Jumat, 30 Mei 2008

Realitas Budaya Lokal Global dan Respon Islam

REALITAS BUDAYA LOKAL-GLOBAL DAN RESPON ISLAM
Oleh: Dr. M. Sa’ad Ibrahim, M.A.
A. Pendahuluan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah memberikan tuntunan, antara lain agar pengembangan kehidupan seni dan budaya di kalangan Muhammadiyah harus sejalan dengan etika atau norma-norma Islam yaitu tidak mengakibatkan kerusakan, bahaya, kedurhakaan, dan jauh dari Allah. Pedoman tersebut juga menyatakan bahwa Islam adalah agama fitrah, yaitu agama yang berisi ajaran yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia, Islam bahkan menyalurkan, mengatur, dan mengarahkan fitrah manusia itu untuk kemuliaan dan kehormatan manusia sebagai makhluk Allah. Ini berarti bahwa kebersenian dan keberbudayaan pun juga tidak dilepaskan liar tanpa aturan dan arahan yang kemudian melenyapkan kemuliaan dan kehormatan manusia sebagai makhlukNya. Bagaimana respon Islam terhadap hal itu, makalah ini ditulis dengan harapan dapat memberikan analisis dan penjelasan yang komprehensip sebagai bahan kajian di forum ini. B. Paradigma Islam tentang Kefithrahan Manusia Islam memandang manusia dengan pandangan optimistis positif, dalam arti bahwa karena manusia memiliki fithrah - esensi dasar - baik, maka manusia dipandang dapat mengatasi berbagai kecenderungan negatif dalam menempuh hidup fenomenalnya di dunia ini. Fithrah adalah sketsa Allah (shibghah Allah) yang disaputkan kedalam bentangan kanvas rohani manusia sebelum hidup fenomenal mereka, yang berupa ikatan primordial kepada Allah sebagai Rabb manusia . Dengan sketsa ini manusia memiliki kecenderungan asasi pada kebenaran, kebaikan, dan keindahan, sebagai implikasi akidah tauhid mereka yang ditanamkan pada masa transendental itu.. Akan tetapi bersamaan dengan itu pula bentangan kanvas rohani manusia juga mewarisi sketsa orang tua mereka secara psikis genetik. Sketsa psikis genetik ini, baik buruknya tergantung pada totalitas kebaikburukan orang tua mereka. Jika totalitas psikis orang tua mereka baik, maka baik pula warisan psikis genetik yang diturunkan kepada anak mereka, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi, baik sketsa Allah, maupun sketsa orang tua dalam diri anak masih bersifat potensial, maka keputusan aktualisasinya sepenuhnya berada pada wilayah free will anak itu sendiri. Hanya saja jika totalitas sketsa orang tua berupa kejahatan, maka anak tersebut akan rentan sekali terhadap pengaruh jahat lingkungannya. Akan tetapi ini tidak berarti, anak tersebut mesti tidak dapat mengatasi pengaruh lingkungan mereka, karena pada diri mereka masih tetap ada potensi sketsa Allah. Sebaliknya jika sketsa yang diwariskan orang tua mereka adalah baik, maka mudah sekali mereka menerima stimulan-stimulan kebaikan yang diberikan oleh lingkungan hidup mereka, karena pada diri mereka terdapat dua sketsa yang sama-sama baiknya, yaitu sketsa Allah dan sketsa orang tua mereka. Dengan demikian menjadi sangat penting untuk mewujudkan dan memelihara lingkungan yang baik, tidak sebaliknya. Termasuk juga mewujudkan dan memelihara lingkungan budaya yang baik di masyarakat, dan tidak sebaliknya. Ini diperlukan agar terwujud lingkungan budaya yang kondusif bagi pemberian stimulan-stimulan bagi aktualisasi sketsa Allah dan sketsa orang tua yang sama-sama baiknya, dan sekaligus mencegah terwujudnya stimulan-stimulan yang kondusif bagi terealisasinya potensi-potensi yang tidak baik, yang berasal dari pewarisan gen psikis buruk dari orang tua. Dalam realitas kehidupan masyarakat, telah terwujud berbagai budaya yang baik, disamping juga yang buruk. Oleh karena itu Islam sejak awal sudah memiliki perhatian yang serius terhadap budaya yang kemudian dalam perkembangannya telah melahirkan paradigma metodologis untuk menentukan mana yang baik dan diakomodir ke dalam masyarakat Islam, dan mana yang tidak baik dan harus ditolak. C. Paradigma Metodologis Islam terhadap Budaya Manusia adalah makhluk berbudaya, dalam arti mereka diberikan potensi untuk mewujudkan dunianya sesuai dengan kemauan bebas, kecerdasan, kecenderungan, ketidakpuasan pada status quo, kedinamisan; dan lingkungan tipikal mereka sendiri. Oleh karena mereka juga dianugrahi fitrah Allah, maka Islam mempunyai pandangan optimistis positif terhadap keberadaan manusia untuk mewujudkan budaya yang baik, hasil perpaduan antara potensi-potensi di atas dengan fitrah tersebut. Dalam upaya mengintegrasikan keduanya, manusia masih juga diberikan tuntunan yang berupa agama Islam itu sendiri. Budaya yang dihasilkan oleh proses demikian ini, tentu saja dapat sepenuhnya diakomodir ke dalam masyarakat Islam. Untuk merespon positif hal tersebut, Islam telah meletakkan paradigma metodologis. Paradigma metodologis itu antara lain berupa kaidah al-‘adah muhakkamah (adat itu dipandang legal) ; manhaj al-istinbath yang berupa mashlahah mursalah ; paradigma yang dibangun berdasarkan prinsip husn al-dhann yaitu manusia itu pada dasarnya baik, sampai kemudian terbukti sebaliknya; dan ajaran ta’aruf yang mengimplikasikan adanya kebaikan minor - termasuk budaya - pada masing-masing bangsa dan kabilah seperti dinyatakan oleh surat al-Hujurat ayat 13. Jika Islam tidak mengakui adanya kebaikan minor tersebut, untuk apa ada ajaran ta’aruf, karena fungsi utamanya adalah untuk saling mengenal entitas masing-masing pihak, terutama memahami kebaikan-kebaikan untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan masing-masing. Ayat tersebut juga sekaligus mengintrodusir kebaikan mayor baik sebagai varian maupun sebagai standar kebaikan minor, yaitu taqwa. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebaikan minor harus selaras dan tidak bertentangan dengan kebaikan mayor, atau dengan kata lain - sesuai dengan kajian ini - baik buruknya sebuah budaya ditentukan oleh selaras tidaknya dengan prinsip ketakwaan kepada Allah. Sebagai ilustrasi lebih lanjut tentang adat yang dilegalkan oleh Islam adalah budaya shilaturrahim. Budaya ini sudah ada sebelum Nabi saw diutus, berdasarkan perkataan Khadijah istri Nabi saw, ketika menyikapi kekhawatiran beliau akan mendapatkan bencana seusai menerima wahyu pertama: Demi Allah, sekali-kali Allah tidak akan mencelakakan Anda, karena sesungguhnya Anda melakukan shilatur rahim dan … Menghimpun al-Qur`an - yang masih berserakan pada masa Nabi saw - yang dilakukan atas usul ‘Umar bin al-Khaththab pada masa pemerintahan Abu Bakar adalah contoh penerimaan budaya dengan menggunakan manhaj mashlahah mursalah. Terhadap budaya yang tidak baik, Islam juga telah meletakkan paradigma metodologis, yang antara lain berupa manhaj sadd al-dzari’ah ; kaidah al-nahy bi al-syay` nahy ‘an wasailih; la dlarar wa la dlirar; daf’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih dan sebagainya. Ziarah kubur sebagai budaya global, pernah dilarang untuk dilakukan, kemudian diperintahkan oleh Nabi saw, adalah sebuah larangan berdasarkan manhaj sadd al-dzari’ah. Ketika ziarah tersebut tidak lagi dikhawatirkan akan membawa kesyirikan, larangan itu dibatalkan oleh beliau. Kaidah larangan terhadap sesuatu, adalah juga cegahan terhadap medianya tampak pada larangan terhadap segala media perzinaan. Hubungan seksual adalah bagian dari tindak instingtif, sedang cara dan medianya adalah bagian dari budaya manusia. Islam memberikan tuntunan terhadap insting ini, termasuk juga yang berupa larangan terhadap perzinaan dan segala medianya. Larangan terhadap budaya pertandingan tinju, adalah berdasarkan kaidah la dlarar wa la dlirar . Judi dilarang, sekali pun juga ada manfaatnya adalah atas dasar kaidah daf’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih , mengingat mafsadahnya lebih besar dibanding kegunaannya. Tentu saja dasar utama larangannya adalah nash itu sendiri, yaitu ayat 219 al-Baqarah, dan 90-91 al-Maidah. D. Budaya Lokal dan Global serta Pengaruhnya terhadap Pluralitas Bangunan Islam Oleh karena pembentukan budaya antara lain dipengaruhi oleh lingkungan tipikal, maka lahirlah berbagai budaya lokal, baik yang positif maupun yang negatif. Budaya-budaya lokal tersebut kemudian dapat saling bertemu, mengintegrasikan diri, berjalan secara paralel, atau berlawanan satu sama lain. Dalam perkembangannya kemudian, kondisi tersebut melahirkan perkawinan budaya, memunculkan berbagai varian, atau menghasilkan budaya rendah kemudian lenyap dan budaya tinggi yang tetap eksis. Puncak dari pergumulan ini, ialah lahirnya budaya global. Didukung oleh terjadinya akselerasi perkembangan teknologi informatika yang sangat luar biasa dewasa ini, pergumulan antar budaya yang asalnya lokal tersebut, dengan cepat menjadi budaya global yang mendunia, tanpa dapat lagi dibendung. Dalam hal ini, hampir dapat dipastikan siapa saja yang dapat menguasai teknologi informatika tersebut maka merekalah yang paling besar peluangnya untuk keluar sebagai pemenang pergumulan ini, kemudian budaya mereka menjadi budaya global, tak peduli positif atau negatif. Sementara itu bagi mereka yang buta atau tak peduli terhadap teknologi informatika ini akan menjadi terisolir dan eksklusif, termasuk juga budaya mereka. Dalam kaitan dengan hal di atas, klaim Islam sebagai agama universal, memiliki arti bahwa dinullah ini siap menghadapi pergumulan budaya ini , dan sekaligus bersedia mengambil budaya global mana saja yang lebih prospektif bagi universalisasi dirinya, dan melepaskan bagian relatif budaya dirinya yang lokal tipikal, dengan catatan bahwa kebersediaan ini harus tetap berada dalam standar kebenaran mayor yang berupa ketakwaan kepada Allah. Sedangkan jika budaya lokal tipikal yang dimiliki lebih dekat dengan standar ketakwaan dibanding budaya global atau budaya lokal yang bukan milik Islam, maka untuk memenangkan pergumulan budaya-budaya tersebut, dunia Islam harus merebut penguasaan terhadap teknologi informatika sebagai media pemberi amunisi dalam proses pergumulan tersebut. Jika tidak, maka berbagai budaya baik lokal maupun global yang bukan milik Islam itu akan menari-nari di atas puing-puing budaya Islam. Tentu saja, jika pergumulan itu dimenangkan oleh Islam, maka budaya-budayanya sekalipun asalnya adalah lokal, akan menjadi budaya global dan pengaruhnya amat luas, melampaui wilayah-wilayah dunia Islam sendiri, sekaligus merupakan bagian universalisasi kerahmatan dari agama ini. Sekalipun akhirnya dunia ini akan menjadi sebuah kampung yang sangat sempit berkat kemajuan teknologi – terutama informatika – , tetapi akan tetap ada varian budaya lokal-global, yang bagi Islam - dalam tataran esensial, bukan metodologis - bukanlah merupakan problem utama. Problem utamanya justru terletak pada proses islamisasi varian-varian budaya tersebut. Jika islamisasi budaya-budaya ini berhasil maka akan memperkaya dan memperkokoh, sekaligus akan mewujudkan varian-varian bangunan Islam itu sendiri, sehingga nuansa-nuansanya menjadi sangat plural.. Budaya lokal yang diakomodir yang dalam banyak hal dilakukan setelah melalui proses Islamisasi, adalah budaya Arab. Hal ini tidak memerlukan penjelasan yang rumit, karena agama ini lahir dan berkembang pada awalnya mengambil wilayah di tanah Arab. Sekalipun demikian, pemeluk agama ini sangat cerdas, dapat membedakan mana bagian relatif dari bangunan Islam ini, dan mana yang esensi. Budaya orang Arab menjadikan kurma sebagai makanan pokok pada masa Nabi saw, yang oleh karena itu zakat fithri dilakukan dengan makanan ini, tidak serta merta dipahami bahwa di kawasan mana pun zakat tersebut harus ditunaikan dengan memberikan makanan yang sama yaitu kurma. Ini tentu saja juga berlaku terhadap seluruh budaya yang lokal tipikal Arab tersebut; dengan tetap memperhatikan dan menerapkan tuntutan metodologis yang telah dirumuskan oleh para ulama dengan sangat cerdas sekali. E. Islamisasi Budaya Islamisasi terhadap budaya merupakan bagian penting dari jihad Islam, karena pada prinsipnya lahirnya budaya-budaya yang berlawanan dan akan menghancurkan keterhormatan manusia selalu dibidani oleh hawa nafsu yang senantiasa ingin mendominasi wilayah eksistensial mereka dan sekaligus cenderung menjerumuskan ke lembah kenistaan. Islamisasi budaya, dimulai oleh agama ini pada wilayah yang amat krusial bagi masa depan umat manusia, yaitu islamisasi terhadap ilmu pengetahuan dengan cara memberikan ruh tauhid melalui lima ayat pertama pada surat al-‘Alaq. Dalam tataran ontologi, ayat tersebut mengajarkan bahwa Allah adalah sumber ilmu pengetahuan, dalam dataran epitemologi manusia diajarkan agar proses pembacaan dilakukan dengan menghadirkan kesadaran teologis bismi rabbik. Sementara itu pada wilayah aksiologi, ayat tersebut mengisyaratkan agar penggunaan ilmu mampu memproses in put yang bernilai rendah nilai menjadi out put yang bernilai plus serta harus selaras dengan kemuliaan yang diberikan Allah kepada umat manusia itu sendiri. Selanjutnya Islam bergerak melakukan berbagai proses demitosisasi , terhadap keseluruhan institusi eksistensial manusia, sehingga terwujud bangunan tauhid yang kokoh, sekaligus merentas kemudahan bagi jalan ilmu pengetahuan yang memang selalu berseberangan dengan mitos-mitos. Misalnya, terhadap mitos adanya dewa-dewa yang dianggap sebagai tuhan-tuhan, demetosisasi dilakukan dengan mengikishabis dimensi ketuhanan dalam dewa-dewa tersebut, kemudian Islam mengintrodusir malaikat, sebagai makhluk yang sama sekali tidak memiliki dimensi ketuhanan, sekaligus sebagai hamba, dan utusanNya. Tentu saja tidak pula dapat dilewatkan, bahwa Islam sangat menekankan perlunya tetap menjaga kemurnian peribadatan khusus sebagaimana telah dicontohkan pelaksanaannya oleh Nabi saw. sendiri. Dalam hubungannya dengan hal ini, Islam memberikan garis batas yang amat keras antara yang sunnah dan yang bid’ah, dalam arti menutup rapat-rapat segala bentuk pembaharuan terhadapnya sebagai hasil rekayasa dan sekaligus menjadi bagian dari budaya manusia. Budaya demikian, adalah budaya bid’iy dlalaliy, bukan sunniy Islamiy. Dengan kata lain Islamisasi dalam kaitannya dengan hal ini adalah berupa pemancangan tembok pembatas setegas-tegasnya sehingga budaya tidak dapat melakukan penetrasi terhadap keberadaan ibadah khusus tersebut. Perkecualian terhadap hal ini tentu ada, yaitu sepanjang hanya mengenai aspek-aspek teknikal semata - misalnya penggunaan sound system dalam ibadah shalat - adalah dibolehkan, karena ini termasuk wilayah mashlahah mursalah, bukan kawasan bid’ah. F. Penutup Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa Islam memiliki pandangan optimistis positif terhadap manusia, dalam arti manusia dipandang mampu menciptakan budaya yang baik, karena potensi-potensi yang dimilikinya, sejalan dengan fithrahnya, serta dilengkapi dengan tuntunan Islam sendiri. Tentu saja perkecualian tetap ada, yaitu ketika terjadi kegagalan mengintegrasikan ketiga tiganya dengan baik, yang oleh karena itu disamping ada budaya-budaya yang positif, juga ada yang negatif. Secara metodologis, Islam telah berhasil merumuskan paradigma-paradigmanya untuk merespon, baik dalam arti menerima maupun menegasikan berbagai budaya lokal dan global. Dengan menerapkan paradigma-paradigma metodologis tersebut, menjadikan Islam kritis, tetapi tidak apriori menolak akomodasi terhadap berbagai budaya baik lokal maupun global, dan dengan cara ini Islam menjadi bernuansa plural, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip utamanya menjaga kemurnian tauhid dan peribadatan khashshahnya. Wa Allah A’lam bi al-Shawab!
Malang, 17 Juli 2004.

1 komentar:

kacyochoa mengatakan...

CASINOS ONLINE MEGA DRIVE BANDING, CODES, - JTM Hub
The Sega Megadrive Flashback 당진 출장안마 console is a fantastic addition to the retro gaming 목포 출장마사지 library of retro consoles that 성남 출장마사지 we're 세종특별자치 출장샵 Sega Master System, Game Gear, Master System, 목포 출장마사지