Jumat, 30 Mei 2008

TAJDID PEMIKIRAN HUKUM ISLAM: PROYEKSI MUHAMMADIYAH MASA DEPAN

TAJDID PEMIKIRAN HUKUM ISLAM: PROYEKSI MUHAMMADIYAH MASA DEPAN
Oleh: Dr. M. Sa’ad Ibrahim, M.A.
Bismillahirrahmanirrahim.
A. Pendahuluan Sebagai sebuah institusi besar Islam, Muhammadiyah mengemban tugas menjadikan agama ini, - termasuk juga hukum-hukumnya - senantiasa eksis dalam berbagai perubahan kehidupan, apa pun bentuk perubahan itu. Untuk melaksanakan tugas tersebut, di samping upaya pemurnian, juga pembaharuan harus tetap menjadi agenda utama gerak organisasi ini. Dengan melakukan dua agenda ini, Muhammadiyah menjadikan Islam tidak kehilangan cetak birunya, sekaligus menghindarkannya teralienasi dari perubahan kehidupan yang terus menerus terjadi. Tentu saja dalam hal ini perlu adanya pemilahan secara cerdas terhadap wilayah mana yang harus dilakukan pemurnian, dan aspek mana yang mesti dilakukan pembaharuan. Terhadap hukum Islam bidang ibadah, pemurnian dilakukan dengan cara membersihkan dari berbagai rekayasa baru, sehingga menampakkan dirinya semirip mungkin dengan tuntunan yang dipraktekkan oleh Nabi saw. Dalam bidang ini; pembaharuan dilakukan dengan menggali hikmah-hikmahnya, melengkapi reason d’tre eksistensialnya melalui pemikiran filofofis dan ilmiah. Sedang untuk bidang di luar ibadah, merupakan wilayah yang amat luas untuk senantiasa diperbaharui sesuai dengan perubahan yang terjadi, yang tentu saja dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip utamanya. Bagaimana pembaharuan tersebut dilakukan, makalah ini berusaha mengupasnya. B. Hukum Islam dan Varian-variannya Hukum Islam ialah hukum yang berdasarkan al-Quran dan atau Hadits Nabi saw, baik langsung maupun tidak. Dikatakan langsung jika proses penggaliannya tidak memerlukan ijtihad, karena secara terang telah disebut dalam kedua nash tersebut. Disebut tidak langsung, jika istinbathnya memerlukan ijtihad. Hukum Islam meliputi: 1. Syari’ah 2. Fiqh (hukum praksis yang dinisbatkan pada syari’ah) 3. Fatwa (hukum yang disarankan untuk digunakan oleh pemohon fatwa) 4. Peraturan produk institusi Islam 5. Pranata hukum yang berlaku di masyarakat Islam. Aspek metodologis dari hukum Islam, berupa ushul fiqh dan qawaid fiqhiyyah, yang dalam perkembangannya berbagai teori yang dihasilkan ilmu-ilmu sosial juga dipergunakan. Sementara itu cakupan material hukum Islam meliputi: 1. al-Ibadah 2. al-Muamalah al-Madaniyah 3. al-Ahwal al-Syakhshiyyah (al-Munakahat dan al-Mawarits) 4. al-Jinayah 5. Ahkam al-Qadla` 6. al-Ahkam al-Maliyyah wa al-Iqtishadiyyah. 7. al-Ahkam al-Siyasiyyah 8. al-Ahkam al-Dawliyyah. C. Tajdid Pemikiran di Bidang Syari’ah Seperti telah dikemukakan di depan terhadap hukum Islam kategori syari’ah, pembaharuan terbatas pada upaya melengkapi reason d’tre eksistensialnya semata dengan cara menggali hikmah-hikmahnya dan memberikan landasan filosofis dan ilmiah. Dengan upaya demikian, keyakinan terhadap kebenarannya tidak semata-mata intuitif imani, tetapi juga filosofis ilmiah. Selain demikian, upaya mengundangkan syari’at, sebagai hukum positif di Indonesia, harus juga menjadi agenda pembaharuan ke depan yang mesti diusahakan oleh Muhammadiyah, karena dalam banyak hal pelaksanaan syari’at memerlukan kekuasaan negara, sekadar contoh, eksekusi hukuman qishash jelas-jelas harus dilakukan oleh negara. Sedang bidang syari’at yang tidak memberikan hukuman duniawi, seperti meninggalkan puasa ramadlan, jika kemaslahatan menuntut adanya sanksi demikian, maka negara dapat memberikan hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang dibuat dan ditentukan kadarnya oleh negara, di luar ketentuan nash sendiri. Beberapa bagian dari syari’at ini telah menjadi hukum positif di Indonesia yang kemudian dapat dijadikan preseden bagi bagian yang lainnya. Untik sekadar menyebut, undang-undang tentang zakat, waqaf, dan bahkan dalam bentuk kompilasi hukum Islam, telah menjadi hukum positif. Tentu saja untuk tidak menimbulkan kecemburuan di kalangan non muslim, perlu adanya ruang yang sama bagi hukum agama mereka menjadi hukum positif di Indonesia, yang tentu saja keberlakuaannya terbatas bagi mereka, sebagaimana keterbatasan keberlakuan syari’at Islam bagi kaum muslimin. D. Tajdid Pemikian di Bidang Fiqh Berbeda dengan syari’at, fiqh adalah pemikiran manusia di bidang hukum praksis dengan menisbatkan pada syari’at. Oleh karena itu kadang kala penisbatannya tepat, kadang kala tidak. Sekalipun demikian, karena upaya tersebut memerlukan pencurahan secara optimal segala kemampuan intelektual, maka apa pun hasilnya tetap dihargai oleh Islam. Tentu saja penghargaan itu tidak dimaksudkan untuk memberi legitimasi absolut terhadap produk-produk yang dihasilkannya; dalam arti mengakui keabsolutan kebenaran yang di kandung di dalamnya, baik – tentu saja - bagi penisbatan yang tidak tepat pada syari’at, maupun yang tepat. Untuk penisbatan yang tepat pada syari’at, tidak juga diberikan legalitas absolut, karena bagaimana pun pada produk tersebut masih menyisakan adanya relatifitas kebenaran di dalamnya. Hal ini disebabkan masih terbukanya ruang ketipikalan produk itu sendiri; sehingga tidak menghabiskan semua wilayah keberlakuannya. Dalam tataran metodologis hal tersebut dirumuskan melalui kaidah: taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal – perubahan hukum itu sejalan dengan perubahan kekinian, kedisinian, dan keadaan. Formulasi kaidah seperti ini, sekaligus memberikan legitimasi metodologis bagi upaya pembaharuan fiqh secara berkelanjutan, sesuai dengan keberlanjutan perubahan itu sendiri. Pembaharuan fiqh dilakukan dengan menilai secara kritis produk-produk masa lampaunya, ketika akan diaplikasikan dalam sebuah wilayah baru. Jika produk masa lampau ini masih tetap mendukung moral ideal sebuah tatanan hukum yang islami (adil dan mashlahah bagi kehidupan fenomenal sekarang ini dan transsendental nanti), maka sudah semestinya keberlakuannya tetap harus dipertahankan, sekaligus legal tipikalnya tidak perlu mengganggu psikhis dan wawasan intelektual penggunanya hanya karena sebagai produk klasik. Sebaliknya jika produk masa lampau itu tidak lagi mengabdi pada moral idealnya, maka pembaharuan terhadapnya merupakan sebuah keniscayaan. Pembaharuan terhadap pengkajian fiqh juga seharusnya menjadi agenda Muhammadiyah, sehingga produk yang dihasilkannya mencerminkan wajah intelektual filosofis, bahkan ilmiah, di samping tentu saja harus tetap berada dalam bingkai ketransendenan eksistensial nash. Pembaharuan juga harus diartikan sebagai penggarapan dan pengembangan terhadap pemecahan persoalan-persoalan kontemporer, terutama yang disebabkan oleh akselerasi sain dan teknologi, dengan memanfaatkan teori-teori ilmu pengetahuan sebagai penyempurna ushul fiqh dan qawaid fiqhiyyah. Penampaan fiqh sebagai pranata eksoterik Islam harus diperbaharui dengan meletakkan kembali pada bingkai esoterik transcendental teologis sufisnya. Dengan demikian fiqh tidak lagi dirasakan sebagai pranata yang kering lagi rigid, tetapi sekalipun masih tetap lugas sebagai watak dasar karakteristik kehukumannya, namun terasa sejuk dan memikat. Ini berarti bahwa dialog antara fiqh dan berbagai disiplin di luarnya, - khususnya yang merepresentasikan aspek esoteric transcendental – harus selalu dilakukan dalam upaya membangun fiqh integratif. Keanekaragaman tawaran fiqh juga harus tetap dipelihara dan terus dikembangkan, sebagai upaya antisipatif ketersediaan alternatif bagi pemecahan masalah secara kontekstual. Keragaman itu juga harus diperkaya dengan upaya menggarirahkan kembali kajian fiqh hipotetis (fiqh taqdiriy), yaitu fiqh yang membahas peristiwa-peristiwa imajinatif, yang seringkali di kemudian hari - terutama berkat akselerasi saint dan teknologi - akhirnya benar-benar terjadi. Pembaharuan juga harus ditujukan terhadap pola pandang pada fiqh, yang sering kali dinyatakan dalam nada minor sebagai fiqh sentris, padahal ia merupakan koleksi hukum syar’iy tentang semua tindak praksis mukallaf yang diistinbathkan dari dalil-dalilnya secara rinci. Lontaran bernada minor itu hampir dapat dipastikan keluar dari lisan mereka yang minus pemahaman terhadap kekayaan khazanah fiqh yang melebihi kekayaan bidang-bidang lain dalam ruang lingkup disiplin ilmu-ilmu keislaman. Kekayaan khazanah ini dibangun di atas landasan metodologis yang amat mapan, yang telah dikembangkan dan merupakan akumulasi upaya yang amat serius dari para ahli ushul dalam kurun waktu berabad-abad yang lampau. Ini sama sekali tidak disadari dan tidak dimengerti oleh mereka yang dengan sinis memandang fiqh dengan sebelah mata. E. Tajdid Pemikiran di Bidang Fatwa Berbeda dengan fiqh sebagai aktifitas yang kreatif, dinamis, faktual, dan imajinatif, fatwa memiliki tata kerja yang bersifat responsif, pasif, dan faktual semata. Dengan kata lain institusi fatwa bergerak jika ada permohonan, dan terbatas pada pemecahan masalah faktual, bukan imajinatif. Sekalipun demikian, lembaga ini mempunyai kelebihan di banding dengan fiqh, yaitu senantiasa dalam ranah dialogis dengan masyarakat, sebagai pihak yang memerlukan advis hukum yang tidak mengikat bagi mereka, sehingga jika akhirnya mereka menerimanya, maka semata-mata atas dasar kerelaan, bukan keterpaksaan seperti andaikata mereka menyelesaikan di pengadilan. Seperti diketahui bahwa Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, mempunyai fungsi antara lain sebagai institusi fatwa, yang masih jarang dimanfaatkan oleh masyarakat, termasuk juga oleh warga Muhammadiyah sendiri. Oleh karena itu tampaknya fungsi tersebut harus disosialisasikan dengan baik, di samping tentu saja majlis ini harus menata diri secara optimal sehingga memiliki kelayakan untuk memberikan fatwa hukum. Tentu saja fungsi tersebut dapat pula diperankan oleh institusi pendidikan hukum Islam, terutama pendidikan tingginya. Idealnya lagi jika fungsi tersebut juga diperankan oleh jajaran ta’mir masjid dan mushalla yang dikelola oleh Muhammadiyah, tetapi tentu saja harus disiapkan dengan sebaik-baiknya, sehingga fatwanya tidak sesat dan menyesatkan masyarakat yang memerlukannya. Ada baiknya juga dipikirkan untuk membuka layanan fatwa yang dapat diakses setiap saat dengan memanfaatkan teknologi informatika, sehingga jangkauannya tidak lagi lokal dan nasional bahkan global. Mengenai institusi fatwa ini, Muhammadiyah sebaiknya mendesak atau setidaknya menyarankan kepada pemerintah agar juga mengambil peran yang cukup, terutama melalui Departemen Agama, sebagai bagian layanan keagamaan kepada rakyat. F. Tajdid Pemikiran di Bidang Peraturan Produk Institusi Islam Logikanya segala peraturan yang dikeluarkan oleh institusi Islam tidak boleh berlawanan dengan Islam itu sendiri, termasuk peraturan hukum. Hal ini juga berlaku bagi Muhammadiyah sebagai salah satu institusi besar Islam di Indonesia. Oleh karena Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam salah satu fungsinya adalah memecahkan masalah-masalah hukum Islam, maka segala peraturan termasuk juga kebijakan yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah mestinya melalui mekanisme majlis ini. Ini semakin menjadi amat penting ketika organisasi ini, tidak lagi dipimpin oleh mereka yang memiliki pemahaman yang cukup terhadap hukum Islam. Dalam kaitan dengan ini, tampaknya kedudukan struktural majlis ini yang hanya sebagai pembantu pimpinan Muhammadiyah, jelas tidak memberi otoritas untuk mengontrol peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan. Bahkan keputusan majlis ini pun, pentanfidzannya merupakan otoritas pimpinan Muhammadiyah, bukan berada pada majlis ini sendiri. Ketimpangan seperti ini, harus menjadi perhatian serius, agar Muhammadiyah ke depan senantiasa berada dalam bingkai keislaman yang jelas. Bersamaan dengan upaya menempatkan dirinya dalam kejelasan bingkai keislaman, Muhammadiyah tampaknya perlu memperbaharui paradigma dalam memandang negara Republik Indonesia ini. Paradigma baru tersebut ialah bahwa sebagai sebuah institusi yang mayoritas penduduknya muslim, dan sampai sekarang pun selalu dipimpin oleh presiden yang muslim, maka secara esensial negeri ini adalah sepenuh-penuhnya institusi Islam. Atas dasar paradigma demikian, dan juga berlandaskan prinsip-prinsip demokrasi, selayaknya segala peraturan di negeri ini tidak boleh berlawanan dengan keyakinan dan hukum yang dimiliki oleh mereka yang mayoritas ini. Bahwa kemudian upaya ke arah itu ditempuh dengan cara yang bertahap, taktis dan cerdas, memang merupakan bagian dari siyasah kehukuman dalam Islam. Akan tetapi arah itu sendiri harus menjadi bagian integratif dari entitas keberagamaan kaum muslimin. Tentu saja dalam kaitan dengan ini, harus juga diberi ruang yang cukup bagi minoritas non muslim, dihargai dalam batas-batas kemanusiaan dan diberikan hak-hak mereka secara demokratis lagi berkeadilan, dan tidak boleh dizalimi sebagaimana dituntut oleh Islam itu sendiri., dan dalam waktu yang sama mereka juga mesti melakukan hal demikian terhadap umat Islam. Harus dikemukakan di sini, bahwa adanya preseden diundangkan sejumlah hukum Islam, seperti hukum perkawinan, peradilan, kewarisan, zakat, waqaf, termasuk juga kompilasi hukum Islam, bahkan perbankan syari’ah, jelas menjadi alasan yuridis untuk mengupayakan hal yang sama lebih optimal lagi. Dalam kaitan dengan hal ini, Muhammadiyah dituntut mengambil peran yang lebih aktif lagi dari pada sebelumnya. Dengan cara demikian, pada gilirannya nanti agama ini dapat benar-benar eksis sehingga terwujud BaldahThayyibah wa Rabb Ghafur. G. Tajdid Pemikiran di Bidang Pranata Hukum Masyarakat Islam Keberadaan masyarakat Islam di sebuah kawasan, harus juga berarti keberadaan pranata hukum Islam di dalamnya. Konsekuensi dari hal ini antara lain ialah perlunya pendidikan dan sosialisasi hukum Islam di masyarakat tersebut. Ini dimaksudkan agar menghasilkan masyarakat yang melek, sadar dan taat hukum. Dalam hal ini tampaknya perlu dikemukakan bahwa segala adat istiadat mereka juga merupakan bagian dari hukum Islam, melalui landasan metodologis bahwa al-‘adah muhakkamah – tradisi itu dipandang sebagai hukum. Tentu saja dalam hal ini diperlukan semacam islamisasi terhadap berbagai kultur tersebut. Untuk itu masyarakat Islam dituntut untuk dapat memilah-milah antara adat istiadat yang sesuai dan yang tidak dengan tuntunan agama mereka. Disamping itu, mereka dibebani untuk melakukan kreatifitas menciptakan tradisi-tradisi baru yang baik, dan menghindari penciptaan kebiasaan-kebiasaan baru yang buruk, sekaligus mengikis habis adat-istiadat yang tidak selaras dengan Islam. Penciptaan tradisi-tradisi baru ini, harus dilakukan dengan tetap menjaga batas-batas antara yang sunniy dan yang bid’iy, karena jika tidak, yang terjadi kemudian ialah hilangnya orisinalitas model peribadatan yang dicontohkan oleh Nabi saw. Pembaharuan dalam bidang ini juga ditujukan pada upaya mengubah pandangan masyarakat terhadap hukum negara, sebagai hukum yang mempunyai implikasi duniawi semata, sehingga ketaatan terhadapnya tidak lagi berdimensi teologis transendental. Sebagaimana dikemukakan di depan, oleh karena esensi negara ini merupakan institusi Islam, maka ketaatan terhadap hukum-hukumnya juga berdimensi keakhiratan, tidak duniawi semata. Tentu saja dalam hal ini ketaatan tidak boleh ditujukan terhadap produk-produk hukum negara yang jelas-jelas masih berlawanan dengan prinsip-prinsip Islam. Terhadap produk demikian, masyarakat Islam harus memberikan perhatian serius dengan memperjuangkan agar dilakukan pencabutan, baik melalui gerakan moral maupun politis. H. Penutup Masa depan Muhammadiyah akan ditentukan oleh masa lampau dan masa kininya. Jika dapat dibangun masa kininya dengan mengacu masa lampaunya yang kondusif bagi masa depan institusi Islam ini, maka masa depannya akan merupakan the Golden Age of Muhammadiyah History. Untuk itu upaya tajdid dalam segala bidang – termasuk juga di bidang pemikiran hukum Islam – harus menjadi agenda besar Muhammadiyah. Sekalipun demikian tajdid tidak semestinya kemudian menjadikan Muhammadiyah kehilangan identitas dirinya sebagai institusi yang mengidentifikasikan diri pada Nabi saw. Oleh karena itu disamping dilakukan upaya tajdid, juga pemurnian tetap harus dilakukan secara berkelanjutan. Semoga makalah ini memiliki manfaat, walaupun andaikata hanya sedikit. Wa Allah A’lam bi al-Shawab. Malang, 8 Oktober 2004.

Tidak ada komentar: