Jumat, 30 Mei 2008

Pengertian Politik, Siyasah dan Dustury.

Pengertian Politik, Siyasah dan Dustury.
Jika politik berasal dari bahasa yunani Polis, yang berarti kota atau negara kota, maka siyasah dari bahasa arab yang berarti “siasat, pemerintahan, pengaturan” sedang Dustur berarti “undang-undang dasar”. Dengan demikian istilah politik lebih menunjuk pada produk – kota atau negara kota – sedang siyasah lebih menunjuk pada aspek prosesnya, dan dustury lebih menekankan aspek proses keteraturannya. Sementara itu untuk istilah ilmu politik dapat diidentikkan dengan istilah al Fiqhus Siyasy atau al Fiqhud Dusturiy atau al Ahkamud Dusturiyah. Hanya tentu saja istilah-istilah seperti itu khas Islam, atau untuk lebih menegaskan kekhasan itu lebih sering kali dipakai istilah As Siyasah Al Islamiyah atau ad Dusturiyah al Islamiyah As Siyasah Asy Syar’iyah. Istilah yang lain misalnya Al Ahkamus Sulthaniyah, hanya tidak sepopuler istilah-istilah di atas. Secara terminologis dapat diartikan sebagai Ilmu yang membahas “hubungan antara para penguasa dengan rakyat : seperti pemilihan kepala negara, syarat-syarat yang diperlukan, hak dan kewajiban kepala negara terhadap rakyat dan sebaliknya, aturan permusyawaratan, soal keadilan dan persamaan” atau sebagai ilmu yang membicarakan tentang : soal Imamah (pimpinan negara), menegakkan pemerintahan Islam, teori-teori tentang timbulnya negara, negara dan syarat-syarat diadakannya, serta kewajiban-kewajibannya, hubungan antara rakyat dengan penguasa dalam berbagai-bagai lapangan hidup”. Jika ilmu politik dianggap sebagai ”The Science or art of government”, maka As Siyasah Al Islamiyah merupakan ilmu pemerintahan yang didasarkan pada syari’at. Sementara itu pemrasaran mengemukakan bahwa sebagai disiplin, ilmu politik mempunyai obyek studi yaitu praktek-praktek bernegara dan bermasyarakat dan hal-hal yang berkaitan dengan itu, menurut saya itu adalah obyek materia, sedang obyek formanya adalah kekuasaan, karena soal kekuasaan inilah yang menonjol, misalnya seperti dikemukakan oleh William A Robson : “It is with power in society that political science is primarily concerned – its nature, basis processes, scope an results”. Sumber Kedaulatan Menurut Siyasah Islamiyah Oleh karena obyek utama Ilmu Politik adalah kekuasaan atau kedaulatan, maka perlu, dikemukakan tentang sumber kedaulatan tersebut. Dilihat dari segi sumbernya, konsep tentang kedaulatan dapat dibedakan menjadi tiga ; yaitu (1). Sumber kedaulatan itu adalah Tuhan, (2). Sumber kedaulatan itu adalah manusia, (3). Sumber kedaulatan itu adalah hukum. Pemrasaran mengajukan ada tiga konsep kedaulatn, yaitu Monistis, Pluralistis dan Islam. Pluralistis dipandang sebagai antitesis dari Monistis, apakah Islam merupakan sintesis dari keduanya ? Tampaknya bahwa meletakkan monistis dan pluralistis adalah dari sudut pandang kwantitas dari sumber kedaulatan, sedang Islam dilihat dari sudut pandang siapa sumber kedaulatan itu. Tentang sumber kedaulatan ini terjadi perbedaan pandangan Barat Moderen (al Fikrul Gharbiyul Hadits), sedang pada pemikiran Islam tidak pernah terjadi, karena kedaulatan itu sumbernya Allah yang kemudian didelegasikan kepada seluruh individu manusia. Dalam hal ini Dr. Mahmud Hilmiy menulis وإذا كان الفكر العربي الحديث قد اختلف في أساس تحديد سيادة الدولة كما رأينا فإن الفكر الإسلامي لم يختلف في هذا، لأن السيادة لله عز وجل يمارسها مجموع الأفراد. والحكام ليسوا إلا وكلاء عن مجموع الشعب يستمدون سلطانهم منه. Mengenai sumber kedaulatan menurut Siyasah Islamiyah di atas, didasarkan pada ayat-ayat al Qur’an yang antara lain Al Maidah 18, at Taubah 116, al Isra 111, Thaha 114, al Mukminun 88-89 dsb. Sementara itu pada mulanya manusia dipandang sebagai “Lam yakun sya-ian madzkura” – “Belum merupakan sesuatu yang dapat disebut” (al Insan 1), kemudian Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi ini (al Baqarah 30, al An’am 165, Yunus 14, 73, Shad 26, al Fathir 39, al A’raf 69, 74, an Naml 62, an Nur 55). Pada umumnya arti khalifah atau bentuk lain dari kata itu yang tercantum pada ayat-ayat itu berarti penguasa bukan dalam kaitannya dengan negara tetapi dalam kaitannya dengan suatu kenyataan bahwa setiap manusia adalah penguasa atau dalam hadits disebut “kullukum ra’in”. Ada pula yang berarti kepala Negara, misalnya ayat 26 surat Shad, dan ada pula yang berarti kelompok yang berkuasa dan berpengaruh terhadap golongan\umat lain atau boleh disebut dengan Super Power, yaitu yang tertera pada ayat 55 surat an Nur. Dengan kekuasan yang telah diterima itu, manusia mempunyai Free Will atau Free Act. Dan karena hal itu berlaku pada setiap individu umat manusia, demi kemashlahatan mereka Allah menawarkan jalan berupa Syara’, yang salah satunya adalah agar manusia membentuk pemerintahan. Kewajiban Mendirikan Pemerintahan Al Mawardi mengemukakan bahwa ada dua pendirian tentang kewajiban mendirikan pemerintahan, yaitu semata-mata atas dasar tuntutan Syara’, dan semata-mata atas dasar pertimbangan akal. Pendirian pertama didasarkan pada ayat 59 surat an Nisa’ yang terdapat di dalamnya kata wa ulil amri minkum, kita diperintah taat pada mereka artinya mengangkat mereka sebagai ulil amri adalah juga diperintahkan. Di samping itu juga didasarkan pada hadits Nabi saw. riwayat Ahmad : عن عبد الله بن عمرو أن النبي ص. قال : لا يحل لثلاثة يكون بفلاة من الأرض إلا أمروا عليهم أحدهم. Sementara itu pendirian kedua kedua didasarkan atas pertimbangan bahwa setiap orang mengharapkan keselamatan dari tindakan-tindakan penganiayaan yang dapat timbul dari penyalah gunaan kebebasan dan kekuasaan yang dimiliki setiap orang dan juga supaya orang terhindar dari perbuatan menghakimi sendiri (eigen-richting), maka perlulah dibentuk pemerintahan. Teori Rousseau “The Du Contrat Social” (al ‘Aqdul Ijtimaiy) jelas berkaitan dengan pendirian kedua ini. Ia memandang bahwa “Man is born free, and everywhere he is in chains”, dan salah satu rantai itu adalah ketika manusia berhadapan dengan manusia yang lain. Di situlah tergambar pertentangan antar kepentingan yang harus ada pihak ketiga yang menengahi, dan pihak ketiga ini adalah pemerintah. Memperhatikan kedua pendirian di atas, menurut saya kewajiban mendirikan pemerintahan itu memang dapat didasarkan atas pertimbangan akal, hanya saja supaya hal tersebut mempunyai nilai religius, kehadiran tuntutan Syara’ itu sangat diperlukan. Dengan demikian soal ini akan merupakan bagian dari “ibadat” yang memberi semangat baik bagi rakyat maupun pemerintah, atau menurut bahasa Pemrasaran tidak “bebas nilai” Masalah selanjutnya adalah bagaimana bentuk pemerintahan itu ? Bentuk Pemerintahan Menurut Siyasah Islamiyah Prof. Mr. R. Kranenburg membuat bab dalam bukunya Ilmu Negara “Teori bentuk-bentuk pemerintahan dan negara”. Di bawah bab tersebut ia mengemukakan dua macam pengelompokan : Monarchi – Republik dan Monarchi – Oligarchi – Demokrasi. Sementara itu Pemrasaran menempatkan Demokrasi berhadapan dengan Theokrasi, yang kemudian dengan mengutip pendirian al Maududi menyebut pemerintah menurut Islam adalah “Theo-Demokrasi” Tampaknya semua itu diletakkan pada sudut pandang sumber kedaulatan. Akan tetapi jika persoalan yang diajukan adalah bagaimana bentuk pemerintahan Islam itu, maka pertanyaannya berbunyi apakah pemerintahan Islam itu Monarchi atau Republik atau berbunyi apakah pemerintahan Islam itu Monarchi, Oligarchi atau Demokrasi ? Masalah selanjutnya ialah apakah pertanyaan seperti itu penting ? Jika dikatakan penting, kenyataannya baik al Qur’an maupun Sunnah Rasulillah Saw. tidak menjelaskan soal itu. Apakah dengan demikian dapat dianggap benar apa yang dikemukakan oleh DR. H. Abdoer Raoef SH “… hukum qur’an tidak ada menetapkan bagaimana mestinya bentuk negara … Terserah kepada manusia untuk memilih bentuk negara masing-masing, asal alat organisasi dan cara-cara bekerja alat-alat tersebut sesuai dengan apa yang ditentukan oleh Abdoer Raoef – menulis bahwa “negara republik itu tidak mesti lebih demokratis dari pada negara kerajaan, dan negara kerajaan itu tidak mesti lebih otokratis dari pada negara republik”. Ibnu Khaldun – seperti yang dikutip oleh Hasbi Ash Shiddiqy – mengatakan “… syara tidak mencela kerajaan yang menutun rakyat kepada Agama, yang memelihara kemashlahatan ummat. Yang dicela hanyalah yang mengendalikan rakyat menurut hawa-nafsu” Memang dalam al Qur’an digambarkan tentang beberapa kerajaan tanpa ada penegasan tentang baik buruknya bentuk kerajaan itu, yang dicela atau dipuji ialah aktifitas dari penguasa-penguasa kerajaan itu. Dalam perkembangan sejarah Islam, kemudian muncul istilah khalifah dan Imamah, yang bersamaan dengan itu pula lahir teori dikalangan kaum Muslimin. Ahli Sunnah mengemukakan teorinya bahwa seorang khalifah harus dari kalangan “suku Quraisy”, Kharij berpendirian “tiap orng Islam boleh menjadi Khalifah, asal saja ia mempunyai kesanggupan untuk itu”, Syi’ah berpendirian bahwa Imamah (jabatan kepala negara) adalah “hak monopoli Ali Ibn Abi Thalib dan keturunannya”. Demikianlah teori ketatanegaraan yang berkembang di kalangan kaum muslimin. Selanjutnya dalam perkembangan bentuk Khilafah mengarah pada pemerintahan yang tidak sehat, tidak seperti pada masa awalnya, yaitu masa Khulafaur Rasidun. Tentang perkembangan bentuk pemerintahan ini dikupas secara tarikhi oleh Ibnu Qutaibah dalam Al Imamah was Siyasah. Selanjutnya seperti dikutip oleh pemrasaran bahwa Ali Abd. Raziq menganggap tidak perlu khilafah untuk urusan akherat maupun dunia, dan hal ini ditolak oleh Syalabi seraya meluruskan kekeliruan faham Ali Abd. Raziq yang karena khilafah turki usmani buruk maka khilafah itu dianggap buruk. Apa yang dikemukakan oleh Syalabi itu dapat juga ditemukan dari uraian Prof. Dr. Dliya-udin Ar Rajis dalam an Nadhariyyat as Shiyasiyyah al Islamiyah seperti disadur oleh Hasbi Ash Shiddiqi. Untuk menghindari kekeliruan seperti itu, diusulkan untuk mengunakan “Imamah untuk menamakan pemerintahan yang dikehendaki Islam”. Usulan ini sebenarnya dapat diterima, akan tetapi istilah Imamah ini selalu dipergunakan oleh kalangan Syi’ah yang secara khusus tidak lepas dari rangkaian pendirian mereka bahwa Imamah itu hak monopoli Ali bin Abi Thalib dan keturunananya. Namun demikian tampaknya arti pokok Imamah seperti dikemukakan oleh Al Mawardiy : الإمامة : موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا. Imamah : suatu kedudukan yang diadakan untuk mengantikan tugas kenabian memelihara agama dan mengatur urusan dunia. Dengan arti seperti itu jelas bahwa pemerintahan Islam, tidak memisahkan antara urusan agama dengan urusan dunia. Sumber-Sumber Perundang-Undangan Menurut Siyasah Islamiyah Pemrasaran mengemukakan bahwa dasar system politik menurut Islam ada tiga : Tauhid, Risalah Muhammad, dan khilafah rakyat. Seperti tampak pada catatan kami, pendapat itu dikemukakan oleh Maududi. Terhadap ini tampaknya Maududi memakai pendekatan Da’wah, tanpa pertimbangan persoalan yang dapat muncul dari penyebutan tiga dasar system itu. Persoalan itu misalnya, mangapa Tauhid itu harus terpisah dari Risalah Muhammad, padahal bukankah justru inti dari Risalah itu adalah Tauhid itu sendiri ? Kelihatannya perlu dikemukakan bahwa menurut Siyasah Islamiyah, Risalah Muhammad (Al Qur’an dan Al Hadits) itu adalah merupakan sumber-sumber (mashadir ) semua perundan-undangan dalam pemerintahan Islam, jadi bukan merupakan prinsip-prinsipnya. Sedang mengenai prinsip-prinsip (mabadik)nya yang merupakan penentu corak pemerintahan Islam menurut Siyasah Islamiyah bukan menyangkut al Qur’an dan al Hadits dalam arti keseluruhan, tetapi beberapa aspek tertentu yang sekali lagi memberi warna pemerintahan Islam. Mengenai sumber-sumber perundang-undang pemerintahan Islam, Dokter Abd.Hamid Mutawalli mengemukakan ada tiga : Hukum-hukum Al-Quran, As Sunnah dan penetapan yang terbit dari Ulil Amri dalam batas-batas (yang dibenarkan – pen) hukum syari’at Islam. Mengenai Al Qur’an ia memberi catatan bahwa dalam kaitannya dengan perundang-undangan, al Qur’an hanya memberikan kaidah-kaidah umum atau prinsip-prinsip umum saja, dan bahwa ayat-ayat al Qur’an yang menyangkut soal hukum sangat sedikit jika disbanding dengan isi keseluruhan al Qur’an. Tentang ayat-ayat yang menyangkut soal kenegaraan ini, Abd Wahab Khallaf menghitung tidak lebih dari 10 ayat saja. Mengenai as Sunnah sebagai sumber perundang-undangan pemerintahan Islam juga mengatur soal-soal pokok saja sedang penjabarannya lebih lanjut diserahkan kepada ummat. Atas dasar kenyataan seperti inilah Doktor Mahmud Hilmiy berbeda dengan Dr. Abdul Hamid Mutawalli dalam menentukan sumber perundang-undangan pemerintah Islam. menurut Dr. Mahmud Hilmiy selain Al Qur’an dan As Sunnah, maka Ijma’ Qiyas Istihsan, mashalih mursalah dipandang termasuk juga sumber-sumber perundang-undangan pemerintahan Islam. Prinsip-Prinsip Pemerintahan Islam Menurut Siyasah Islamiyah Syaikj Khallaf mengemukakan bahwa prinsip-prinsip ini meliputi : Keadilan, Permusyawaratan, Persamaan. Dengan demikian pula pendapat Hasbi Ash Shiddieqy. Menuurut Abu Zahrah, prinsip-prinsip tersebut adalah : keadilan, permusyawaratan, loyal pada para penguasa baik suka atau tidak, sepanjang tidak diperintah berlaku ma’shiyat. Dr. Muhammad Yusuf Musamenyebut prinsip-prinsip itu sebagai : musyawarah terhadap soal-soal yang memang dimusyawarahkan yaitu tentang persoalan umum ummat, keadialan Kepala Negara, dan para pegawai bawahannya, mendelegasikan sebagian tugas-tugasnya pada mereka yang mempunyai skill dan terpercaya. Doctor Abd. Hamid Mutawalli menyebut beberapa prinsip, yaitu : Musyawarah, Keadilan, Persamaan, Kebebasan \, pertanggung jawaban para penguasa. Semua prinsip-prinsip yang secara berbeda-beda dikemukakan di atasbagaimanapun juga memang dibawa oleh Syari’at Islam. mengenai musyawarahdapat dikemukakan landasannya sebagai berikut : Ali ‘Imran 159, Asy Syura 38, hadits riwayat Turmudzi “Tak seorangpun yang lebih banyak bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya disbanding Rasulullah”. Mengenai keadilan dapat dikemukakan antara lain An Nahl 90, An Nisa’ 58, 135, Hadits Rasulillah riwayat turmudzi “Manusia yang paling disenangi Allah pada Hari Qiyamat ialah Pemimpin yang adil”. Mengenai persamaan dapat dibaca ayat 13 surat al Hujurat, hadits riwayat al Bukhari : Tidak ada kelibihan orang Arab dari selain Arab, melainkan dengan taqwanya”. Adapun prinsip kebebasan ini menyangkut banyak segi, misalnya kebebasan beraqidah/beragama didasarkan pada Yunus 99, al Baqarah 256; kebebasan berpendapat didasarkan pada ayat 104 Ali Imran dan hadits riwayat abi Dawud “Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan perkataan yang haq dihadapan penguasa yang menyeleweng”. Mengenai prinsip pertanggung jawaban pemerintah didasarkan pada ayat 151 Asy Syu’arak, ayat 28 al Kahfi dan hadits-hadits Nabi Saw. yang antara lain diriwayatkan al Bukhari Muslim “ Tak ada loyalitas pada perkara ma’shiyat, loyalitas itu hanya pada perkara ma’ruf”. Penerapan Prinsip-Prinsip Siyasah Islamiyah di Indonesia Ketika hari kamis 30 Juli 1987 yang lalu saya bertemu dengan pemrasaran di Perpustakaan IAIN Sunan Ampel, beliau meminta saya agar lebih banyak menyoroti tentang penerapan prinsip-prinsip politik Islam di Indonesia, mengingat bagian itu ditulisnya dalam keadaan tergesa-gesa karena ditunggui oleh mahasiswa yang akan mengetik, memperbanyak naskah itu. Akan tetapi tampaknya saya juga diburu oleh waktu. Betapa tidak, sampai jam 24.00 WIB hari sabtu, 1 Agustus 1987 saya belum menulis bagian yang diminta itu ! Akhirnya saya menulis catatan berikut : - bahwa sifat sinkretis dan bau mistik pada infra struktur politik yang telah diciptakan para wali itu disebabkan oleh dua factor : strategi Da’wah mereka dan pengaruh ajaran Hindu Budha dan lain-lain kepercayaan orang-orang Indonesia (baca Jawa) yang telah mendarah daging itu kemudian muncul kepermukaan, akhirnya berpengaruh terhadap kemurnian tuntunan Islam. - kalau apa yang diusahakan oleh para wali itu akhirnya kondusif untuk melahirkan sebuah kerajaan Islam Jawa : Demak, tidak berarti bahwa apa saja yang diupayakan para Ulama untuk menerapkan prinsip-prinsip politik Islam itu tidak berhasil, hanya karena tidak dapat melahirkan sebuah negara seperti Kerajaan Demak. - Bahwa prinsip-prinsip keadilan, musyawarah, kebebasan, persamaan, pertanggung-jawaban pemerintah, loyalitas rakyat pada kema’rufan yang diperintahankan penguasa, semua itu mengalami pasang surut dalam sejarah Indonesia, seperti juga pada bangsa-bangsa Islam yang lain.

Tidak ada komentar: