-nilai sosial masyarakat Islam yang menjadi dasar bagi konsep keadilan adalah bersumber dari Quran dan Sunnah - Hadits Nabi saw, serta berbagai situasi tipikal ruang dan waktu masyarakat itu berada. Bagaimanakah konsep keadilan masyarakat Islam itu, makalah terbatas ini mencoba mengemukakannya berdasarkan pendekatan normatif. II. Keadilan Menurut Berbagai Disiplin Studi Keislaman Secara harfiah, kata adil berasal dari bahasa Arab عدل - يعدل - عدل و عدالة yang berarti to act justly, equitably, with fairness - bertindak adil, imbang, dengan jujur - (Wehr, 1980, 596). Keadilan selain terjemahan dari kata عدل , juga dari kata-kata: وســط , قســط , bahkan termasuk kata ميزان . Dalam al-Ta’rifat, Jurjani (1938, 128) mengemukakan adanya suatu pendapat bahwa al-’adl bentuk mashdar bermakna al-’adâlah yakni الاعتدال و الاســتقامة - moderat dan stabil, yaitu الميل الى الحق - condong pada kebenaran. Menurutnya, istilah ini berarti: ungkapan tentang sesuatu moderasi antara dua ektremitas yaitu berlebihan dan pengabaian - عبارة عن الامر المتوســـط بين طرفى الافراط و التفريط Dalam khazanah intelektual Islam, kata adil diberikan arti secara berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan disiplin pengetahuan masing-masing. Dalam ilmu dirayah hadits, kata adil dirartikan sebagai berikut: - صفة راســــخة فى النفس تحمل صاحبها على ملازمة التقوى والمروءة فتحصل ثقة النفس بصــــــدقه Kualitas kestabilan primer pribadi yang kondusif bagi yang bersangkutan untuk senantiasa bertaqwa dan memelihara muru’ah sehingga menjadi orang yang terpercaya karena obyektifitas yang dimilikinya (Khathib, 1975, 231). Ilmu kalam mengkaji kata adil berkaitan dengan salah satu dari lima prinsip paham mu’tazilah, yang salah satunya adalah keadilan Tuhan. Keadilan Allah dibahas dalam hubungannya dengan tanggung jawab manusia kepadaNya. Jika manusia harus bertanggung jawab, maka manusia mesti memiliki free will dan free act untuk menentukan perbuatan-perbuatannya sendiri, tidak ditaqdirkan oleh Allah sebelumnya. Termasuk juga dalam konteks keadilan Tuhan, bahwa Ia hanya memberikan beban yang mampu ditanggung oleh manusia, Ia hanya berbuat baik dan yang terbaik bagi manusia (Syahrastani, T.Th., 45; Zahrah, T.Th., 127-8). Para fuqaha mengkaji keadilan dalam berbagai konteks, yaitu persyaratan bagi: hakim, saksi, kepala negara dan sebagainya. Mereka memberikan arti orang yang adil ialah mereka yang menghindarkan diri dari dosa-dosa besar, tidak bergelimang dosa-dosa kecil, konsisten dengan kebenaran, menghindari prilaku-prilaku tercela seperti makan dan kencing di jalanan (Jurjani, 1938, 128). Studi pengantar bidang fiqh juga mengadakan kajian tentang keadilan sebagai salah satu asas hukum Islam (Shiddieqy, 1974, 21-2). Dalam bidang tafsir, arti keadilan dikaitkan dengan konteks kandungan ayat yang ditafsirkan. Sekalipun demikian, secara umum kata tersebut oleh Ashfahani (1972, 336-7) diartikan sebagai menyamakan (المســــاواة ) atau secara lengkap ialah moderasi secara tepat (التقســــيط على ســــواء ). Selanjutnya ia menyatakan bahwa ada dua keadilan: Pertama, keadilan yang diketahui secara mutlak oleh akal manusia, yang tidak berubah kapan pun, serta tak terbantahkan dengan cara apa pun, misalnya berbuat baik kepada orang yang telah berbuat baik kepadamu, tidak mengganggu orang yang tidak mengganggumu. Kedua, keadilan yang diketahui berdasarkan petunjuk syara’, yang dalam hal ini mungkin berubah pada suatu masa, seperti qishash, tebusan delik pidana, dan melenyapkan harta orang murtad. Maraghi (1974, V: 69) mengartikan keadilan dengan memberikan hak kepada pemiliknya secara tepat. Baidlawi (1939, I: 191) mengartikan keadilan dengan ( الانصاف و الســوية - berada di pertengahan dan mempersamakan). Pendapat Baidlawi ini sejalan dengan pendirian Ridla (1960, V: 174). Ketika menafsirkan perintah agar menghukumi secara adil pada ayat 57 surat al-Nisa` - واذا حكمتم بين الناس ان تحكموا بالعدل -, Quthub (1967, V: 118) menyatakan bahwa ayat tersebut menghendaki keadilan secara menyeluruh di antara sesama manusia, bukan terbatas di antara sesama muslim atau sesama ahli kitab, tidak pula terbatas hanya untuk sebagian manusia saja. Thabari (T.Th.,V: 146) dan Qurthubi (1967, V:258) mengaitkan tuntutan keadilan pada ayat tersebut dengan tuntutan menghukumi berdasarkan hukum agama, bahkan menurut Syaukani (T.Th., I:480) keadilan ialah menghukumi berdasarkan Quran dan Sunnah, bukan berlandaskan pikiran. Abduh menolak pendapat demikian dengan alasan: sekalipun terdapat ayat lain yang memerintahkan menghukumi dengan hukum agama, tetapi ayat di atas tidak demikian, lagi pula apa yang ditetapkan agama adalah bersesuaian dengan keadilan tetapi bukan keadilan itu sendiri; keadilan telah di perintahkan pada priode makkiyyah sedangkan ketika itu hukum Islam masih belum terformulasikan; tidak semua masalah diatur oleh Quran dan Sunnah (Ridla, 1960, V: 147-8). Dalam kajian ilmu dirayah hadits, keadilan ditekankan pada aspek obyektifitas, karena tujuannya ialah mengkaji validitas transmisi oleh transmitter sebuah matan hadits. Sedang ilmu kalam ketika mengkaji keadilan - yaitu keadilan Tuhan - melihat keadilan sebagai konsekuensi logis dari adanya pandangan bahwa Tuhan itu tidak semena-mena, Tuhan adalah dzat yang maha adil. Sementara para fuqaha melihat keadilan sebagai salah satu syarat bagi tegaknya hukum, sekaligus terbentuknya masyarakat taat hukum yang karena itu keadilan ditekankan pada obyektifitas dan moderasi. Kajian tafsir melihat keadilan dengan sudut pandang yang bervariasi, karena ayat-ayat yang diinterpretasikan tekanan dan konteksnya juga bermacam-macam. Sekalipun masing-masing disiplin ilmu keislaman berbeda-beda dalam memberi arti keadilan, namun dapat dikemukakan bahwa arti keadilan ialah, kondisi obyektif (pada kajian ilmu dirayah hadits dan fiqh), logis (pada studi ilmu kalam), moderasi (pada telaah ilmu fiqh dan tafsir), dan memberikan hak kepada yang berhak (pada studi tafsir). Mengenai arti keadilan ini dapat dibandingkan dengan arti-arti yang diberikan oleh Muthahhari (1981, 66-71) berikut: 1. Perimbangan atau keadaan seimbang, 2. persamaan dan tiadanya diskriminasi dalam bentuk apa pun, 3. pemberian perhatian pada hak-hak pribadi dan penunaian hak kepada mereka yang memang berhak, dan 4. keadilan Tuhan. Secara ringkas keadilan adalah perlakuan moderat yang proporsional berdasarkan kualitas obyek. III. Konsep Keadilan Menurut Sistem Nilai-nilai Islam Bagi seorang muslim, keadilan adalah konsekuensi logis dari paham tauhid yang dianutnya. Paham tauhid menghendaki diakuinya Allah sebagai satu-satunya yang berhak dipertuhankan, sebagai the Only Supreme Being. Hal ini berarti bahwa manusia sama sekali dilarang mempertuhankan selainNya, sekaligus dilarang sama sekali menjadikan dirinya sendiri sebagai Tuhan. Manusia harus hanya menghambakan diri kepada Allah, tidak kepada yang lain. Sebab jika demikian berarti ia telah mensubordinasikan diri kepada selain Allah. Demikian pula manusia dilarang sama sekali menjadikan yang lain tersubordinasikan kepadanya. Dengan demikian hubungan antar manusia adalah hubungan kesetaraan, kesepadanan, bebas dari sikap menghambakan dan terhambakan. Inilah hakikat keadilan itu, sebab keadilan adalah al-musâwâh - al-taswiyah - sama dan mempersamakan. Jelas dalam hal ini tauhid adalah teologi pembebasan, karena paham ini menjadikan manusia terbebaskan dari sikap menghambakan dan terhambakan. Inilah yang harus menjadi landasan utama manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota sebuah keluarga, etnis, masyarakat, dan juga bangsa. Keadilan sebagai suatu konsekuensi logis paham tauhid, mengandung makna bahwa penegakannya harus dilakukan untuk memelihara paham itu sendiri. Ini artinya kegagalan menegakkan keadilan adalah juga kegagalan memangku paham tauhid itu sendiri. Dengan demikian menegakkan keadilan merupakan keharusan mutlak yang oleh karena itu menjadi bagian prinsip bagi missi sosial para rasul. Bahkan menurut Boisard (1980, 139) keadilan menurut doktrin Islam merupakan dasar dan tujuan dari segala wahyu Tuhan. Dengan kata lain - seperti dinyatakan Madjid ( 1992, 511) keadilan merupakan inti tugas suci (risâlah) para nabi. Dalam hal ini Quran menyatakan: لقد ارســـــلنارســـلنا بالبينت وانزلنا معهم الكتب والميزان ليقوم الناس بالقســـط ... Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan ... - al-Hadid: 25 (Depag. R.I., 1977, 904). ولكل امة رســــــول فاذا جاء رســـــولهم قضي بينهم بالقســــط وهم لا يظلمون . Tiap-tiap umat mempunyai rasul; maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikitpun) tidak dianiaya. Yunus: 47 (Depag. R.I., 1977, 314). ... وقل آمنت بما انزل الله من كتب وامرت لاعدل بينكم ... ... dan katakanlah: “Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu ... al-Syura; 15 (Depag. R.I., 786). Segera perlu ditegaskan bahwa keadilan sekalipun hakikatnya adalah persamaan dan mempersamakan, tidak berarti memberikan hak secara sama rata. Jika penerima hak yang memang berhak itu, masing-masing memiliki perbedaan tingkat kualitas seperti kemampuan, tugas, dan fungsi, maka aplikasi suatu keadilan harus juga memperhatikan tingkatan-tingkatan ini. Jika hal ini diabaikan, maka misalnya hak-hak seorang dekan menjadi sama dengan tukang sapu. Demikian ini jelas-jelas suatu kezaliman, bukan keadilan. Tentu saja jika dua orang memiliki tingkat kemampuan, tugas, dan fungsi yang relatif sama, maka prinsip keadilan menghendaki agar diperlakukan dengan perlakuan yang sama mengenai hak-hak mereka. Mengenai adanya perbedaan-perbedaan ini, Quran sendiri mengakui, misalnya orang yang berilmu tidak sama dengan orang tidak berilmu (al-Zumar: 9); mereka yang berjuang di jalan Allah berbeda dengan bukan mujahid (al-Nisa`: 95). Oleh karena keadilan menurut sistem nilai-nilai Islam adalah konsekuensi logis dari paham tauhid, maka perintah berbuat adil dilanjuti dengan perintah berbuat ihsan (al-Nahl: 90). Seperti diketahui konsep ihsan ini mengandung muatan teologis dan sekaligus humanis. Muatan teologisnya dilukiskan oleh sebuah hadits Nabi saw. yang menyatakan bahwa ihsan itu ialah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatNya, maka sekalipun engkau tak melihatNya, sesungguhnya Ia melihatmu (Riwayat Muslim). Muatan teologis ini, kondusif bagi terciptanya keadilan secara perfeksionis yang tidak hanya baik, tetapi juga indah, karena adanya suatu kesadaran bahwa prilaku adil itu berada di bawah penan Allah dan dilakukan atas dasar kesadaran teologis bahwa Allah telah berbuat ihsan kepada manusia. Dalam hal ini Quran (al-Qashash : 77) menyatakan: ... فاحســــــــــن كما احســـــــــــن اللـــــــــــه اليك... ... dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu ... Qadri (1968, 1) dalam hal ini menyatakan bahwa dibanding dengan ide-ide dan konsep-konsep buatan manusia, konsep keadilan dalam Quran dianggap lebih tinggi, karena konsep tersebut mengenai aspek terdalam dari hati seorang muslim yang segala perbuatan, niat, dan tujuannya diketahui oleh Tuhan. Konsep ihsan juga memiliki muatan humanis, konsep tersebut memuat ide mengimbangi kebaikan dengan imbangan yang lebih baik, dan membalas keburukan dengan keburukan yang lebih sedikit atau memberi lebih banyak dari yang dituntut, dan mengambil lebih sedikit dari bagian yang menjadi hak yang bersangkutan (Ashfahani, 1972, 118 dan 337). Dalam hal ini konsep ihsan lebih tinggi dari pada konsep keadilan, sebab keadilan adalah memberikan pembalasan secara sama, satu kebaikan dengan satu kebaikan, satu keburukan dengan satu keburukan. Sekalipun demikian, dalam konteks kualifikasi seperti ini, melaksanakan keadilan adalah kewajiban, sedang melakukan ihsan adalah anjuran (Ashfahani, 1972, 118 dan 337). Dengan kata lain melaksanakan keadilan adalah tuntutan hukum yang oleh karena itu menjadi prioritas utama, sedang memilih kemudian melaksanakan ihsan merupakan tuntutan moral yang oleh karena itu merupakan pilihan sekunder. Juga, dalam perbandingan seperti ini, perintah berbuat adil ditujukan kepada negara, sedang perintah berlaku ihsan diarahkan kepada pribadi yang bersangkutan. Dalam hal ini contohnya ialah qishash sebagai perwujudan keadilan sedangkan diyah atau pemberian maaf sebagai aplikasi ihsan. Konsep keadilan dan konsep ihsan ini secara bersamaan menjadi trade mark Islam sebagai agama terakhir yang sempurna dan menyempurnakan, karena sekalipun yang hendak dituju adalah terbentuknya masyarakat bermoral dan estetis, tetapi dengan mengandalkan konsep ihsan saja, sejarah telah membuktikan masyarakat demikian tidak bisa berdiri kokoh, karena tidak adanya kontrol hukum secara baik. Dalam hal ini Islam memandang bahwa terbentuknya masyarakat bermoral dan estetis hanya bisa terlaksana dengan sempurna jika terdapat kontrol hukum, dalam hal ini adalah konsep keadilan, lebih-lebih jika tindak kejahatan telah mendominasi kehidupan suatu masyarakat. Sebaliknya jika hanya mengandalkan konsep keadilan saja, tanpa ada kontrol moral dan estetika melalui konsep ihsan, maka yang terjadi kemudian ialah terbentuknya masyarakat hukum yang sangat rigid dan cenderung tidak toleran yang akhirnya dapat mengarah pada kezaliman. Konsep ihsan juga berisi muatan humanis dalam bentuk perlakuan baik, kepada sesama, bahkan kepada hayawan. Perlakuan baik kepada sesama, - antara lain - yang pertama dan utama ialah perlakuan baik kepada ibu bapa, kemudian kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin (al-Baqarah: 83; al-Ahqaf: 15). Contoh perlakuan baik terhadap binatang, ialah mempertajam pisau yang digunakan untuk menyembelih (Riwayat Muslim). Tentu saja dalam konteks ini perintah ihsan ini adalah perintah wajib, bukan anjuran. Kembali ke konsep keadilan - yang dalam Islam bersaudara kembar dengan konsep ihsan ini -, segera perlu dinyatakan bahwa menurut sistem nilai-nilai Islam, menegakkan keadilan mesti didahulukan daripada mewujudkan kemakmuran, sebab masyarakat yang makmur tetapi tidak berkeadilan adalah masyarakat yang rapuh, penuh kecemburuan sosial, berjurang lebar antara yang kaya dan yang miskin, dan potensial bagi berbagai ekses negatif yang lain. Secara normatif, dinyatakan oleh Quran, bahwa keadilan itu lebih dekat pada taqwa (al-Ma`idah: 8), sedang (keimanan dan) ketaqwaan itu merupakan wasilah dibukakannya barakah langit dan bumi (al-A’raf: 96). Dalam hal ini, Shihab (1996, 111) mengemukakan tesisnya bahwa keadilan akan mengantarkan pada ketakwaan, ketakwaan menghasilkan kesejahteraan. Segera perlu ditambahkan pada tesis ini, bahwa kesejahteraan tersebut bukan sembarang kesejahteraan, tetapi kesejahteraan dalam arti kemakmuran yang berintikan keberkahan. Kemakmuran demikianlah kemakmuran yang kokoh, tanpa kecemburuan sosial, yang tidak mengakibatkan lebarnya jurang antara the have dan the have not, dan yang potensi ekses-ekses negatifnya menjadi minimal. Penegakan keadilan menurut konsep Islam, ditujukan tidak saja kepada pihak-pihak lain, tetapi secara konsekuen jaga harus ditegakkan kepada golongan, keluarga dan diri sendiri. Menegakkan keadilan untuk orang lain dalam konteks memberikan hukuman, jelas-jelas tidak sesulit menegakkan keadilan untuk golongan, keluarga, apalagi diri sendiri dalam konteks yang sama. Untuk mengatasi hal ini Islam datang dengan membawa konsep-konsep: keadilan adalah konsekuensi logis dari paham tauhid; adanya hisab, terutama di akhirat; Tuhan adalah Maha Agung yang keadilannya tidak terkirakan, yang siksaNya tak tertanggungkan. Konsep demikian ini sangat dipahami dan diyakini oleh Nabi saw. sehingga dengan tegas ia nyatakan, bahwa andaikata Fathimah putri beliau mencuri, sungguh-sungguh beliau akan memotong tangan putrinya itu (Riwayat Bukhari dan Muslim). Disamping menunjuk adanya faktor-faktor yang mempermudah orang berbuat adil seperti teruraikan di atas, dalam konteks penegakan keadilan, Islam juga menunjuk adanya faktor-faktor yang menghalangi orang bertindak tidak adil. Faktor-faktor tersebut ialah adanya kecenderungan berpihak kepada golongan sendiri (al-Qashash: 15); adanya kompleks superioritas (superiority complex) terhadap pihak lain (al-Mu`minun: 53; al-Rum: 32; dan Shad: 21-24); adanya interes-interes pribadi dalam bentuk antara lain korupsi dan kolusi (al-Baqarah: 188; al-Nisa`: 135); adanya nepotisme yang tidak sehat (al-Baqarah: 124); adanya - social prejudice - prasangka sosial (al-Ma`idah: 8; al-Hujurat: 11); lemah jiwa dalam arti tidak tegaan (kasus Abi Dzar al-Ghiffari ditolak Nabi saw. waktu meminta dipekerjakan sebagai pegawai pemungut zakat - Riwayat Muslim); tidak adanya transparansi (perintah Nabi saw. agar mengungkapkan kebenaran walaupun pahit- Riwayat Ahmad; juga sabda beliau: dosa itu adalah apa yang mengganjal dalam hati nuranimu dan engkau enggan prilakumu diketahui oleh masyarakat - Riwayat Muslim); lemahnya kontrol sosial (al-Ashr: 1-3); kurangnya pengetahuan (sabda Nabi saw. bahwa adanya tiga kelompok hakim, yang salah satunya masuk neraka karena tidak memahami kebenaran - Riwayat Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi dan al-Thabrani); emosional (Nabi saw. melarang memutuskan hukum dalam keadaan marah - Riwayat Bukhari dan Muslim); berpihak kepada yang kuat; dan yang diadili memiliki status sosial tinggi (kasus wanita Makhzumah, yang dikomentari oleh Nabi saw. bahwa hancurnya orang-orang dahulu karena adanya keberpihakan kepada yang kuat dalam memutuskan perkara - Riwayat Bukhari dan Muslim). Sekalipun konsep keadilan Islam memuat prinsip-prinsip yang bersifat universal, namun dalam aktualisasinya harus memperhatikan aspek -aspek tipikal dari masa dan tempat keberadaan suatu masyarakat. Dalam hal ini Madjid (1992, 518) memberikan ilustrasi bahwa zaman moderen yang secara radikal berbeda dengan zaman agraris pasti menuntut bentuk-bentuk tertentu pelaksanaan prinsip-prinsip dasar keadilan yang berbeda dengan masa agraris. Selanjutnya ia menyatakan bahwa kegagalan memahami adanya perbedaan-perbedaan ini akan dapat berakibat kegagalan dalam usaha melaksanakan keadilan itu sendiri. Aktualisasi keadilan, berkaitan dengan semua bidang kehidupan yang antara lain: hukum, politik, ekonomi, sosial, dan pendidikan. Seperti telah dikemukakan, aktualisasi tersebut harus memperhatikan tuntutan ruang dan waktu keberadaan suatu masyarakat. Sekalipun demikian, konsep keadilan dalam Islam memiliki prinsip-prinsip dasar yang universal berkaitan dengan aspek-aspek tersebut. Dalam semua bidang tersebut, prinsip keadilan menuntut adanya kesempatan yang sama dan berkeseimbangan bagi semua orang untuk berkembang dan mengembangkan keseluruhan potensi kebaikan yang dimiliki secara benar, serta adanya perlindungan terhadap pihak-pihak yang lemah dari ekses-ekses negatif pihak yang kuat, serta adanya perlakuan yang proporsional berdasarkan kualitas obyek. Dalam bidang hukum, keadilan ditegakkan di atas prinsip bahwa semua orang dipandang sama, dan di atas prinsip keseimbangan antara tuntutan kewajiban dan pemenuhan hak; antara hukum sebagai perpanjangan tangan pemerintah dan hukum sebagai suara nurani rakyat; antara tuntutan kepentingan pihak korban dan kondisi pelaku tindak kejahatan; antara kepentingan masyarakat dan perlindungan terhadap hak-hak individu. Dalam bidang politik, keadilan ditegakkan atas prinsip keseimbangan antara kekuatan the state (negara) di satu pihak dan the society (rakyat - tepatnya, masyarakat) di pihak lain; antara kewajiban dan hak, baik pemerintah maupun rakyat; antara pelimpahan kekuasaan dari rakyat kepada penguasa dan perlindungan penguasa kepada rakyat; kepentingan antara pusat dan daerah dan antara sentralisasi dan disentralisasi. Di bidang ekonomi, keadilan dibangun di atas prinsip keseimbangan antara penerapan paham kapitalis dan sosialis; antara kepentingan ekonomi perkotaan dan ekonomi pedesaan (bukan kota menghisap desa atau desa menjarah kota, tetapi semacam kerja sama dengan prinsip saling menguntungkan - win win); antara perlindungan kepentingan perkembangan ekonomi dalam negeri dan kebebasan usaha pihak asing; antara perdagangan bebas dan protektorat kelompok lemah; antara super market yang kuat dan pasar tradisional yang lemah; antara orientasi keuntungan material dan spiritual. Dalam bidang sosial, keadilan ditegakkan di atas prinsip keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat; antara kewajiban-kewajiban sosial dan hak-hak individu; pemberian kesempatan berkembang yang seimbang antara laki-laki dan perempuan; perlindungan yang seimbangan antara anak-anak dan orang dewasa; antara ibadah sosial dan ibadah ritual. Dalam bidang pendidikan, keadilan ditegakkan di atas prinsip keseimbangan antara kepentingan kelas elit dan kelas rendahan (grass roots); antara kepentingan pendidik dan terdidik; antara kepentingan tuntutan kerja dan orientasi intelektual; antara pengembangan rasio dan penajaman intuisi. IV. Reformasi Menuju Masyarakat Berkeadilan dan Berperadaban Perubahan ke arah yang baik (disimbolkan dengan min al- dhulumât ila al-nûr) atau lebih baik (dinyatakan dengan al-âkhirah khair wa abqâ) adalah prinsip dasar Islam, termasuk perubahan ke arah keadilan atau yang lebih adil. Dalam kaitannya dengan keadilan, paradigma ini bersifat aktif, konstruktif, dan dinamis. Bersifat aktif, karena untuk menegakkan keadilan dituntut selalu menjaga posisi moderat, bersifat konstruktif, karena untuk benar-benar mencapai kemoderatan tersebut, harus selalu ada koreksi-koreksi ke arah penyempurnaan, baik berasal dari orang yang bersangkutan maupun dari orang lain, dan bersifat dinamis mengingat aktualisasi keadilan menuntut sikap akomodatif terhadap perkembangan ruang dan waktu tanpa melepas prinsip-prinsip dasar universalnya. Pada hakikatnya keadilan adalah suatu implementasi kebenaran dalam kehidupan manusia, baik berkaitan dengan hidup pribadinya maupun hidup kemasyarakatannya. Implementasi kebenaran tentu harus dilakukan secara berkesinambungan. Jika kebenaran diimplementasikan secara terus menerus, maka terbentuklah masyarakat yang berkeadilan. Selanjutnya jika implementasi kebenaran ini dikontrol dan mengontrol nilai kebaikan dan keindahan atau dengan kata lain jika keadilan dikendalikan dan mengendalikan nilai-nilai keihsanan, maka tidak saja terbentuk masyarakat yang berkeadilan tetapi sekaligus terwujud masyarakat yang berperadaban. Dalam arti nominalnya, masyarakat berperadaban adalah masyarakat yang mengimplementasikan kebaikan dan keindahan dalam berbagai aspek kehidupan mereka, atau dengan singkat adalah mayarakat yang berihsan. Seperti diketahui bahwa negara dan pemerintahan adalah institusi produk peradaban. Produk peradaban ini hanya akan bertahan jika tidak dirusak oleh kezaliman. Taimiyah menyatakan bahwa sesungguhnya Allah akan menegakkokohkan suatu negara yang adil walaupun dipimpin oleh orang kafir, dan Ia akan melakukan sebaliknya terhadap suatu negara yang zalim, sekalipun dikuasai oleh orang-orang yang beriman - ان الله يقيم الدولة العادلة ولوكانت كافرة ولايقيم الدولة الظالمة ولوكانت موء منة - (Mubarak, T.Th, 130-131). Dengan cara yang agak berlainan, Khaldun (1960, 188) menyatakan bahwa: الظلم محرب للعمران (kezaliman adalah perusak peradaban). Dengan kata lain, - seperti dikatakan oleh Beg (1984, 67): - “Keadilan melestarikan peradaban.” Dalam hal ini tidak saja keadilan melestarikan peradaban, tetapi juga dilestarikan oleh peradaban, atau tepatnya ialah keadilan mengontrol dan dikontrol oleh peradaban. Berdasarkan uraian di atas, reformasi atau bahkan transformasi ditujukan pada segala upaya untuk menciptakan keadaan yang selalu kondusif bagi terwujudnya masyarakat yang berkeadilan dan berperadaban secara proaktif, konstruktif, dan dinamis secara terus menerus sejalan dengan perkembangan ruang dan waktu. V. K e s i m p u l a n Berdasarkan paparan di atas, disimpulkan sebagai berikut. Keadilan sosial adalah keadilan yang didasarkan atas sistem nilai-nilai masyarakat. Mengingat penduduk Indonesia adalah mayoritas muslim, maka logis jika sistem nilai-nilai tersebut terutama harus berasal dari masyarakat Islam. Sistem nilai-nilai masyarakat Islam dibangun di atas landasan Quran dan Sunnah - Hadits Nabi saw, dan dengan memperhatikan tuntutan tipikal kekinian dan kedisinian. Sistem nilai-nilai masyarakat Islam memandang: keadilan sebagai konsekuensi logis paham tauhid; keadilan merupakan tugas sosial para rasul; keadilan sebagai perlakuan moderat yang proporsional berdasarkan kualitas obyek; keadilan harus diwujudkan dengan cara mengkondisikan faktor-faktor penunjang dan menghindari faktor-faktor penghalang dalam segala aspek kehidupan manusia yang antara lain dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, pendidikan; keadilan harus diaktualisasikan dengan tetap berpijak pada nilai-nilai dasar universalnya serta dengan memperhatikan tuntutan ruang dan waktu; keadilan harus mendahului dan mendasari kemakmuran; keadilan harus mengontrol dan dikontrol oleh keihsanan demi terwujudnya masyarakat yang berkeadilan dan berperadaban. والله اعلم بالصواب Gresik, 18 Agustus 1998 D‎aftar Kepustakaan Ashfahani, al-Raghib al-, 1972, Mu’jam Mufradât Alfâdh al-Qurân, Beirut:Dâr al-Fikr. Beg, Muhammad Abdul Jabbar, 1984, Islamic and Western Consepts of Civilization, (Terjemahan Syafig A. Mughni), Surabaya: al-Ikhlas. Bidlawi, Nashr al-Din Abu al-Khair ‘Abd Allah bin ‘Umar al-, 1939, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta`wîl, Jilid I, Mesir: Mushthafâ al-Bâbiy al-Halabiy. Boisard, Marcel A., 1980, L’Humanisme de L’ Islam, (Terjemahan H.M. Rasjidi), Jakarta: Bulan Bintang. Departemen Agama R.I., 1977, Al-Qurنan dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran. Hadad, Ismid (Ed.), 1981, Kebudayan Politik dan Keadilan Sosial, Jakarta: LP3ES. Jurjani, Abu al-Hasan al-Husaini, 1938, al-Ta’rifât, Mesir: Mushthafâ al-Bâbiy al-Halabiy. Khathib, Muhammad ‘Ajjaj, 1975, Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuh wa Mushthalahuh, Beirut: Dâr al-Fikr. Kholdun, Ibnu, 1960, Muqaddimah, Kaero: al-Kubrâ. Madjid, Nur Cholish, 1992, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. Maraghi, Ahmad Mushthafa al-, 1974, Tafsîr al-Marâghiy, Jilid V, Beirut: Dâr al-Fikr. Mubarak, Muhammad al-, al-Iqtishâd: Mabâdi` wa Qawâ’id ‘Ammah, Beirut: Dâr al-Fikr. Muthahhari, Murtadla al-, 1981, al-’Adl al-Ilâhiy, Qum: Mathba’ah al-Khayyâm. Qadri, Anwar A, 1968, Justice in Historical Islam, Lahore: Ashraf. Qurthubi, Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-, 1967, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, Jilid V, Mesir: Dâr al-Kâtib al-’Arabiy. Quthb, Sayyid, 1967, Fi Dhilâl al-Qurân, Jilid V, Beirut: Dâr Ihyâ` al-Turâts al-’Arabiy. Ridla, Muhammad Rasyid, 1960, Tafsîr al-Qurân al-Hakîm (Tafsîr al-Manâr), Jilid V, Mesir: Maktabah al-Qâhirah. Shiddieqy, Hasbi Ash, 1974, Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang. Shihab, M. Quraish, 1996, Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan. Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dâr al-Fikr. Syaukani, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-, Tanpa Tahun, Fath al-Qadîr, Jilid I, Beirut: Dâr al-Fikr. Thabari, Abu Ja’far bin Muhammad bin Jarir al, 1984, Jâmi al-Bayân, Jilid V, Beirut: Dâr al-Fikr. Wehr, Hans, 1980, A Dictionary of Modern Written Arabic, Beirut: Librairie du Liban. Zahrah, Muhammad Abu, Tanpa Tahun, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah, Beirut: Dâr al-Fkr al-’Arabiy. Catatan: Sumber hadits dari Compact Disk, al-Hadîts al-Syarîf al-Kutub al-Tis’ah.

Tidak ada komentar: