Jumat, 30 Mei 2008

ANALISIS MATERI DAN PEMBELAJARAN FIQH, AL-QUR`AN DAN AL-HADITS DI MADRASAH ALIYAH*

ANALISIS MATERI DAN PEMBELAJARAN FIQH, AL-QUR`AN DAN AL-HADITS DI MADRASAH ALIYAH*
Oleh Dr. M. Sa’ad Ibrahim, M.A.**
Bismillahir Rahmanir Rahim
A. Pendahuluan Dalam upaya memenuhi permintaan untuk menjadi salah satu nara sumber kegiatan Orientasi Pengembangan Kurikulum 2004 (KBK) Bagi Pengawas PAI SMA/K dan MA, diperoleh rujukan yang menyebutkan bahwa telah ditemukan berbagai persoalan dalam implementasi Kurikulum Pendidikan Agama Tahun 1994, yang antara lain: 1. Sarat dengan materi, sehingga menjadi beban bagi siswa maupun guru, dan tidak efektif; 2. Duplikasi materi antara satu unsure mata pelajaran dengan lainnya, dan dalam satu unsure mata pelajaran pada jenjang yang berbeda; 3. Materi yang substansi dan penting justru ada yang hilang; 4. Urutan mata pelajaran yang tumpang tindih baik antar jenjang kelas maupun antar jenjang pendidikan; 5. Tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dn teknologi, perkembangan masyarakat dan isu-isu kontemporer. Berdasarkan hal di atas, dipandang sudah waktunya untuk melakukan perubahan terhadap kurikulum tersebut demi pengembangan yang lebih baik Sebagian dari kurikulum tersebut adalah mengenai mata pelajaran fiqh, al-Qur`an dan al-Hadits, yang tentu saja tidak juga terlepas dari persoalan di atas. Dalam rangka upaya perubahan tersebut diperlukan kajian yang komprehensif, dengan harapan akan menghasilkan kurikulum yang lebih baik dari pada yang sudah ada sekarang ini. Makalah ini dimaksudkan untuk memberikan analisis bagi perubahan ke arah yang lebih baik tersebut, dengan harapan ada manfaatnya, walaupun andaikata sedikt. B. Deskripsi Singkat Fiqh Hukum Islam adalah hukum yang berdasarkan Quran dan atau Sunnah-Hadits Nabi saw. baik secara langsung maupun tidak. Secara langsung, jika hukum tadi dikemukakan dengan jelas oleh sumber tersebut, sehingga tidak memerlukan penggunakan manhaj al-istinbath seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Secara tidak lansung, jika hukum tersebut tidak disebut atau disebut dengan tidak jelas, sehingga memerlukan pemakaian manhaj tersebut yang dalam hal ini memerlukan pengerahan potensi intelektual secara optimal. Hukum Islam dapat ditemukan dalam kitab-kitab fiqh, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan institusi-institusi Islam, dan dalam pranata-pranata sosial masyarakat Islam. Fiqh merupakan salah satu khazanah intelektual Islam yang diperkirakan paling banyak mempengaruhi pola pikir dan prilaku masyarakat Islam. Substansi pengetahuan ini dibangun di atas landasan metodologis Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah dan di bawah pengaruh sosiokultural fuqaha yang bersangkutan. Penguasan terhadap pengetahuan fiqh ditujukan pada: Pertama, aspek the state of the art dari disiplin tersebut, yakni penguasaan pengetahuan tentang pembentukan dan keseluruhan perkembangan fiqh sampai sekarang. Kedua, analisis filosofisnya yang ditekankan pada cara berpikir keilmuan yang mendasari pengetahuan tersebut dengan pembahasan secara eksplisit mengenai postulat, asumsi dan prinsip yang mendasari fiqh. Ketiga, penguasaan mengidentifikasi masalah-masalah yang timbul di sekitar disiplin keilmuan fiqh tersebut. Bagian pertama meliputi legal exposition, dan legal history dari fiqh. Eksposisi hukum fiqh terdiri: al-ibadah, al-ahwal al-syakhshiyyah, al-mu’amalah al-madaniyyah, al-ahkam al-maliyyah wa al-iqtishadiyyah, al-’uqubah, al-murafa’ah, al-ahkam al-dusturiyyah, al-ahkam al-dawliyyah. Sejarah hukum fiqh atau -tepatnya- sejarah sosial hukum Islam tidak saja memaparkan secara kronologis mulai terbentuknya dan perkembangannya sampai sekarang, tetapi juga menganalisis pengaruh sosiokultural terhadap fiqh. Dalam kaitannya dengan ini, yang terpenting adalah refleksi kesejarah-sosialannya bagi pengembangan fiqh dewasa ini dan di masa depan. Bagian kedua mencakup kajian falsafahnya yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi fiqh. Bagian ketiga, menyangkut kemampuan menemukan dan mengidentifikasikan masalah-masalah fiqh, baik berkaitan dengan masa lampau, sekarang, dan yang akan datang. Dari segi metode yang dipakai, kajian fiqh mengenal tiga tipe. Pertama, dirasah al-fiqh ‘ala al-madzhab aw al-madzahib. Kedua, dirasah al-fiqh al-muqaran. Ketiga, dirasah al-masail al-fiqhiyyah al-haditsah. Tipe pertama, memaparkan dalil, istidlal, dan natijah hukum dari suatu madzhab atau madzhab-madzhab. Tipe kedua, memaparkan dalil, istidlal, dan natijah hukum dari madzhab-madzhab, dilanjutkan dengan paparan tentang persamaan, perbedaan, kekuatan dan kelemahan dalil dan istidlal masing-masing. Model ketiga, menentukan hukum kejadian baru masa kini terutama yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan pemakaian teknologi, dengan cara menggunakan manhaj al-istinbath. Ilmu fiqh biasanya didefinisikan sebagai pengetahuan tentang hukum-hukum syar’iy praksis yang didapat dari dalil-dalilnya secara rinci atau koleksi hukum-hukum syara’iy praksis yang diperoleh dari dalil-dalilnya secara rinci. Dalam aspek aliran, fiqh mengenal dua madzhab besar yaitu Syi’iy dan Sunniy. Syi’iy terbagi menjadi Zaidiy, Ja’fariy, Isma’iliy. Sedang Sunniy meliputi Malikiy, Hanafiy, Syafi’iy, Hanbaliy, dan lain-lainnya. Fiqh sebagai bagian dari hukum Islam, dibangun di atas asas-asas sebagai berikut: ‘nafy al-haraj, taqlil al-takalif, al-tadarruj, ri’ayah mashalih al-nas jami’an, iqamah-al-’adalah. Oleh karena fiqh itu dibangun -antara lain - di atas prinsip mashlahah, maka timbul pertanyaan, apakah mashlahah itu tetap, tidak pernah berubah. Jawabannya adalah jelas bahwa mashlahah itu bisa berubah-ubah karena perubahan sosial. Jawaban demikian adalah sangat sederhana, namun konsekwensinya terhadap teori mashlahah sangat besar. Misalnya, apakah nash-nash Quran atau Sunnah itu harus diaplikasikan seperti aplikasi pada masa Nabi saw. yang jelas-jelas pada waktu itu menimbulkan kemashlahatan bagi tegaknya tujuan-tujuan umum syara' yang disebut al-maqashid al-khamsah, yaitu terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, serta harta benda? Jika jawabannya adalah ya, berarti terdapat pengabaian terhadap prinsip bahwa kemashlahatan itu dapat berubah karena perubahan sosial. Sebaliknya jika jawabannya tidak, maka pada gilirannya agama akan kehilangan eksistensinya. Oleh karena itu perlu adanya pemilah-milahan, antara nash-nash yang harus diaplikasikan sebagaimana diaplikasikan pada masa Nabi saw. dan nash-nash yang aplikasinya memerlukan modifikasi baru sesuai dengan tuntutan perubahan sosial. Tentu saja hasil modifikasi tersebut harus tetap efektif dapat memelihara al-maqashid al-khamsah di atas. Dari apa yang telah dilakukan para ahli ushul ketika mereka mengkaji mashlahah tampak adanya kehati-hatian yang luar biasa untuk tidak jatuh pada sikap pengabaian terhadap syara'. Bahkan demikian ini juga tampak pada sikap Thufi yang memegangi metode takhshish dan bayan, tidak ta'thil dan iftiat ketika mendahulukan mashlahah daripada nash. Demikian pula kehati-hatian tersebut juga tampak, ketika ia membatasi aplikasi teori mashlahah hanya pada bidang mu'amalah dan adat saja, tidak pada bidang ibadah. Bahkan telaah yang dilakukan Hassan Hamid sampai pada kesimpulan bahwa nash yang diakui adanya kemungkinan berlawanan dengan mashlahah - yang kemudian diutamakan mashlahah daripada nash - tersebut adalah nash yang dhanniy. Adapun nash yang dari segala aspeknya adalah qath'iy, Thufi menolak terjadinya pertentangan dengan mashlahah, lebih-lebih lagi untuk mendahulukan mashlahah atas nash tersebut. Tentu saja kehati-hatian tersebut tampak lebih nyata lagi pada ahli-ahli ushul yang lain yang tidak seekstrem Thufi. Berkenaan dengan modifikasi aplikasi nash untuk mewujudkan kemashlahatan sesuai dengan tuntutan pemeliharaan al-maqashid al-khamsah dalam konteks kemoderenan dewasa ini, apa yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman patut memperoleh perhatian. Metode penafsiran Quran yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman dipergunakan berikut ini untuk mempersiapkan modifikasi di atas dengan beberapa penyesuaian. Pertama: Diperlukan pemahaman yang komprehensif historis terhadap nash-nash yang aplikasinya akan dimodifikasi untuk dapat melahirkan kemashlahatan dalam kontek kemoderenan. Kedua: Diperlukan upaya memilah-milah antara moral ideal nash dan legal spesifiknya. Ketiga: Memahami perubahan-perubahan sosial serta berbagai tuntutannya dalam kaitannya dengan kemoderenan. Keempat: Memegangi moral ideal nash tersebut, kemudian merumuskan legal spesifik baru dalam upaya melakukan modifikasi aplikasi nash untuk mewujudkan kemashlahatan sesuai dengan tuntutan pemeliharaan al-maqashid al-khamsah dalam kontek kemoderenan dewasa ini. Jika dibangun di atas prinsip seperti ini, fiqh akan mampu menghadirkan paradigma yang akomodatif terhadap perubahan-perubahan, dengan kata lain akan terwujud fiqh transformatif. Ini tidak berarti bahwa fiqh harus selalu transformatif, ada pula fiqh formatif, yaitu fiqh yang tidak akomodatif terhadap perubahan-perubahan. Fiqh jenis ini berkaitan dengan bidang ibadat pada umumnya. Fiqh formatif diperlukan untuk tetap terpeliharanya kemurnian hukum Islam, sedang fiqh transformatif diperlukan agar hukum tersebut tetap dapat eksis kapan dan di mana saja yakni tetap shalih li kull zaman wa makan. Ketika fiqh yang semestinya formatif dipandang transformatif, yang terjadi kemudian ialah masuknya ajaran-ajaran imitasi ke dalam Islam, atau tereduksinya ajaran-ajaran tersebut, sehingga lenyap kemurniannya. Sedang jika fiqh yang seharusnya transformatif diperlakukan sebagai fiqh formatif, terjadilah fosilisasi dan oleh karena itu fiqh menjadi stagnan. Fiqh haruslah tetap dikembangkan, baik yang transformatif maupun yang formatif. Kegagalan mengembangkan fiqh transformatif pada gilirannya akan menyebabkan fiqh tidak dapat eksis memberikan pedoman yang berguna bagi realitas kehidupan masyarakat, yang oleh karena itu akan out of date. Pengembangan fiqh formatif juga diperlukan. Akan tetapi hal itu bukan dimaksudkan untuk mengakomodasi perubahan-perubahan yang berakibat berubahnya hukum, namun untuk memberikan legitimasi, baik filosofis maupun ilmiah sehingga hukum tersebut bertambah kokoh teryakini secara imani dan intelektual. Sekalipun terhadap kedua-duanya harus dilakukan kajian pengembangan, namun jika diletakkan pada skala prioritas, tampaknya fiqh transformatif menduduki prioritas utama. Demikian ini dikarenakan fiqh transformatif menyangkut bagian terbesar dari aktifitas manusia. Lebih-lebih jika diperhatikan kajian di luar disiplin keislaman, telah melahirkan berbagai pengetahuan yang semakin terspesialisasi, sementara fiqh masih menempatkan kajian pilitik, ekonomi misalnya menjadi bagiannya, sedang kedua pengetahuan tersebut dewasa ini merupakan kajian yang berdiri sendiri tidak tergabung dalam disiplin hukum. Inilah salah satu kendala yang menyebabkan fiqh kurang dapat menjelaskan realitas kehidupan manusia dengan baik. Sementara itu, terdapat sebab-sebab lain mengapa fiqh kurang dapat menjelaskan hal tersebut, serta kurang dapat menampilkan wajah agama yang akomodatif terhadap perubahan. Sebab-sebab ini antara lain terletak pada aspek manusianya. Dalam hal ini, fanatisme madzhab merupakan sebab yang menjadikan fiqh tidak akomodatif terhadap perubahan. Terutama jika suatu madzhab sudah tidak relevan lagi bagi upaya-upaya mewujudkan dan menampilkan asas kemashlahatan dan keadilan yang merupakan elan vital hukum Islam. Tampaknya sering dilupakan, bahwa hasil-hasil ijtihad masa lampau itu pada umumnya terkait dengan kondisi dan situasi setempat, sehingga oleh karena itu bersifat ad hoc. Memang pada tempat dan waktu itu hasil ijtihad tersebut dapat mendukung tercapainya tujuan-tujuan umum syari’at. Akan tetapi karena sifatnya yang ad hoc maka dengan berubahnya tempat dan masa berubah pula tingkat dukungan itu, bahkan bisa menjadi nihil, bahkan lagi menjadi minus yang berarti justru melahirkan kemudlaratan-kemudlaratan yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip kemashlahatan dan keadilan. Masih berkaitan dengan sebab-sebab di atas, pendekatan tekstual secara membabi buta terhadap nash juga dapat menyebabkan kegagalan fiqh mengakomodasi adanya perubahan. Oleh karena itu kajian ushul fiqh mengenai al-qawa’id al-ushuliyyah al-lughawiyyah dibarengi dengan al-qawa’id al-ushuliyyah al-tasyri’iyyah. Berdasarkan kaidah, memang makna lafdhiy itulah yang diutamakan, sepanjang tidak ada indikator yang memalingkannya. Akan tetapi harus diingat bahwa indikator itu juga termasuk ketika natijah hukum yang diambil itu bertentangan dengan asas dasar hukum Islam, misalnya kemashlahatan umum dan keadilan. Dalam kondisi demikian kaidah kebahasaan harus ditinggalkan, dan mesti beralih kepenggunaan kaidah tasyri’iyah. C. Muatan Mata Pelajaran Fiqh di Kelas I, II, dan III Madrasah Aliyah Mata pelajaran fiqh diberikan dari kelas I sampai dengan kelas III, dengan alokasi waktu persemester 34 jam, kecuali semester terakhir yang hanya 30 jam. Dengan demikian untuk enam smester dari kelas I sampai dengan kelas III adalah 5 X 34 jam sama dengan 170 jam, ditambah lagi 30 jam, sehinga jumlah keseluruhannya ialah 200 jam. Dari segi materi, untuk semester I kelas I meliputi bidang-bidang: thaharah, shalat, puasa, zakat, haji dan ‘umrah, qurban dan ‘aqiqah, janazah. Untuk semester II kelas I, materinya adalah fiqh mu’amalah. Sedang untuk semester I kelas II, materinya meliputi bidang-bidang: jinayah, dan munakahah. Pada semester II kelas II, diberikan materi fiqh mawarits. Di kelas III semester I diberikan fiqh siyasiy, ahkam al-qadla`, dan ushul fiqh dengan materi sumber hukum Islam yang meliputi al-Qur`an, al-Sunnah, dan Ra`yu, hukum Islam, dan ijtihad. Di semester II kelas III diberikan materi permasalahan dalam pengembangan hukum Islam yang meliputi: ijma’, qiyas, dan fatwa, ittiba’, taqlid, tarjih, dan talfiq. Materi lainnya ialah dasar-dasar fiqh Islam, yang meliputi istihsan, istishhab, mashlahah mursalah, urf, syar’u man qablana, sadd al-dzari’ah, madzhab shahabiy, dan dalalah al-iqtiran. Materi berikutnya ialah kaidah-kaidah fiqh yang meliputi kaidah amar dan nahi, ‘amm dan khashsh, muthlaq dan muqayyad, manthuq dan mafhum, mujmal dan mubayyan, muradif dan musytarak, dhahir dan ta`wil, serta nasikh dan mansukh. D. Catatan Terhadap Muatan Materi dan Pembelajaran Fiqh di Madrasah Aliyah Terhadap muatan materi fiqh di atas, berikut ini beberapa catatan diberikan: 1. Tidak selayaknya materi fiqh juga meliputi materi ushulnya, kecuali jika sebutannya adalah fiqh dan ushulnya. 2. Pembelajarannya ditujukan pada penguasaan fiqh sebagai produk, bukan sebagai sebuah proses, sehingga hanya kan menghasilkan kompilasi hafalan, bukan pemahaman terhadap proses istinbath yang menghasilkan produk yang berupa furu’, tanpa adanya pemahaman terhadap hubungan antara furu’ dan ushulnya. 3. Jika memang dimaksudkan untuk memberikan keseluruhan materi fiqh, maka masih tersisa bagian yang belum diajarkan yaitu fiqh dawliy, yaitu fiqh yang membicarakan tentang perikatan-perikatan hukum antara satu negara dan negara yang lain, yang dewasa ini dikenal dengan sebutan hukum internasional. 4. Selayaknya materi fiqh didahului dengan materi ushul fiqh, dan pengantar fiqh, yang dengan demikian akan kondusif bagi pembelajaran fiqh dengan tekanan pada proses, dari pada produk istinbathnya. 5. Muatan fiqh yang justru berupa ushul fiqh di kelas III, terdapat beberapa kekeliruan, misalnya kaidah amar dan nahi, adalah bukan merupakan kaidah fiqh, tapi kaidah ushul; sumber-sumber hukum Islam disebutkan ialah al-Qur`an, al-Sunnah, dan al-Ra`yu, sementara dasar-dasar fiqh meliputi istihsan, istishhab, mashlahah mursalah, urf, syar’u man qablana, sadd al-dzari’ah, madzhab shahabiy, dan dalalah al-iqtiran. Sementara itu ijma’, qiyas, fatwa, ittiba’, taqlid, tarjih, dan talfiq dianggap sebagai permasalahan pengembangan hukum Islam. Jelas demikian ini, merupakan kerancuan yang tidak boleh terjadi. Seperti diketahui bahwa dalam ushul fiqh itu dibicarakan al-adillah al-syar’iyyah, yang meliputi al-Qur`an, al-Sunnah, al-ijma’, al, qiyas, al-istihsan, al, mashlahah al-mursalah, sadd al-dzari’ah, syar’u man qablana, urf, dan seterusnya. Juga dibicarakan al-ahkam al-syar’iyyah, al-qawaid al-lughawiyyah al-ushuliyyah, al-qawaid al-tasyri’iyyah al-ushuliyyah, kemudian ijtihad, ittiba’, dan taqlid, disamping tentu saja dalam muqaddimahnya dibicarakan misalnya pengertian ushul fiqh, obyek, tujuan, dan sebagainya. 6. Pembelajaran fiqh selayaknya dengan menjelaskan aspek dalil yang dipergunakan, proses istinbath, kemudian natijah hukumnya, yang oleh karena itu keseluruhan silabinya harus didisain menjadi tiga komponen tersebut. Dengan cara demikian akan kondusif bagi lahirnya pemahaman terhadap fiqh dengan tekanan pada proses istinbath, sehingga siswa mampu menilai validitas produk yang berupa natijah hukum itu sesuai dengan ketepatan penentuan dalil dan penggunaan kaidah-kaidah istinbathnya. 7. Mengacu pada point-point di atas, maka tidak diperlukan pemberian hampir keseluruhan muatan fiqh seperti itu, tetapi cukup memberikan beberapa contoh secara prosedural istinbathiy aspek-aspek tertentu dari bidang-bidang kajian fiqh. 8. Tampaknya perlu didesain pembelajaran fiqh antara di tingkat tsanawiyah dan aliyah sebagai suatu kesatuan yang berkelanjutan. Untuk itu di tingkat tsanawiyah, pembelajaran fiqh terutama ditekankan sebagai tuntunan beribadah, oleh karena itu materi pembelajarannya adalah thaharah, shalat, dan puasa, dengan alasan bahwa ketiga aspek inilah yang terutama bisa dilaksanakan oleh siswa setingkat tsanawiyah. Sedang kelanjutannya diberikan di tingkat aliyah, dengan tekanan pada aspek prosedur istinbathnya. E. Diskripsi Studi al-Qur’an dan al-Hadits Studi al-Quran secara komprehensif bertujuan untuk memiliki pemahaman terhadap the state of the art dari disiplin tersebut, analisis filosofis, menemukan dan mengidentifikasikan masalah-masalah yang timbul pada masa lampau, sekarang, dan akan datang serta menemukan alternatif-alternatif pemecahannya. The state of the art disiplin al-Quran, meliputi keseluruhan eksposisi studi al-Quran sejak masa formatifnya sampai dengan perkembangannya dewasa ini, serta sejarah sosialnya yang tidak saja berupa paparan kronologisnya, tetapi juga deskripsi tentang pengaruh sosiokultural terhadap studi al-Quran ini. Eksposisi studi al-Quran meliputi disiplin-disiplin: ‘ilm asbab al-nuzul, ‘ilm tawarikh al-nuzul, ‘ilm aqsam al-Quran, ilm al-makkiy wa al-madaniy, ilm al-nasikh wa al-mansukh, ilm al-qiraat, ilm rasm al-Quran, ilm al-muhkam wa al-mutasyabih, ilm i’jaz al-Quran, ilm amtsal al-Quran, ilm qashash al-Quran, ilm jadal al-Quran, ilm munasabat al-Quran, ilm tafsir al-Quran. Mengenai sejarah sosialnya, meliputi tarikh al-quran, dan tarikh ulum al-Quran. Analisis filosofis memaparkan kajian falsafah ontologi, epistemologi, dan aksiologi terhadap disiplin studi al-Quran. Sedangkan aspek penemuan dan pengidentifikasian masalah-masalah serta alternatif-alternatif pemecahannya merupakan bagian dinamika keilmuannya, agar tidak terjadi fosilisasi pada ilmu-ilmu al-Quran itu sendiri, sekaligus merupakan upaya aktualisasi nilai-nilai petunjuknya dalam konteks kedisinian dan kekinian. Di kalangan kaum muslimin, al-Quran yang secara harfiyah berarti bacaan diyakini sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. secara berangsur-angsur dengan perantaraan malaikat Jibril, berbahasa Arab, ditransmisikan terus menerus secara tawatur, memiliki daya i’jaz, dan membacanya dinilai ibadah. Selain mu’jizat, al-Quran diyakini juga berfungsi sebagai petunjuk abadi dan universal bagi umat manusia. Sekalipun al-Quran diyakini diturunkan sebagai petunjuk yang bersifat abadi lagi universal, namun tidak terhindarkan adanya keterikatan dengan masyarakat Makkah dan Madinah serta sekitarnya sebagai penerima awal kitab suci itu. Akibatnya ialah tampak adanya sifat tipikal yang memberi corak pada berbagai kandungan al-Quran. Upaya untuk mendapatkan petunjuk al-Quran dalam bentuk nilai-nilai yang abadi dan universal hanya akan berhasil jika perhatian juga ditujukan kepada masyarakat penerima pertama kitab suci tersebut yang merupakan faktor utama adanya sifat tipikal itu. Untuk memahami petunjuk al-Quran, diperlukan adanya penafsiran yang dapat menjelaskan kedalaman, keluasan, dan dinamika internal nash-nashnya. Untuk itu para ulama telah berupaya memaparkan berbagai metode dan corak penafsiran yang dipergunakan di kalangan mufassirûn. Terdapat corak fiqhiy, ‘ilmiy, falsafiy, shûfiy, suatu corak yang didasarkan atas spesialisasi bidang. Di samping itu juga terdapat jenis tafsir bi al-ma`tsûr berdampingan dengan tafsir bi al-ra`y dua jenis tafsir yang dibedakan oleh sumber penafsirannya yaitu atsar atau akal. Selain itu juga terdapat tafsir tajzî`iy yang berhadap-hadapan dengan tafsir maudlû’iy. Jenis tafsir yang lain lagi adalah tafsir muqaran dan tafsir adabiy wa ijtimaiy. Dalam perkembangannya dewasa ini studi al-Quran juga diperkaya oleh pendekatan kontekstual terutama oleh Fazlur Rahman, semantik oleh Toshihiko Izutshu, dan digairahkan kembali tafsir ‘ilmiy oleh Muhammad Arkoun. Kajian al-Quran juga diperkaya oleh partisipasi dunia Barat, khususnya Barat moderen. Karya-karya mereka menurut Fazlur Rahman terbagi menjadi tiga kategori: 1. karya-karya yang berusaha mencari adanya pengaruh Yahudi-Kristen di dalam al-Quran; 2. tulisan-tulisan yang mencoba membuat rangkaian kronologis dari ayat-ayat al-Quran; 3. karya-karya yang bermaksud menjelaskan keseluruhan atau bagian-bagian tertentu saja tentang ajaran al-Quran. Karya kategori pertama dibuat misalnya oleh Abraham Geiger, Hartwig Hirschfeld, Richard Bell, dan John Wansbrough. Karya kategori kedua terlihat misalnya pada tulisan Nöldeke - Schwally, R. Blachere, Rudi Paret, A Jeffery, John Burton. Karya kategori ketiga ditunjukkan antara lain oleh Ignaz Goldziher, H. Grimme, Kenneth Cragg, Thomas O’Soughnessy, S.H. al-Shamma. Juga termasuk kelompok ketiga ini adalah penulis Jepang Toshihiko Izutsu. Karya kategori pertama sampai pada tesis - diajukan misalnya oleh John Wansbrough - bahwa al-Quran adalah kitab yang bercorak keyahudian (Yahudi-Kristen), merupakan perpaduan dari berbagai tradisi, dan oleh karena itu al-Quran adalah sebuah ciptaan post profetik. Tesis karya kategori kedua ialah bahwa ayat-ayat Quran dapat disusun secara kronologis. Dalam hal ini Bell telah melakukannya, walaupun menurut Paret yang juga didukung oleh Fazlur Rahman bahwa hal tersebut adalah mustahil. Masih dalam kategori kedua, John Burton sampai pada tesis bahwa keseluruhan al-Quran telah diedit, dicek, dan disebarluaskan oleh Muhammad sendiri. Tulisan-tulisan kategori ketiga telah sampai pada tesis yang bermacam-macam. Karya demikian hanya memaparkan aspek-aspek tertentu saja di dalam al-Quran, tanpa adanya pengetahuan mengenai al-Quran itu sendiri, yang oleh karena itu menurut Fazlur Rahman tidak ada satu karyapun yang bersumber dari al-Quran itu sendiri. Studi hadits telah menghasilkan dua perangkat kajian, yaitu studi riwayat dan dirayat. Kedua bagian kajian hadits ini telah memperkaya khazanah intelektual muslim yang tidak tertandingi oleh komunitas-komunitas agama lain, bahkan kelebihannya melampau disiplin ilmu sejarah. Kajian hadits dalam aspek metodologis memuat kajian tentang sejarah penulisan hadits, qawaid al-tahdits, jarh wa ta’dil, kritik sanan dan matan, takhrij al-hadits, dan istilah-istilah baku kehaditsan. Bahkan jga memuat kajian tentang pandangan orientalis erhadap hadits. Tentu saja juga kajian ini telah menghasilkan tidak saja berbagai kumpulan hadits, tetapi juga berbagai kitab syarh al-hadits. F. Muatan Pelajaran al-Qur`an dan al-Hadits di Kelas I, II, dan III Mata pelajaran al-Qur`an dan al-Hadits diberikan dari kelas I sampai dengan kelas III dengan alokasi waktu seperti pada mata pelajaran fiqh. Materi al-Qur`an dan al-Hadits terbagi menjadi dua, yaitu: `ulumul Qur`an dan ‘ulumul Hadits di satu pihak dan sejumlah ayat dan hadits di pihak lain. Ulumul Qur`an dan ulumul Hadits meliputi: 1. Pengertian al-Qur`an dan Wahyu; 2. Al-Qur`an sebagai mu’jizat; 3. kedudukan, fungsi, dan tujuan al-Qur`an; 4. Cara-cara wahyu diturunkan; 5. Hikmah al-Qur`an diturunkan secara berangsur-angsur; 6. Tema pokok al-Qur`an; 7. Cara mencari surat dan ayat al-Qur`an; 8. Pengertian Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar; 9. Kedudukan dan fungsi Hadits; 10. Macam-macam Sunnah; 11. Unsur-unsur Hadits; 12. Pengenalan beberapa kitab kumpulan Hadits (Bulughul Maram, Subulus Salam, Shahihul Bukhari, dan Shahih Muslim); Sementara itu, untuk materi lainnya berupa sejumlah ayat dan hadits tentang: 1. Kemurnian dan kesempurnaan al-Qur`an; 2. Al-Qur`an dan al-Hadits sebagai sumber nilai dan pemikiran tentang kebesaran dan kekuasaan Allah; 3. Al-Qur`an sebagai sumber nilai dan dasar kewajiban beribadah kepada Allah; 4. Nikmat Allah dan mensyukurinya berdasarkan ayat al-Qur`an dan Hadits; 5. Ajaran al-Qur`an tentang pemanfaatan potensi alam; 6. Ajaran al-Qur`an dan al-Hadits tentang pola hidup sederhana dan pengamalannya; 7. Pokok-pokok kebajikan; 8. Prinsip-prinsip amr ma’ruf nahy munkar; 9. Hukum dan metode da’wah; 10. Tanggung jawab manusia; 11. Kewajiban berlaku adil dan jujur; 12. Larangan berbuat khianat; 13. Pergaulan sesama manusia, dan tidak berlebih-lebihan; 14. Makanan yang baik dan halal; 15. Pembangunan pribadi dan masyarakat; 16. Ilmu pengetahuan. G. Catatan Terhadap Muatan Materi dan Pembelajaran al-Qur`an dan al-Hadits di Madrasah Aliyah Terhadap muatan materi al-Qur`an dan al-Hadits di atas, berikut ini beberapa catatan diberikan: 1. Tampak adanya kesebandingan pada muatan mata pelajaran di atas antara aspek metodologis dan materialnya, jika pembelajaran al-Qur`an dan al-Hadits ini penekanannya pada proses pemahamannya, maka sudah waktunya dipikirkan untuk memberikan muatan metodologis lebih banyak dari pada muatan materialnya; 2. Untuk muatan metodologisnya perlu ditambahkan sejarah pemeliharaan al-Qur`an, asbab al-nuzul, makkiy madaniy, nasikh mansukh, qawa’id al-tafsir, manhaj al-tafsir, aliran-aliran tafsir, kitab-kitab tafsir, asbab al-wurud, qawaid al-tahdits, jarh dan ta’dil, dan komputasi baik hadits maupun al-Qur`an. 3. Untuk muatan kitab-kitab hadits, sebaiknya diperkenalkan al-kutub al-tis’ah, dan bukan seperti yang tercantum di atas, sebab, subulus salam, misalnya adalah bukan kitab hadits tapi kitab syarh al-hadits. 4. Perlu juga muatan tentang cara mencari hadits. 5. Dalam pembelajarannya, perlu menghubungkan antara muatan metodologis dan muatan materialnya yang berupa penafsiran dan pensyarahan, sebagai dua komponen yang berupa prosedur dan hasil. 6. Tidak perlu ada materi pembedaan antara sunnah qauliyah, fi’liyah, dan taqririyah, sebab tidak begitu memiliki kebermaknaan dalam pemahaman hadits. I. Penutup Upaya penyempurnaan kurikulum dan silabi secara berkelanjutan adalah tuntutan keniscayaan dari suatu proses pendidikan yang memproyeksikan diri untuk mampu menghadapi berbagai tantangan masa depan. Sekalipun demikian, dalam banyak hal terwujudnya kemampuan tersebut akan lebih ditentukan oleh potensi pengelolanya - khususnya para pendidiknya itu sendiri - dari pada seperangkat kurikulum dan silabi. Di atas semuanya itu, tingkat spirit keagamaan dalam arti kualitas ruh pengabdian kepada Allah akan menjadi penentu baik-buruknya capaian di atas. Semoga upaya penyempurnaan ini mendapat ridlaNya. Malang, 22 Juni 2005 Bahan Bacaan ‘Abd al-Hayy al-Farmawi. 1977. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu’iy. Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah. ‘Abd al-Rahman bin Nashir al-Sa’di. 1980. al-Qawa’id al-Hisan li Tafsir al-Qur`an. Riyadl: al-Ma’araif. Azami, M. Mustafa al-. 1985. On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprodence. Suadi Arabia: King Saud University. Coulson, Noel J. . 1964. A History of Islamic Law. Edinburgh: The University Press. Coulson, Noel J. 1969. Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence. Chicago and London: The University of Chicago Press. Fazlur Rahman. 1980. Major Themes of the Qur`an. Chicago: Bibliotheca Islamica. Fazlur Rahman. 1986. “Interpreting the Qur`an” dalam Inquiry, Mei 1986. Hassan, Husain Hamid. 1971. Nadhariyyah al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamiy. Bairut: Dar al-Nahdlah al-'Arabiyyah. Howard M. Federspiel. 1994. Popular Indonesian Literature of the Qur`an. Cornell: Cornell Modern Indonesia Project. Ihsan Ilahi Dhahir. 1983. al-Syi’ah wa al-Quran. Pakistan: Idarah Tarjuman al-Sunnah. Jalal a-Din al-Suyuthi. 1935. al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran. Beirut: Dar al-Fikr. John Wansbrough. 1977. Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Inter-pretation. Oxford: the University Press. John Burton. 1981. The Collection of the Quran. Cambridge: the University Press. Khalaf, ‘Abd al-Wahhab. 1972. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Jakarta: al-Majlis al-A’la al-Indonesiy li al-Da’wah al-Islamiyyah. Khathib, Ajjaj al, 1989. Ushul al-Hadits, Ulumuh wa Mushthalahuh, Beirut: Dar al-Fikr. Khathib, Hasan Ahmad. Tanpa Tahun. al-Fiqh al-Muqaran. Bairut: Muassasah al-Risalah. Lapidus, Ira M. 1989. A History of Islamic Societies. Cambridge: University Press. Montgomery Watt. 1967. Bell’s Introduction to the Quran. Edinburgh: the University Press. Muhammad Husain al-Dzahabiy, 1986. al-Israiliyyat fi al-Tafsir wa al-Hadits. Kaero: Dar al-Taufiq. Muhammad Husain al-Dzahabiy. 1976. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Juz I dan II Beirut:Dar al-Fikr. Muhammad ‘Abd al-’Adhim al-Zarqani. Tanpa Tahun. Manahil al-’Irfan fi ‘Ulum al-Quran. Beirut: Dar al-Fikr. Muhammad ‘Ali al-Shabuni. 1985. al-Tibyan fi ‘Ulum al-Quran. Beirut: ‘Alam al-Kutub. Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki al-Husni. 1983. Zubdah al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran. Saudi: Dar al-Syuruq. Muhammad Naqir al-Shadr. 1981. al-Madrasah al-Quraniyyah: al-Tafsir al-Maudlu’iy wa al-Tafsir al-Tajzi’iy. Beirut: Dar al-Ta’aruf. Muhammad Salim Mahisan 1402 H. Tarikh al-Quran al-Karim. Saudi Arabia: Rabithah al-’Alam al-Islamiy. Mushthafa Muslim. 1989. Mabahits fi al-Tafsir al-Maudlu’iy. Damaskus: Dar al-Qalam. Muslehuddin, Mohammad. 1980. Philosophy of Islamic Law and The Orientalists (A Comparative Study of Islamic Legal System). Lahore: Islamic Publications Ltd. Muslehuddin, Mohammad. 1982. Islamic Jurisprodence and The Rule of Necessity and Need. New Delhi: Kitab Bhavan. Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition. Chicago and London:The University of Chicago Press. Richard C. Martin (Ed.). 1985. Approaches to Islam in Religious Studies. Arizona: the University of Arizona Press/Tucson (See articles: 2, 8-12). Sabiq, Sayyid. 1968. Fiqh al-Sunnah.. Kuwait: Dar al-Bayan. Schacht, Joseph. 1971. An Introduction to Islamic Law. Oxford: The Clarendon Press Shiddieqy, Hasbi ash. 1974. Pengantar Ilmu Fiqih. Jakarta: Bulan Bintang. Shubhi Shalih. 1989. Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits. Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin. Shubhi Shalih. 1988. Mabahits fi ‘Ulum al-Quran. Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin. Syalabi, Muhammad Mushthafa. 1981. Ta' lil al-Ahkam. Bairut: Dar al-Nahdlah al-'Arabiyyah. Toshihiko Izutsu. 1966. Ethico Religious Concept in the Quran. Montreal: McGill University Press. Yamani, Ahmad Zaki. 1970. al-Syariah al-Khalidah wa Musykilah al-'Ashr. Saudi: al-Dar al-Sa'udiyyah li al-Nasyr wa al-Tauzi'. Zahir bin ‘Awwadl al- Alma’i. 1404 H. Dirasat fi al-Tafsir al-Maudlu’iy. Riyadl: Tanpa Penerbit. Zahrah, Muhammad Abu. Tanpa Tahun. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah. Beirut: Dar al-Fikri al-’Arabiy. Zuhaili, Wahbah. 1990. al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr.

1 komentar:

Zain Elhasany mengatakan...

artikelnya bagus, namun lebih bagusnya dikasih paragraf agar membacanya lebih mudah. trima kasih