Jumat, 30 Mei 2008

Transplantasi Dalam Tinjauan Hukum Islam

TRANSPLANTASI DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM·

Oleh: Dr. M. Sa’ad Ibrahim, M.A.··



Bismillahirrahmanirrahim.
1. Pendahuluan
Akselerasi perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini, memiliki multi implikasi yang sangat luas. Salah satu implikasinya ialah perlunya dirumuskan pandangan Islam tentang hal tersebut. Demikian ini dimaksudkan agar orang mendapatkan pedoman agamis dalam memberikan respon terhadap implikasi ilmu dan teknologi itu.
Salah satu hasil akselerasi perkembangan tersebut ialah ditemukannya teknologi transplantasi (Demikhov, 1962:1-28; Largiarder, 1970:1-11; Najarian dan Simon, 1972:3-23). Transplantasi ialah pengambilan dan penempelan organ, jaringan, atau sel, dari satu tempat ke tempat lain(Largiarder, 1970:14; Ramali dan Pamuncak, 1982:216; I’shom, 1980:7). Jika pemindahan itu masih berada pada tubuh yang satu, dalam arti donor dan resipient adalah satu individu, disebut autotransplantasi. Jika pemindahan tersebut ke tubuh yang lain, dan sama-sama manusia, disebut homotransplantasi, jika transplantnya berasal dari bukan manusia, disebut heterotransplantasi (Largiarder, 1970:14-15; I’shom, 1980:7). Disebut living donor, jika obyek pengambilan transplant dari makhluk hidup, dinamakan cadaver donor, jika berasal dari mayat (I’shom, 1980:12). Transplantasi antara lain memiliki fungsi sebagai pengobatan (terpeutik), optik, dan kosmetik atau tektonik – memperbaiki bentuk (Gunawan, 1980:23; Salim, 1969:70). Sebagai pengobatan, adakalanya dalam skala emergensi, yang jika tidak dilakukan, berpeluang besar berakhir dengan kematian. Ada kalanya, tidak sampai seperti itu, tetapi jika tidak dilakukan akan berakibat penderitaan yang berkepanjangan (Rahman, 1980:33). Untuk fungsi optik dimaksudkan sebagai upaya optimalisasi penglihatan (Salim, 1969:70). Sedangkan untuk fungsi kosmetik, dimaksudkan agar, tampilan orang, lebih baik daripada tanpa transplantasi. Untuk yang terakhir ini, sering disebut bedah plastik. Hanya untuk bedah plastik, demi kepentingan estetika,kadang dilakukan dengan membuang bagian tertentu dari jaringan tubuh, bukan kemudian ditempelkan ke tempat lain.
Makalah sederhana ini, ditulis untuk memberikan jawaban terhadap persoalan, apakah transplantasi itu absah menurut pandangan Islam. Tentu saja dengan harapan makalah tersebut menjadi bahan kajian pada pertemuan ini.

2. Transplantasi Skala Emergensi
Dalam situasi emergensi berlaku kaidah (al-Suyuthiy.1399 H:83; Ibn Nujaim. 1400 H: 85; dan al-Buwrnuw, 1983:143 ):
الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ
Kaidah ini dibangun atas berbagai nash, antara lain al-Quran (Surat al-Baqarah Ayat 173.
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
Dengan demikian, transplantasi skala emergensi ini, dibolehkan, Bahkan dalam kaitannya dengan maqashid al-syari’ah, memelihara nyawa adalah prioritas kedua dari lima hal, memelihara agama, nyawa, akal, farj, dan harta. Oleh karena itu, tindakan itu wajib dilakukan, jika hal tersebut merupakan satu-satunya jalan yang memiliki peluang besar untuk mengatasi situasi emergensi itu. Akan tetapi, karena tindakan transplantasi ini juga melibatkan pihak donor, dengan cara melukainya untuk mengambil transplant, yang pada dasarnya dilarang, maka hukum wajib tadi berubah menjadi mubah. Sementara itu, larangan melukai tersebut, dengan menggunakan manhaj istihsan, pengambilan transplant tersebut dibolehkan dengan catatan tidak mengakibatkan berkurangnya kualitas hidup yang memadai bagi donor.
Dalam hal ini, jika transplant diambil dari cadaver donor, timbul masalah, sebab memecahkan tulang orang yang mati, sama (dosanya) dengan memecahkan tulang orang yang hidup, demikian menurut hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Aisyah dan juga dari Ummu Salamah berikut.

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ الدَّرَاوَرْدِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا سَعْدُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ أَخْبَرَنِي أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَمْعَةَ عَنْ أُمِّهِ عَنْ أَمِّ سَلَمَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِ عَظْمِ الْحَيِّ فِي الْإِثْمِ


Hanya kemudian orang harus mempertimbangkan bahwa konteks hadits itu terkait dengan orang yang menggali kuburan, kemudian mendapatkan tulang belulang mayat, kemudian mematah-matahkan sekedar iseng, tanpa tujuan. Oleh karena itu, dengan memakai manhaj al-istihsan, dinyatakan bahwa menggunakan transplant dari cadaver donor untuk transplantasi skala emergensi ini, dibolehkan.
Sementara itu jika transplant itu berasal dari orang hidup, maka baru diperkenankan jika pengambilannya dan akibat sesudahnya tidak membahayakan nyawanya, atau menyengsarakan hidupnya. Kaidah tentang ini berbunyi (al-Suyuthiy.1399 H:86; Ibn Nujaim. 1400 H: 87; dan al-Buwrnuw, 1983:82 ):
الضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ
Kaidah ini diambil dari nash , antara lain hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh al-Hakim, la dlarara wa la dlirar.
Jika transplantasi tersebut tergolong heterotransplantasi, maka sekalipun transplantnya berasal dari jantung babi, maka tetap diperbolehkan. Dasar yang dipakai untuk natijah hukum ini, ialah adanya situasi emergensi tersebut, membolehkan melanggar nash yang melarangnya.

3. Tansplantasi Skala Setingkat di Bawah Emergensi
Dalam khazanah hukum Islam, situasi setingkat di bawah emergensi ini, dikenal dengan sebutan hajiy (need) yang dalam hal ini berlaku kaidah (al-Suyuthiy.1399.,84; Ibn Nujaim, 1400 H:. 86; dan al-Buwrnuw, 1983:149 ): al-hajah tanzilu manzilah al-dlarurah. Dengan demikian natijah hukum yang ada pada situasi emergensi, berlaku juga terhadap keadaan setingkat di bawahnya yaitu, hajiy. Artinya transplantasi boleh dilakukan dalam kondisi, jika tidak dilakukan diduga kuat akan berakibat penderitaan yang berkepanjangan. Misalnya, terhadap orang yang sumbing, transplantasi diperbolehkan. Dalam hal ini, jalan yang aman ialah dengan mengambil transplant dari diri sendiri, yang disebut autotransplantasi.

4. Transplantasi Skala Dua Tingkat di Bawah Emergensi
Situasi tingkat ini disebut tahsiniy. Dalam hal ini, transplantasi tidak diperkenankan, misalnya memancungkan hidung, memperbesar payudara. Dasar yang dipergunakan ialah qiyas terhadap pencukuran alis, sebagaimana dilarang oleh hadits riwayat al-Bukhariy berikut:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ مَا لِي لَا أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي كِتَابِ اللَّهِ

Sekalipun demikian, untuk kasus seperti yang terdapat pada acara televisi bertajuk Swan, suatu acara yang menampilkan semacam bedah rumah, yakni mengubahnya menjadi lebih baik, tetapi yang diubah ialah bagian tertentu dari tubuh wanita melalui bedah plastik, dengan maksud demi terwujudnya kerukunan sebuah rumah tangga, jika manhaj yang dipergunakan untuk menentukan hukumnya adalah istihsan, maka hal tersebut diperbolehkan, karena adanya alasan yang kuat untuk itu.

5. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa transplantasi pada tingkat emergensi (dlaruriy), dan satu tingkat dibawahnya (hajiy), diperbolehkan, sedang untuk dua tingkat di bawahnya (tahsiniy) tidak diperkenankan, kecuali jika ada alasan yang kuat, seperti demi menjaga keutuhan rumah tangga .
Allah A’lam bi al-Shawab.

Malang, 29 Mei 2008.


Daftar Pustaka

al-Quran al-Karim.
Bukharbu ’Abdillah Muhammad bin Isma’il al-, Tanpa Tahun. Shahih al-Bukhariy. Tanpa Tempat: al-Sya’b.
Buwrnuw, Muhammad Shidqiy bin Ahmad al-. 1983, al-Wajiz fi Idlah Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kulliyyah. Riyadl : Mu’assasah al-Risalah.
Demikhov, V.P. 1962. Experimental Transplantation of Vital Organ, New York: Consultant Bureau.
Gunawan. 1979. “Persoalan Pencangkokan Cornea”, dalam Keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah ke-21 di Klaten. 1980, Bayi Tabung dan Pencangkokan dalam Sorotan Hukum Islam. Yogyakarta: Persatuan.
Hakim, al-. 1969. al-Mustadrak, Riyadl: al-Maktabah al-Mishriyyah al-Haditsah.
I’shom, H. Baried. 1979. ”Dasar Pengertian Mengenai Transplantasi” dalam Keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah ke-21 di Klaten. 1980, Bayi Tabung dan Pencangkokan dalam Sorotan Hukum Islam. Yogyakarta: Persatuan.
Largiarder, Felix (Ed.). 1970. Organ Transplantation. Zurich: George Thieme Verlag Stutgart.
Majah, Muhammad bin Yazid Ibn. Tanpa Tahun. Sunan Ibn Majah. Tanpa Tempat: al-babiy al-Halabiy.
Nujaym, Zainuddin bin Ibrahim, Ibn. 1400 H. Al-Asybah wa al-Nadhair. Bairut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah.
Rahman, Asymuni Abdur. Tanpa Tahun. ”Tansplantasi Dipandang dari Segi Hukum Islam” dalam Keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah ke-21 di Klaten. 1980, Bayi Tabung dan Pencangkokan dalam Sorotan Hukum Islam. Yogyakarta: Persatuan.
Najarian, John S. and Richard L. Simon (Ed.). 1979. Transplantation. Philadelphia: LEA and Febiger.
Salim, I. 1969. “Segi-segi Transplantasi Cornea” dalam Majalah Kedokteran Indonesia. Tanpa Nomor (19 Maret, Tanpa Tahun Penerbitan). Jakarta.
Suyuthiy, Jalal al-Din ”Abd al-Rahman bin Abi Bakr al. 1399 H. Al-Asybah wa al-Nadhair. Bairut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah.

·Makalah disampaikan dalam Kajian Dua Bulanan Oleh Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, 31 Mei 2008 di Surabaya.
··Penulis adalah Anggota PWM Jawa Timur Kordinator Tarjih dan Tabligh, dan Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, tinggal di Vila Bukit Sengkaling AF 13 Landungsari Dau Kab. Malang, Tilp. 0341 532215, HP. 08123 385138.

Tidak ada komentar: