Jumat, 30 Mei 2008

STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN NILAI DALAM KURIKULUM 2004

STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN NILAI DALAM KURIKULUM 2004
(Telaah Dengan Pendekatan Islam)
Oleh: DR. M. Sa’ad Ibrahim, M.A.
Bismillahir Rahmanir Rahim
A. Pendahuluan Keprihatinan dunia pendidikan terhadap masa depan kehidupan umat manusia hampir menyeluruh ditunjukkan oleh institusi mulia ini. Hal ini terutama terkait dengan proses penanaman kesadaran pentingnya memelihara dan menjadikan nilai sebagai motor penggerak semua aktifitas dalam dunia pendidikan itu sendiri. Memang hampir dapat dipastikan bahwa semua tindakan sadar manusia selalu berbasis pada nilai yang dianutnya, tetapi mengingat nilai itu sendiri memiliki tidak hanya varian-varian, tapi juga tingkatan-tingkatan, maka dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi tingkatan nilai yang menjadi tolok ukur dan penggerak suatu tindakan sadar, maka semakin tinggi makna tindakan itu. Demikian pula sebaliknya. Dalam kehidupan yang mengglobal sekarang ini, terjadi arus besar dominasi nilai rendah terhadap nilai tinggi yang menimpa hampir seluruh dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali terhadap dunia pendidikan. Nilai-nilai yang profan mengalahkan nilai-nilai yang sakral, sebagai konsekuensi logis terjadinya sekularisasi besar-besaran termasuk terhadap dunia pendidikan itu sendiri. Bahkan sekularisasi itu juga tampak pada usulan UNESCO tentang empat pilar pendidikan di abad ke-21, yaitu: learning to know; learning to do; learning to be; and learning to live together. Upaya desekularisasi terhadap empat pilar pendidikan ini harus dilakukan dengan memberikan penegasan dan menjadikan sebagai pilar utama yaitu learning to be menjadi - antara lain, terutama - learning to be good God servant. Upaya demikian sekaligus berarti penyelarasan antara pilar-pilar tersebut dengan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (2004), yaitu: 1. Keimanan, Nilai dan Budi Pekerti Luhur; 2. Keseimbangan Etika, Logika, Estetika, dan Kinetika; 3. Penguatan Integrasi Nasional; 4. Kesamaan Memperoleh Kesempatan; 5. Abad Pengetahuan dan Teknologi Informasi; 6. Pengembangan Keterampilan Hidup; 7. Belajar Sepanjang Hayat; 8. Berpusat pada Anak dengan Penilaian yang Berkelanjutan dan Komprehensif; 9. Pendekatan Menyeluruh dan Kemitraan. Tanpa upaya desekularisasi terhadap pilar-pilar pendidikan yang diajukan UNESCO tersebut, prinsip keimanan tidak memiliki area dalam dunia pendidikan. Padahal arah utama keimanan tersebut adalah menjadikan manusia sebagai hamba baik Allah yang berimplikasi baik pula bagi lingkungan hidupnya secara menyeluruh. Persoalannya kemudian ialah bagaimana menemukan strategi pembelajaran yang berbasis pendidikan nilai seperti dituntut kurikulum berbasis kompetensi di atas, sehingga kondusif bagi masa depan umat manusia, terutama dalam kaitannya dengan dunia pendidikan. Persoalan inilah yang dikaji dalam makalah ini. B. Paradigma Teologis Hak-hak Anak Didik Paradigma tauhid yang merupakan esensi Islam, dirumuskan dalam kalimat La ilaha illallah. Paradigma ini mengandung konsekuensi vertikal dan horisontal. Konsekuensi pertama, berupa tuntutan agar jangan sekali-kali manusia menjadikan selain Allah sebagai Tuhan, termasuk manusia sendiri satu sama lain. Konsekuensi kedua, berupa kemerdekaan, kesetaraan, keadilan, dan kesaudaraan antar sesama. Ini berarti tidak boleh ada toleransi sama sekali terhadap tindakan-tindakan destruktif dan eksploitatif terhadap sesama, satu sama lain. Jika terjadi demikian, berarti tidak ada lagi kemerdekaan, kesetaraan dan kesaudaraan. Tindakan-tindakan demikian akan terhindarkan jika kewajiban dilaksanakan dengan baik dan hak sesama dihormati secara proporsional. Salah satu dari pemilik hak ini adalah anak didik. Pengabaian terhadap hak-hak anak didik, dalam arti tidak dilaksanakan kewajiban pendidik kepada anak didik, mengandung makna pensubordinasian yang selalu berarti memberikan keabsahan terhadap segala bentuk tindakan destruktif dan eksploitataif tersebut, yang jelas-jelas bertentangan dengan paradigma tauhid. Pengabaian tersebut, disamping karena kurang dipahaminya konsekuensi horisontal paradigma tauhid, juga tampaknya karena tuntutan penghormatan kepada pendidik yang diajarkan Islam kurang dapat diletakkan secara proporsional. Seringkali pendidik memahami secara ekstrem tuntutan penghormatan anak didik kepada mereka, yang berakibat pengabaian kewajiban itu sendiri, sehingga hak-hak anak didik kurang mendapat perhatian. Dalam surat al-Ikhlash , proklamasi paradigma tauhid, ditindaklanjuti dengan pernyataan bahwa Allah adalah al-Shamad, yakni Dzat yang kepadaNyalah seluruh hidup makhluk disandarkan. Terkandung makna di dalamnya, bahwa yang harus dituju dalam keseluruhan tindakan manusia adalah Allah. Demikian pula ketika pendidik melakukan kewajiban kependidikannya harus disandarkan kepada Allah, bukan misalnya digantungkan pada balasan yang akan diterima kelak dari anak didik mereka. Allah memerintahkan berbuat baik apa saja, bukan karena siapa-siapa, tetapi karena Allah telah berbuat baik kepada manusia. Dengan demikian, penyandaran diri kepada Allah semata merupakan bagian integral paradigma tauhid itu sendiri. C. Nilai-nilai Potensial Manusia dalam Kaitannya dengan Pendidikan Islam memandang manusia dengan pandangan optimistis, dalam arti bahwa karena manusia memiliki fithrah - esensi dasar - baik, maka manusia dipandang dapat mengatasi berbagai kecenderungan negatif dalam menempuh hidup fenomenalnya di dunia ini. Fithrah adalah sketsa Allah (Shibghah Allah) yang disaputkan kedalam bentangan kanvas rohani manusia sebelum hidup fenomenal mereka, yang berupa ikatan primordial kepada Allah sebagai Rabb manusia . Dengan sketsa ini manusia memiliki kecenderungan asasi pada nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan, sebagai implikasi akidah tauhid mereka yang ditanamkan pada masa transendental itu.. Akan tetapi bersamaan dengan itu pula bentangan kanvas rohani manusia juga mewarisi sketsa orang tua mereka secara psikhis genetik. Sketsa psikhis genetik ini, baik buruknya tergantung pada totalitas kebaikburukan orang tua mereka. Jika totalitas psikhis orang tua mereka baik, maka baik pula warisan psikhis genetik yang diturunkan kepada anak mereka, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi, baik sketsa Allah, maupun sketsa orang tua dalam diri anak masih bersifat potensial, maka keputusan aktualisasinya sepenuhnya berada pada wilayah free will anak itu sendiri. Hanya saja jika sketsa orang tua berupa kejahatan, maka anak tersebut akan rentan sekali terhadap pengaruh jahat lingkungannya. Akan tetapi ini tidak berarti, anak tersebut mesti tidak dapat mengatasi pengaruh lingkungan mereka, karena pada diri mereka masih tetap ada potensi sketsa Allah. Sebaliknya jika sketsa yang diwariskan orang tua mereka adalah baik, maka mudah sekali mereka menerima stimulan-stimulan kebaikan yang diberikan oleh lingkungan hidup mereka, karena pada diri mereka terdapat dua sketsa yang sama-sama baiknya, yaitu sketsa Allah dan sketsa orang tua mereka. Tentang pengaruh kekuatan sketsa orang tua, terdapat perbedaan antara bapak dan ibu. Pengaruh kekuatan sketsa ibu kepada anak lebih kuat dari pada bapak. Ingkarnya putra Nabi Nuh kepada Allah , adalah contoh tentang ini. Pengaruh sketsa psikis genetik yang baik sebagai seorang Nabi - a.s.- kepada putranya kalah dominan dibanding pengaruh kekufuran ibu. Berbeda dengan pewarisan genetika psikis, pada pewarisan genetika pisik, bapak lebih kuat dari pada ibu, misalnya penentu jenis kelamin anak justru terletak pada sperma bapak, bukan pada ovum ibu. Mengenai pengaruh kebaikan dan keburukan, juga terdapat perbedaan. Bapak lebih mudah mengajak anak pada keburukan, daripada mengajak pada kebaikan. Sedang ibu lebih mudah mengajak anak pada kebaikan, daripada mengajak pada keburukan. Inilah yang tersirat dalam hadits Nabi saw. : sorga itu terletak pada telapak kaki ibu. Kebalikannya adalah neraka itu terletak di telapak kaki bapak. D. Strategi Pembelajaran Berbasis Pendidikan Nilai Seperti telah dikemukakan bahwa tindakan-tindakan sadar manusia selalu dilatarbelakangi oleh adanya nilai-nilai yang dianutnya, tidak terkecuali tindakan anak didik. Tentu saja merupakan keinginan bersama para pendidik, agar nilai-nilai yang melatarbelakngi tindakan anak didik adalah nilai-nilai yang sesuai dengan tuntutan keimanan, disamping sesuai dengan kemulian harkat dan martabat manusia itu sendiri, baik sebagai individu, masyarakat, bahkan selaku sebuah bangsa. Oleh karena itu menjadi amat penting untuk menentukan strategi pembelajaran yang berbasis pada pendidikan nilai. Dalam kaitan dengan ini, pada prinsipnya seorang pendidik tidak dapat memberikan apa yang tidak dimiliki olehnya. Untuk itu, tentu saja pemihakan terhadap nilai-nilai luhur harus terlebih dahulu dilakukan oleh pendidik itu sendiri. Dalam perspektif Islam, besar dosa seseorang yang menyuruh suatu tindakan kebaikan, sementara ia mengabaikan untuk melaksanakan kebaikan itu sendiri. Dengan kata lain keteladanan menjadi amat dominan sebagai salah satu strategi dasar bagi proses pembelajaran. Bahkan kejernihan kepribadian pendidik juga amat mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran itu sendiri. Ibarat kaca yang bersih, cahaya yang dipancarkan padanya dapat menembus dan mengenai obyek di belakangnya. Demikian juga mestinya seorang pendidik, harus memiliki kejernihan hati dan pikiran, jika ia ingin proses pembelajaran yang dilakukan dapat berhasil secara optimal. Disamping itu, orientasi kependidikan yang dimiliki oleh seorang pendidik harus tertuju sebagai upaya melaksanakan tugas kekhalifahannya di bumi ini, sebagai suatu tugas mulia dari Allah swt, demi merealisasikan atribut teologis kemahatahuanNya dalam batas kapasitas manusiawi. Dengan demikian, proses pembelajaran akan memiliki dimensi teologis yang sakral. Dengan kata lain, penting untuk disadari bahwa pendidik adalah bagian dari qalam (pena) Tuhan, yang dengannya Ia mengajar manusia. Merujuk pada perlakuan Nabi Ibrahim terhadap Ismail ketika hendak melaksanakan perintah Allah berupa cobaan agar menyembelihnya, ia meminta pandangan sang anak, pada hal ketika itu Ismail masih kecil yang belum layak dimintai pandangan, maka dalam proses pembelajaranpun, anak didik harus ditempatkan sebagai subyek, bukan obyek, seperti sikap yang ditunjukkan oleh Ibrahim tersebut. Dengan demikian, proses pengenalan nilai-nilai transendental, harus berujung pada pilihan bebas yang dibangun atas dasar kesadaran anak didik sendiri. Pendidik hanya bertugas mengenalkan, menfasilitasi, dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pilihan dan pemihakan anak didik pada nilai-nilai transendental tersebut. Sekalipun demikian, upaya ini bukalah segala-galanya, karena anak didik bukanlah sebuah entitas kosong sebagimana diintrodusir oleh John Lock dengan tabularasanya. Pada diri anak didik telah berbaur sketsa kebaikan tranendental Ilahi dan sketsa kebaikburukan orangtuanya. Komposisi kedua sketsa ini juga memiliki pengaruh terhadap kondusifitas arah pilihan dan pemihakan tersebut. Tidak juga dapat dikesampingkan, pentingnya peran masyarakat dengan berbagai pranata sosialnya untuk senantiasa memelihara lingkungan yang kondusif bagi ketahanan nilai-nilai transendental dalam pergumulannya dengan nila-nilai profan yang melanda hampir segala sudut kehidupan yang mengglobal sekarang ini. Peran penting juga semestinya diambil oleh pemerintah, terutama melakukan filter terhadap nilai-nilai provan yang menampakkan diri dalam berbagai budaya rendah yang menurunkan martabat manusia, baik lokal maupun global yang melanda bangsa ini. Pihak legislatif tidak kalah pentingnya, untuk memiliki inisiatif menciptakan berbagai pranata hukum yang bertujuan menutup rapat-rapat segala celah yang dapat mengakses pada nilai-nilai rendah. Untuk lembaga yudikatif juga mestinya menjatuhkan hukuman yang memiliki dampak preventif optimal terhadap berbagai tindak kejahatan yang senantiasa dilatarbelakangi oleh motif-motif rendahan yang berlawanan dengan nilai luhur hidup bermasyarakat dan berbangsa secara terhormat. Jika semua pihak mengambil peran secara proaktif dan kreatif dalam upaya memenangkan nilai-nilai transendental dalam pergumulannya dengan nilai-nilai yang profan, maka agaknya mudah bagi para pendidik untuk melakukan proses pembelajaran yang berbasis pendidikan nilai ini, dalam rangka menyiapkan masa depan bangsa yang lebih prospektif. Demikian pula sebaliknya. E. Penutup Dari paparan di atas, disimpulkan sebagai berikut. Bahwa strategi pembelajaran berbasis pendidikan nilai harus mengacu pada paham tauhid yang memiliki implikasi baik vertikal maupun horisontal. Implikasi vertikal berupa sikap tegas menujukan segala bentuk peribadatan semata kepada Allah. Sedang implikasi horisontal berupa pandangan bahwa tidak dibenarkannya segala tindakan eksploitatif terhadap sesama, termasuk terhadap anak didik. Untuk itu dalam rangka mewujudkan strategi tersebut, disamping diperlukan membangun keteladanan, memelihara kejernihan hati dan pikiran, juga perlu adanya kesadaran bahwa banyak faktor yang turut memainkan peran terhadap keberhasilan atau kegagalan proses pembelajaran yang berbasis pendidikan nilai ini. Pendidik itu sendiri, orangtua anak didik, masyarakat, pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus secara bersama-sama melakukan upaya proaktif dan kreatif terhadap proses pembelajaran berbasis pendidikan nilai ini, terhadap upaya memenangkan nilai-nilai luhur transendental dalam pergumulan dengan nilai-nilai rendah yang profan. Keberhasilan upaya ini akan mengantarkan anak didik pada khususnya dan bangsa ini pada umumnya untuk menggapai masa depan yang prospektif. Demikian pula sebaliknya. Akhirnya, semoga makalah ini memberikan manfaat, walaupun andaikata sedikit terhadap upaya membangun dunia pendidikan dengan memberikan basis nilai transendental dalam hubungannya dengan seluruh proses pembelajaran anak didik. Malang, 1 Mei 2005.

Tidak ada komentar: